Mohon tunggu...
indra Tranggono
indra Tranggono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

hobi menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Seni

Politik Dinasti, Oligarki, dan "The Jongos"

29 Juli 2024   08:47 Diperbarui: 29 Juli 2024   08:47 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

POLITIK DINASTI, OLIGARKI DAN "THE JONGOS"

Oleh Indra Tranggono

Selama sembilan tahun, bangsa kita disihir populisme seorang penguasa. Publik pun jadi percaya dengan berbagai pemitosan atas penguasa itu, misalnya "ratu adil" yang akan membawa bangsa dan negara ini menuju zaman kalasuba (zaman kejayaan). Sementara itu, para akademisi, juru survey bahkan juga sebagian rohaniwan menganggap dia antitesis atas sejarah kepemimpinan kaum elite di negeri ini. Ia pun serta merta dirayakan sebagai wong cilik yang berhasil melakukan mobilitas vertikal, memegang tampuk kepemimpinan nasional.

Namun setelah meledak kasus nepotisme politik yang mendorong munculnya politik dinasti --melalui rekayasa konstitusional, di mana anak sang penguasa berhasil jadi "maha patih kerajaan"---semua citra kebaikan penguasa itu pun ambyar. Ternyata penguasa itu tak lebih dari tokoh yang terobsesi melanggengkan kekuasaan. Tentu dengan mengorbankan hukum dan demokrasi. Maka orang-orang yang dulu memujanya, berbalik menghujat.

Dalam kasus ini menjadi sangat relevan pesan yang berasal dari budaya Jawa bahwa "ojo gampang gumun lan ojo gampang kaget" (jangan gampang kagum dan jangan gampang terkejut di dalam melihat kenyataan yang seolah-olah dahsyat).

Percikan persoalan di atas, memicu lahirnya naskah "The Jongos" yang saya tulis dan akan dipentaskan Dapoer Seni Djogja, Sabtu 10 Agustus 2024 pukul 19.30 di Auditorium ISI Yogyakarta, Sewon Bantul DIY. Bertindak sebagai sutradara adalah seniman dan aktivis demokrasi Isti Nugroho, yang pada masa Orde Baru dihukum delapan tahun karena tuduhan subversif. Adapun sebagai penata musik Toto Rahardjo dan Azied Dewa, penata cahaya Wardono (eks Bengkel Teater Rendra), penata rias Gita Gilang, penata artistik Vincensius Dwimawan dan kontributor ide Simon Hate. Para aktor yang mendukung: Joko Kamto, Novi Budianto dan Eko Winardi.

Pementasan ini dikemas ringkas, baik dalam jumlah pemain, kru, manajemen maupun biaya. Dengan prinsip teater mikro, pementasan ini tetap berupaya menghadirkan nilai-nilai substansial melalui ungkapan-ungkapan estetik-teaterikal.

Dominasi Oligarki

"The Jongos" muncul karena didorong kegelisahan kreatif yang terkait dengan semakin dominannya oligarki (kelompok elite politik., ekonomi dan militer) dalam praksis kenegaraan. Munculnya nepotisme dan politik dinasti tidak lepas dari peran oligarki. Oligarki tidak ingin kekuasaan yang beroperasi datang dari kelompok lain yang tidak menguntungkan dirinya. Karena itu mereka perlu menyusun skenario dan menempuh langkah-langkah politik untuk mengendalikan tampuk kekuasaan. Yang dipilih tak lain adalah "orang-orang sendiri" atau yang satu kubu.

Di berbagai negara, sulit menemukan fakta bahwa oligarki mampu menyejahterakan rakyat, karena umumnya praktik-praktik oligarkis sangat jauh dari nilai-nilai ideal, baik di dalam konteks demokrasi, politik, hukum, ekonomi dan kebudayaan. Yang diburu oligarki hanyalah keuntungan, bukan pemerataan keadilan. Untuk mencapai tujuan dan kepentingannya itu mereka tega melakukan apa saja, termasuk mengakali hukum/konstitusi dan mereduksi demokrasi jadi sekadar prosedur.

Konstitusi yang diperalat oligarki itu terbayang di dalam kisah "The Jongos". Yakni pada tokoh Tuan Hakim yang diperalat kekuasaan untuk memenangkan perkara di dalam perebutan tampuk kekuasaan. Hakim itu akhirnya menyadari dirinya tak lebih dari jongos oligarki.

Setelah putusan kontroversial itu dijalankan, muncul rasa bersalah dan berdosa pada diri Tuan Hakim. Setiap saat ia merasa diburu orang-orang yang terlukai rasa keadilannya. Wajah mereka merah. Mata mereka mengobarkan api kemarahan. Gigi-gerigi mereka runcing dan tajam, siap mengerkah kepala Sang Hakim.

Dua pembantunya yakni Busril dan Kotto tak mampu menolong Tuan Hakim, kecuali menjalankan tugas untuk membuang atau membakar jubah hakim. Alasannya, setiap Tuan Hakim melihat jubah itu ia merasa dikepung orang-orang yang akan membunuhnya.

Busril dan Kotto tak memenuhi tugas yang diberikan Tuan Hakim. Jubah itu justru diserahkan pada Museum Kelam Bangsa. Sebelum diserahkan, Busril dan Kotto mencoba memakai jubah itu. Begitu jubah dipakai Kotto mendadak ia kesurupan. Ia kangslupan arwah seorang hakim dari Tiongkok yang pada masa hidupnya gigih melawan kezaliman.

Adapun Busril ketika mengenakan jubah itu ia kerawuhan arwah pemimpin revolusioner Bung Karno. Dalam orasinya, "Bung Karno" menyinggung kondisi gawat di mana bangsa kita semakin terseret jadi bangsa jongos atas kekuasan asing dan aseng. Ini berlawanan dengan zaman Orde Lama, di mana kepribadian, kemandirian dan kedaulatan menjadi nilai-nilai yang selalu diutamakan.

Sementara itu, Tuan Hakim yang tak kuasa disekap kecemasan dan ketakutan mengaku bahwa dirinya tak lebih dari jongos yang tunduk pada oligarki. Di puncak frustrasi, Tuan Hakim pun bunuh diri dengan pistolnya.

Ide menganyam alur

 Dalam drama berdurasi sekitar 90 menit ini, alur cerita dianyam oleh ide persoalan yang muncul pada setiap adegan. Adegan satu menimbulkan kisah pada adegan kedua. Adegan kedua menyodok cerita pada adegan ketiga. Begitu seterusnya hingga ending. Cara ini dipakai demi mengefektifkan persoalan yang kompleks dan menuntut kehadiran peristiwa dramatik.

Adapun dalam hal pengadegan ada yang berbentuk drama dialog dan monolog. Drama dialog dihadirkan pada bagian-bagian awal. Sedang bagian tengah hingga belakang (akhir) dipakai untuk menghadirkan drama monolog.

Demi memunculkan daya tarik, pada setiap adegan diciptakan "puncak-puncak adegan kecil" dan suguhan humor yang segar tapi bukan banyolan ala lawakan. Humor-humor hitam. Satire. Dan, parodi. Sementara beberapa adegan yang lain dihadirkan dengan suasana dramatik yang serius dan sarat pesan moral dan pesan sosial.

Pementasan "The Jongos" diupayakan oleh Dapoer Seni Djogja menjadi bukan sekadar tontonan dan hiburan, melainkan renungan atas berbagai tumpang tindih dan silang sengkarut nilai-nilai yang kepentingan politik yang terjadi di negeri ini. Ia tak sekadar bersaksi, tapi juga menginterupsi keadaan agar tidak semakin berlarut-larut dan parah sehingga menghancurkan hukum dan demokrasi. 

Meskipun suara interupsi itu barangkali sangat lirih dan tidak didengar rezim, sajian teater ini diharapkan mampu menggugah daya kritis publik untuk selalu membela demokrasi dan mendukung penegakan hukum, sebelum negeri ini berubah dari negara hukum menjadi negara kekuasaan. (Indra Tranggono, esais, cerpenis, penulis naskah lakon dan aktivis budaya, tinggal di Yogyakarta)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun