Emha, Padhang mBulan, Gerakan Sosial Profetik....
Oleh Indra Tranggono
Esais dan Praktisi Budaya
Emha Ainun Nadjib, akrab disapa Cak Nun atau Mbah Nun, merupakan sosok yang telah melampaui dirinya baik sebagai sastrawan, budayawan, kiai maupun predikat lainya. Berbagai status atau predikat itu, rasanya tidak cukup untuk melebeli atau menandai keberadaan Cak Nun. Cak Nun piawai dan kafah menguasai soal sastra, seni, budaya, filsafat, politik, agama, sosial dan bidang lainnya. Ia bukan manusia fakultatif atau parsial melainkan utuh dan universal. Jika ia bicara soal agama misalnya, selalu terkait dengan persoalan-persoalan kehidupan.
Begitu pula ketika Cak Nun bicara seni, budaya dan politik. Seluruh ilmu dan pengetahuan serta pengalaman, berada di dalam genggamannya. Dan, ia sangat cerdas di dalam memandang persoalan yang tampak sederhana lalu menariknya ke dalam proyeksi yang jauh. Itu semua diungkapkan dengan bahasa yang gampang dipahami publik. Selain jelas, terfokus dan terstruktur serta cerdas, pernyataan Cak Nun juga mengandung humor yang menggelitik. Inspiratif. Wajar jika banyak orang menyukai ceramah-cemarah pria kelahiran Jombang Jawa Timur 1953 ini.
Dalam perjuangan kulturalnya, Cak Nun tak cukup hanya sampai pada tataran wacana dan ekspresi karya estetik. Ia juga, dengan passion yang tinggi, melakukan kegiatan konkrit di masyarakat: mendirikan forum maiyah. Yakni sebuah ruang komunikasi dan dialog ide serta nilai yang diorientasikan untuk sinau bareng  atau belajar bersama. Di situ, Cak Nun berposisi sebagai fasilitator kreatif. Selain menyodorkan berbagai gagasan, ia juga mendialogkan berbagai isu pada jamaah.
Forum maiyah pertama yang digagas dan diwujudkan Cak Nun bersama saudara-saudaranya adalah Padhang mBulan di desa Menturo Jombang Jawa Timur, pada tanggal 19 Oktober 1993. Ada puluhan ribu jamaah yang hadir, setiap forum itu digelar. Konsepnya bukan pementasan, tapi upacara bersama di mana semua orang adalah subyek. Prinsipnya tepung, srawung dan dunung yang maknanya adalah interaksi rasa, pikir dan jiwa, yang menjadikan seseorang paham atas dirinya dan posisinya.
Ultah Padhang mBulan
Kini forum Padhang mBulan sudah berusia 31 tahun. Untuk memperingati ulang tahunnya, di forum itu digelar pergelaran musik gamelan Kiai Kanjeng dan repertoar teater The Jongos garapan Dapoer Seni Djogja pimpinan Toto Rahardjo, salah satu kolega Cak Nun. The Jongos didukung tiga aktor utama: Joko Kamto, Novi Budianto dan Eko Winardi. Turut meramaikan adalah seniman Tejo Badut. Isti Nugroho, yang juga ikut main, jadi sutradara. Adapun penulis naskah Indra Tranggono. Penata musik: Toto Rahardjo dan Azied Dewa. Penata Cahaya: eks Bengkel Teater Rendra, Wardono. Dan, penata artistik: Vincensius Himawan (Si Us). Ini merupakan pentas The Jongos yang ketiga, setelah di Auditorium ISI Yogya dan Ciamis Jawa Barat. Menurut rencana, segera disusul pentas di Surabaya, Malang Jawa Timur dan Purwokerto Jawa Tengah.
Gerakan profetik
Tak hanya Padhang mBulan, Emha juga menciptakan forum maiyah Mocopat Syafaat di Bantul, DIY; Bang-bang Wetan Surabaya; Obor Ilahi, Malang; Gambang Syafaat, Semarang dan Kenduri Cinta Jakarta.
Forum-forum maiyah itu menunjukkan nilai strategis di dalam memperkuat masyarakat madani atau civil society. Masyarakat madani ditandai dengan beberapa hal, yakni kemandirian, kreativitas, inovasi, kekayaan ide dan sudut pandang, kemandirian daya nalar, ketegasan bersikap dan mengambil keputusan. Semua nilai dicapai demi kemaslahatan kolektif.
Kemaslahatan kolektif tersebut antara lain tercermin pada pengutamaan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, persaudaraan dan solidaritas. Kemanusiaan berkait erat dengan isu keadilan baik secara struktural maupun sosial. Kebersamaan berelasi dengan terbukanya ruang partisipasi publik, di mana setiap individu mendapatkan hak-hak dan wajib menjalankan kewajibannya. Persaudaraan berhubungan dengan perasaan satu nasib, satu penderitaan di dalam tantangan yang menuntut jawaban. Adapun solidaritas bertalian dengan penghargaan atas individu dalam konteks sosial, di mana setiap orang wajib mendapatkan empati, bantuan atau pertolongan demi mengatasi problem hidupnya.
Dalam konteks maiyah, agama tidak hanya dipahami sebagai ritus yang berelasi dengan kesalehan ritual, tetapi juga dipahami sebagai teks suci (sumber nilai ideal) yang di-break-down menjadi pengetahuan dan ilmu yang kemudian dipraktikkan menjadi kenyataan. Ilmu kelakone kanthi laku (ilmu, pengetahuan dan seluruh nilai-nilainya menjadi mewujud melalui tindakan/berkarya).
Forum maiyah yang digagas, dibangun dan dimotori Emha merupakan gerakan profetik (pinjam istilah sejarawan dan budayawan Kuntowijoyo). Gerakan berbasis profetisme bertujuan membebaskan sekaligus meninggikan eksistensi manusia. Membebaskan dari berbagai kepungan hambatan yang menjerat manusia. Dari pembebasan diri, manusia bisa mengaktualisasi potensi-potensi dirinya. Ini turunannya adalah pencapaian diri yang mendekati ideal dan pencapaian eksistensial yang tinggi.
Meskipun kini Cak Nun sedang sakit, forum maiyah di berbagai kota/daerah tetap jalan. Mereka konsisten mengolah dan memroduksi ide dan nilai serta karya-karya riil. Penguatan masyarakat madani terus berlangsung. Tak pernah mandeg. Ini menunjukkan, nilai-nilai yang ditanam dan disemai oleh Cak Nun terus hidup, kuat dan berkembang serta melahirkan makna dimensional bagi kehidupan kolektif yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, keadilan, kebersamaan, solidaritas dan kemajuan peradaban.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H