Di sekolah inklusi, umumnya siswa yang diterima adalah dengan kebutuhan khusus tertentu seperti autisme dengan berbagai spektrum, ADD, ADHD, tunarungu, dsb.
Tentu disesuaikan dengan kemampuan sekolah untuk mengelola siswa dengan berbagai tingkat kesulitan kebutuhannya tersebut.
Sebagai contoh di sekolah SD Semut-Semut the Natural School  di Depok, menerima  kategori siswa inklusif dengan beberapa kebutuhan sebagai berikut:
1. Autisme Infantil, 2. ASD (Autism Syndrom Disorder) high functioning, 3. PDD-NOS (Pervasive Developmental Disorder, Not Otherwise Specified) , 4. ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder), 4. ADD (Attention Deficit Disorder), 5. Slow Learner, 6. Learning Difficulties (kesulitan belajar - Disleksia, Diskalkulia, Disgraphia), 7. Borderline, 8.Intellectual Disability ringan, 9. Speech Delay, dan 10. Tuna rungu yang menggunakan alat bantu Hearing Aid.
NAMUN SEDIKITNYA ADA 15 SALAH PERSEPSI TENTANG PROGRAM INKLUSIF atau SEKOLAH INKLUSIÂ
Berikut pemahaman yang masih belum tepat tentang pengelolaan sekolah inklusi (inklusif) maupun program inklusif :
1. Program Inklusif adalah program yang terpisah dari program reguler. Jadi seperti program tambahan.Â
Tidak benar. Pendidikan inklusif artinya program bagi siswa inklusi bergabung dengan program embelajaran bagi siswa reguler.Â
Melebur menjadi satu, meski dibantu dengan tim atau tenaga pengajar tambahan berupa guru pendamping khusus (GPK) atau tenaga terapis.
2. Mutu sekolah akan turun karena nilai NEM rata-rata turun berakibat rangking sekolah di wilayah juga menurun.Â
Sekolah yang berbasis nilai akademik tentu keberatan dengan siswa-siswa yang relatif 'bodoh'. Cenderung menolak siswa yang berkecerdasan kurang atau memiliki kendala belajar.
Memang, dengan adanya siswa yang kurang berprestasi secara akademik, maka rerata nilai NEM atau prestasi akademik sekolah akan turun, yang akhirnya menentukan peringkat sekolah di wilayah juga melorot.