Transendensi dalam Puisi-puisi Isti
Oleh: Indra Tranggono
Manusia transendental sering dimaknai sebagai manusia yang tercerahkan baik oleh pengalaman sosial, politik, intelektual, estetik maupun kultural dan spiritual.
Untuk mencapai transendensi, manusia mengawali langkahnya dengan menempuh proses aktualisasi diri. Di sini, dalam proses laku (empirisme) manusia berupaya mengekspresikan seluruh ide, hasrat, keinginan, cita-cita dan segala hal yang bersifat ideal.Â
Manusia berinteraksi dengan dunia di sekitarnya: entitas sosial, alam, lingkungan dan berbagai makhluk dalam kehidupan. Tak hanya itu. Manusia juga mengalami perjumpaan dengan sejarah, tradisi, mitos dan fakta-fakta mental lainnya. Selanjutnya, manusia menyerap seluruh pengalaman menjadi pengetahuan yang bermakna dan menjadi pelajaran besar bagi dirinya.
Di dalam proses aktualisasi diri, manusia bisa terluka karena mengalami berbagai benturan baik secara sosial, kultural maupun politik. Kondisi terluka secara fisik maupun psikologis, bisa bertransformasi menjadi pengalaman traumatik yang memberikan dampak signifikan dalam kejiwaan. Untuk itu, manusia pun menempuh berbagai cara untuk melawan trauma melalui proses pemaknaan secara positif dan konstruktif atas diri dan pengalaman.Â
Dari sini lahirlah: katarsis atau penyucian jiwa. Ini relate dengan pernyataan bapak tragedi dari Yunani Sophocles: ketika penderitaan ditermia dengan agung, manusia mengalami tragedi. Dalam tragedi manusia menyadari keberadaannya dan nasibnya. Lalu ia bangkit untuk menentukan langkah ke depan: menjadi manusia baru yang tercerahkan.
Dari proses aktualisasi diri yang penuh makna, manusia yang tercerahkan menempuh proses transendensi diri. Menurut Maslow
transendensi mengacu pada tingkat kesadaran manusia yang paling tinggi dan paling inklusif atau holistik, berperilaku dan berhubungan, sebagai tujuan daripada sarana, dengan diri sendiri, dengan orang lain yang penting, dengan manusia pada umumnya, dengan spesies lain, dengan alam, dan dengan kosmos. Transendensi diri membawa individu pada apa yang disebutnya "pengalaman puncak" di mana mereka melampaui masalah pribadi mereka sendiri dan melihat dari perspektif yang lebih tinggi. Pengalaman ini sering kali membawa emosi positif yang kuat seperti kegembiraan, kedamaian, dan rasa kesadaran yang berkembang dengan baik (positivepsychology.com).
Transendensi atau proses yang "mendalam" dan "meninggi" sering dikaitkan dengan frasa "melampaui diri" untuk menemukan puncak pengalaman dan nilai-nilai tertentu. Melalui transendensi pula, manusia hadir atau eksis dengan menggenggam nilai-nilai kekal.
Penyair atau penulis puisi pada galibnya adalah manusia kreatif yang selalu setia dan bertahan di ranah pengalaman sosial,a kultural, spiritual dan politik. Di situ ia berdialog bahkan juga bertarung dengan nilai-nilai dan berbagai fenomena kehidupan. Pertarungan secara kreatif itu berujung pada kondisi "kehilangan" dan "mendapat". "Kehilangan" berkaitan dengan seluruh nilai lama yang mengendap dalam bawah sadar. Adapun "mendapat" berkaitan dengan nilai-nilai lain atau baru yang diraih, diperoleh melalui eksplorasi secara kreatif. Teks puisi, yang lahir kemudian, merupakan jagat kata dan jagat makna yang dijadikan tesis penyair atas realitas kehidupan. Tesis itu disodorkan ke publik, untuk dipahami, diuji, dimaknai dan diapresiasi.