Emosi kita yang mudah diaduk-aduk melalui tayangan di media sosial, membuat kita hilang akal rasional. Sampai-sampai informasi lemah seperti ini dihadirkan sebagai keterangan atau bukti-bukti (awal) di persidangan. Â
JADI BAGAIMANA? LITERASI MEDIA SOSIALÂ
Ini memang kenyataan pahit bagi kuasa  hukum pemohon BPN 02,  bahwa bukti-bukti yang diajukan, terutama bukti rekaman video, begitu mudahnya dikesampingkan dan dipatahkan dalam pembuktian oleh majelis.Â
Kuasa hukum pemohon tentulah para ahli hukum yang mumpuni, yang telah memahami pentingnya kejelasan objek atau subjek hukum, dan tentang kualitas pembuktian yang valid. Â Â
Majelis Hakim Konstitusi, yang bekerja berdasar hukum keadilan dan kebenaran, tentu tidak dapat menerima bukti-bukti yang lemah. Â
Kesimpulan:Â jangan mudah percaya informasi dalam media sosial tanpa sumber yang jelas yang tidak bisa dicek-ricek.Â
Penulis berpendapat, bahwa saat ini kita telah menjadi korban medsos. Korban dari informasi yang tidak jelas, bahkan hoaks. Kita telah menjadi konsumen informasi yang lemah atau bahkan bohong.Â
Boleh kita berasumsi, kenyataan Firehose of Falsehood atau semburan kebohongan ini memang telah menjadi keseharian yang kita terima dalam kehidupan ber-informasi kita. Â Â
Firehose 0f Falsehood adalah cara penyampaian informasi yang berkualitas lemah, salah, atau sebagian saja yang benar, bahkan fiksi (karangan), dalam jumlah yang tinggi secara cepat dan masif sehingga viral dalam waktu singkat.Â
Pengadilan sengketa pilpres 2019 ini pil pahit bagi kita untuk tidak mengkonsumsi berita yang tidak jelas apalagi berita bohong (hoaks). Tinggalkanlah informasi yang kurang jelas atau cenderung hoaks itu. Buanglah informasi recehan semacam itu dari smartphone kita, atau tidak meneruskannya. Â
Saatnya kita membiasakan menggunakan literasi media sosial. Teliti, selalu cek ricek sebelum share, mencari informasi pembanding, tidak membagikan sesuatu info yang meragukan.Â