Mohon tunggu...
indra Tranggono
indra Tranggono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

hobi menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Heroisme Mangkubumi dalam Kemasan "Good Looking"

7 Desember 2024   10:27 Diperbarui: 8 Desember 2024   06:53 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seni pertunjukan ketoprak | KOMPAS/ERWIN EDHI PRASETYA

Oleh Indra Tranggono

Esais dan Praktisi Budaya

Ketoprak tidak harus selalu dihadirkan secara konvensional dan "kuna" (menolak nilai-nilai baru). Namun juga bisa dicreate menjadi sajian yang aktual dan menarik secara bentuk dan konten.

Di tangan sutradara RM Altiyanto, ketoprak disajikan dalam kemasan yang "good looking": enak dipandang dan indah ditonton. Juga mudah dipahami, dinikmati dan mengesankan. Repertoar ketoprak bertajuk "Hadeging Ngayogyakata" ("Pangeran Mangkubumi") garapan sutradara RM Altiyanto, membuktikan tesis itu.

Pementasan Ketoprak Narapraja ini digelar Jumat (6/12/2024) di Taman Budaya Embung Giwangan Yogyakarta. Dihelat Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, sajian ini melibatkan puluhan aparatur sipil negara (ASN) lingkungan Pemda Kota Yogyakarta. Ia juga menjadi bagian dari peringatan HUT Kota Yogyakarta yang ke 268 dan Festival Yogya Kota.

RM Altiyanto menafsirkan lakon yang bersumber dari tulisan Handung Kussudyarsana dan ditulis Bondan Nusantara, dengan pendekatan yang terbuka: memungkinkan munculnya dramaturgi alternatif dan pelbagai unsur seni pertunjukan. Dalam dramaturgi muncul berbagai adegan yang menggunakan pola-pola teater modern yakni, sistem blocking, grouping, pola lantai, irama permainan dan suasana dramatik yang efektif dan dinamis. Juga pelbagai elemen seperti slide atau video yang menampilkan gambar-gambar yang berfungsi sebagai setting. Tak ketinggalan koreografi dan garapan musik yang cenderung kontemporer, dengan menggabungkan instrumen tradisional gamelan dengan instrumen Barat (kibor, terompet dll).

Adapun kostum konvensional kejawen masih digunakan guna menjadi penanda kosmologi ketoprak. Dengan cara itu, RM Altiyanto telah menampilkan ketoprak dengan spirit tradisi Jawa-Mataraman dengan kemasan kekinian. Untuk kerja besar itu, Altiyanto dibantu asisten sutradara: Joko Lisandono, Harin Setyandari, dan Okie Surya Ikawati. Juga tim produksi: Manasye Kristi Suryatmojo, Ardi KS Wijaya, Daun P Widagdo dan penata musik Unggul Sukses Selalu.

Layak dicatat, Altiyanto berupaya mendinamisasi seni ketoprak agar selalu berkembang sesuai tuntutan zaman. Selain itu, ia juga berupaya semakin mendekatkan ketoprak pada generasi milenial, sebagai bentuk pewarisan nilai-nilai kearifan lokal.

Yetti Martanti, S.Sos., MM. kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kota Yogyakarta, memaknai pergelaran ketoprak ini sebagai upaya pemberdayaan potensi seni dan budaya para ASN di lingkungan Pemda Kota Yogyakarta. Selain itu juga sebagai wahana silaturahmi dan interaksi kreatif antar ASN. Hal yang tak kalah penting adalah upaya menjadikan ASN bisa "manjing ajur-ajer" atau lebur, luluh dengan masyarakat. Kedua pihak jadi tidak berjarak dan dampak yang diharapkan: pelayanan terhadap publik pun semakin optimal.

Pementasan ini harus menembus kendala hujan yang panjang, padahal ia digelar di teater terbuka. Atap hanya melindungi ruang pementasan, sehingga puluhan penonton harus "bertarung" dengan hujan. Namun mereka tetap bertahan hingga pertunjukan usai. Untung panitia menyediakan mantel dan payung. Ini menunjukkan sajian ketoprak Narapraja ini cukup memikat. Basah dan dingin jadi tak terasa menyengat.

Oligarki Kolonial

Jangan menganggap oligarki hanya ada di zaman sekarang. Oligarki --penguasa modal yang mendikte kekuasaan-- sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda atas wilayah nusantara, yang kemudian menjadi negara Indonesia.

VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) terbukti tak hanya berdagang tapi juga menjajah bangsa kepulauan nusantara, Melalui berbagai tentakel atau lengan-lengan kekuasaannya, mereka menghisap bangsa nusantara secara keji. Bisa melalui kekerasan fisik, kekerasan sosial, politik, budaya, ekonomi dan kekerasan psikologis. Rakyat nusantara pun hanya jadi obyek eksploitasi.

Cawe-cawe dan represi VOC juga terjadi di wilayah kekuasaan Mataram Islam (kerajaan Surakarta) di bawah raja Sunan Pakubuwana II pada abad 18. Karena telah membantu Pakubuwana II meredam perlawanan atau pemberontakan rakyat (dalam peristiwa yang dikenal dengan huru-hara China atau Geger Pecinan, VOC memaksa Pakubuwana II untuk menandatangani Surat Perjanjian. Pakubuwana II tak berdaya. . Maka, VOC pun mendapatkan uang dalam jumlah besar dari Paku Buwono II, sebagai ganti biaya perang..

Selain itu, VOC berhasil menguasai pelabuhan pesisir utara Jawa meliputi Tegal, Pekalongan, sampai Tuban, meskipun dengan dalih sewa. VOC juga melarang orang-orang Jawa membuat perahu. Ini berarti menutup akses orang-orang Jawa untuk berdagang dan mencari penghidupan dari hasil laut. Ketentuan itu masih ditambah: VOC diperbolehkan membangun benteng pertahanan di dekat keraton Kasunanan Surakarta.

Dampak surat perjanjian itu sangat berat, baik bagi pihak kerajaan Surakarta maupun kaum kawulanya. Terjadi pemiskinan dan perampasan hak-hak warga dalam mencari penghidupan. Tak ayal, hal itu memuat Pangeran Mangkubumi, adik Pakubuwana II, gelisah dan murka. Perlawanan terhadap VOC dan seluruh oligarki kolonial pun dikobarkan. Mangkubumi, dengan dukungan rakyat, bertekad mengusir penjajah dari tanah Jawa. 

Perjuangan ini didukung Pakubuwana II, secara diam-diam. Baik dukungan logistik, senjata, maupun "sipat kandel" (pusaka) Tombak Kyai Pleret yang dikenal sakral dan ampuh. Perlawanan Mangkubumi pun berhasil. Penjajah pun terdesak. Puncaknya, pasca Perjanjian Giyanti 1755, Mangkubumi mendirikan keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan menjadi raja dengan gelar Sultan Hamengku Buwana I.

Perjanjian Giyanti, 13 Februari 1755 atau dikenal "Palihan Nagari" menjadi tonggak sejarah sangat penting khususnya bagi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Perjanjian itu membagi Jawa atau Kerajaan Mataram Islam menjadi dua bagian yaitu Kasunanan Surakarta dan Keraton Ngayogyakarta.

Ketoprak dan Pemangku Kepentingan

Teater tradisional Jawa ketoprak sengaja dipilih sebagai media penghadiran gagasan dan kreativitas estetik, karena beberapa alasan. Pertama, ketoprak merupakan bagian dari ikon kultural Yogyakarta, meskipun ia berasal dari Surakarta. Ikon itu dilahirkan dari proses yang panjang. Yakni, sejak era ketoprak barangan atau kelilingan, ketoprak latar (main di halaman), ketoprak pendapan, ketoprak tobong, ketoprak radio sampai ketoprak televisi.

Kehadiran yang konstan dan kontinu serta perkembangan yang menyertainya, telah menciptakan tradisi ketoprak. Ini terjadi baik di kalangan masyarakat seniman ketoprak maupun masyarakat penonton. Tradisi ketoprak tersebut berakar pada ekspresi, kreativitas dan inovasi secara bentuk serta konten tematik. 

Selain itu juga pada dukungan publik penonton (apresiator), pemerintah, kalangan intelektual dan pemangku kepentingan lainnya. Maka di Yogyakarta (baca; DIY) lahirlah beberapa bentuk atau gaya penyajian ketoprak dari ketoprak konvensional, garapan, plesetan sampai ketoprak humor.

Alasan kedua adalah ketoprak merupakan entitas estetik seni pertunjukan yang relatif longgar untuk ditafsir dan dikembangkan sesuai tuntutan zaman. Dalam hal bentuk, ketoprak bisa dicreate menjadi tontonan yang akomodatif terhadap inovasi pemanggungan. 

Misalnya dalam sistem pengadegan, permainan keaktoran, irama pertunjukan, set, property sampai tata cahaya dan tata suara. Cara ini ditempuh demi melahirkan berbagai spektakel yang menarik secara visual dan auditif. Tidak hanya mengandalkan dialog-dialog verbal.

Seperti dikatakan Yetti Martanti, S.Sos., MM, ketoprak cukup luwes mengakomodasi berbagai persoalan, termasuk isu-isu kekinian yang aktual. Juga ramah terhadap pelbagai pesan sosial. Ketoprak begitu mudah ditarik "ke sana dan ke sini" sesuai tujuan positif pementas.

Semua terobosan kreatif yang dilakukan, bertujuan menghadirkan ketoprak secara layak di tengah khalayak, baik secara estetik maupun non-estetik. Diharapkan ketoprak bisa menggaet penonton dari kalangan anak muda untuk memberikan apresiasi. Ini seperti yang diharapkan Altiyanto. Sehingga ketoprak memiliki basis penonton yang kuat dan beragam, bukan hanya dari kalangan orang sepuh (di atas usai lima puluh tahun).

Ketoprak sebagai warisan budaya tak benda (intangible) terbukti mampu bertahan, salah satunya justru karena ia memiliki keluwesan atau kemampuan beradaptasi dengan tuntutan zaman. Tentu hal ini tidak lepas dari kerja keras para pemangku kepentingan ketoprak (masyarakat, pemerintah dan pihak-pihak lain yang peduli). Ini seperti kepedulian yang telah ditunjukkan Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta melalui pergelaran "Hadeging Ngayogyakarta". 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun