Mohon tunggu...
indrawan miga
indrawan miga Mohon Tunggu... Jurnalis - penulis, pendidik, petani

Pernah wartawan di beberapa media cetak nasional. Kini penulis dengan peminatan topik pendidikan, pertanian, dan lingkungan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mengapa Bukti (Rekaman) 02 Begitu Lemah Menurut Hukum?

27 Juni 2019   19:00 Diperbarui: 27 Juni 2019   19:29 961
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sidang MK memutus sengketa Pilpres 2019. Foto: Liputan6

Dari pertimbangan hukum majelis Mahkamah Konstitusi (ketika tulisan ini ditulis sedang dibacakan dari siang hingga sore hari belum selesai) pada Kamis 27/6/2019,  hampir seluruh dalil dan bukti yang diajukan pemohon kuasa hukum BPN 02 dinilai lemah, sehingga dalil atau bukti dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.  

Yang terutama penulis soroti adalah bukti rekaman video.

Alat bukti yang lemah itu kebanyakan berupa rekaman-rekaman video. Ada rekaman yang panjang, ada yang potongan atau rekaman pendek.
Mungkin video-video ini diperoleh dari rekaman smartphone berupa rekaman dari WA, instagram, ataupun klipping rekaman youtube atau kanal berita online (penulis tidak tahu dan tidak melihat detail rekamannya, hanya dari uraian hakim saja). 

Alasan majelis: kurang meyakinkan majelis karena kurang jelas, kurang/tidak berkorelasi dengan dalil yang diajukan, sehingga tidak memperkuat pembuktian dugaan Pilpres 2019 sebagai pilpres yang penuh kecurangan terstruktur, sistematis, dan massif (TSM) sebagaimana didalilkan oleh kuasa hukum BPN 02.  

Kelemahan menurut hukum: kurang jelas tentang lokasi kejadian (seperti nomer TPS ada di mana), tidak jelas siapa saja yang di situ, apa dan bagaimana kejadian yang sebenarnya, apa sesungguhnya yang terjadi, dan dampaknya terhadap perolehan suara paslon  01 dan 02 yang disengketakan.  

Intinya, rekaman-rekaman itu tidak spesifik menunjukkan substansi kejadian. 

Kelemahan lain, ada beberapa bukti rekaman  yang ternyata peristiwanya telah selesai,  dan telah ditindaklanjuti dan diputus oleh BAWASLU. Ini lolos dari dari pencermatan pemohon. 

Dalam kaidah hukum, bukti-bukti rekaman video atau klipping media elektronik ataupun cetak, masih perlu dukungan bukti tambahan yang menguatkan. Dukungan bukti inipun kelihatannya tidak dengan baik dipersiapkan. 

MENGAPA? 

Menurut penulis, memang tidak boleh atau tidak gampang mencomot berbagai informasi yang berselewiran di media (online) sebagai bukti. Meski ada dugaan kebenaran di situ, kan perlu diperiksa nilai kebenarannya lebih jauh.  Sebab: 

  1. Eporia dunia digital. Cenderung setuju terhadap informasi yang kita yakini atau sukai, dan sebaliknya menolak informasi yang kita tidak sukai. Massifnya informasi hoaks yang dipercaya sebagai kebenaran akan kecurangan dalam pemilu.  
  2. Gaya pembuatan narasi video yang emosional, apalagi dilatari kesukaan atau kebencian terhadap paslon tertentu, sehingga kadang kita tidak lagi mampu secara rasional menilai substansi berita di medsos.
  3. Literasi di media sosial yang rendah. Mudah menerima sebuah informasi tanpa mau atau malas melakukan cek-ricek atau periksa.  
  4. Terlalu mudah membuat rekaman dengan smartphone, dan langsung mengunggah ke WA atau instagram.  Mungkin supaya hemat pulsa, cukup merekam singkat sekadarnya saja, agar mudah dishare. Tanpa perlu melengkapi data lengkap berupa plang nama lokasi, suasana lokasi, kejelasan secara mendetail (Siapa, Apa, Dimana, Kapan, Bagaimana).  
  5. Bersengaja membuat video-video yang tidak lengkap informasinya. Mungkin ada indikasi pembuat rekaman tidak ingin identitasnya diketahui. 
  6. Tidak terbawanya catatan dari pengunggah gambar rekaman video, sehingga saat dibagikan (share) tak jelas lagi sumber pertamanya.  
  7. Teknologi yang sederhana, memudahkan editing rekaman video, dengan menambahkan foto atau gambar lain. Saking mudahnya mengedit video, tergoda untuk menambahkan atau merekayasa informasi sesuai opini pribadi.
  8. Motif ekonomi, ingin agar channel youtubenya dikunjungi banyak simpati, dan menjadi viral, sehingga mendapat rating yang bagus untuk pemasangan iklan dan sebagainya. Isinya tidak benar, yang penting sensasional, sudah oke saja.  

Seperti kita ketahui, era media sosial dipenuhi dengan begitu banyak seliweran informasi. Cenderungnya kita membagi informasi yang kita sukai, dan menutup diri terhadap informasi sebaliknya. Barulah kita kecele kalau ada bantahan dari pihak lain yang berwenang. 

Emosi kita yang mudah diaduk-aduk melalui tayangan di media sosial, membuat kita hilang akal rasional. Sampai-sampai informasi lemah seperti ini dihadirkan sebagai keterangan atau bukti-bukti (awal) di persidangan.  

JADI BAGAIMANA? LITERASI MEDIA SOSIAL 

Ini memang kenyataan pahit bagi kuasa  hukum pemohon BPN 02,  bahwa bukti-bukti yang diajukan, terutama bukti rekaman video, begitu mudahnya dikesampingkan dan dipatahkan dalam pembuktian oleh majelis. 

Kuasa hukum pemohon tentulah para ahli hukum yang mumpuni, yang telah memahami pentingnya kejelasan objek atau subjek hukum, dan tentang kualitas pembuktian yang valid.   

Majelis Hakim Konstitusi, yang bekerja berdasar hukum keadilan dan kebenaran, tentu tidak dapat menerima bukti-bukti yang lemah.  

Kesimpulan: jangan mudah percaya informasi dalam media sosial tanpa sumber yang jelas yang tidak bisa dicek-ricek. 

Penulis berpendapat, bahwa saat ini kita telah menjadi korban medsos. Korban dari informasi yang tidak jelas, bahkan hoaks. Kita telah menjadi konsumen informasi yang lemah atau bahkan bohong. 

Boleh kita berasumsi, kenyataan Firehose of Falsehood atau semburan kebohongan ini memang telah menjadi keseharian yang kita terima dalam kehidupan ber-informasi kita.   

Firehose 0f Falsehood adalah cara penyampaian informasi yang berkualitas lemah, salah, atau sebagian saja yang benar, bahkan fiksi (karangan), dalam jumlah yang tinggi secara cepat dan masif sehingga viral dalam waktu singkat. 

Pengadilan sengketa pilpres 2019 ini pil pahit bagi kita untuk tidak mengkonsumsi berita yang tidak jelas apalagi berita bohong (hoaks). Tinggalkanlah informasi yang kurang jelas atau cenderung hoaks itu. Buanglah informasi recehan semacam itu dari smartphone kita, atau tidak meneruskannya.  

Saatnya kita membiasakan menggunakan literasi media sosial. Teliti, selalu cek ricek sebelum share, mencari informasi pembanding, tidak membagikan sesuatu info yang meragukan. 

Terutama anak-anak kita jangan boleh mengkonsumsi berita yang tidak jelas apalagi hoaks. 

Dengan literasi media sosial, kelak mereka tidak mudah menelan begitu saja informasi yang lemah, dan menjadi korban dari kabar burung yang tidak jelas sumber dan kebenarannya.    

Indrawan Miga  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun