Mohon tunggu...
indra Tranggono
indra Tranggono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

hobi menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Seni

Politik Dinasti, Oligarki, dan "The Jongos"

29 Juli 2024   08:47 Diperbarui: 29 Juli 2024   08:47 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah putusan kontroversial itu dijalankan, muncul rasa bersalah dan berdosa pada diri Tuan Hakim. Setiap saat ia merasa diburu orang-orang yang terlukai rasa keadilannya. Wajah mereka merah. Mata mereka mengobarkan api kemarahan. Gigi-gerigi mereka runcing dan tajam, siap mengerkah kepala Sang Hakim.

Dua pembantunya yakni Busril dan Kotto tak mampu menolong Tuan Hakim, kecuali menjalankan tugas untuk membuang atau membakar jubah hakim. Alasannya, setiap Tuan Hakim melihat jubah itu ia merasa dikepung orang-orang yang akan membunuhnya.

Busril dan Kotto tak memenuhi tugas yang diberikan Tuan Hakim. Jubah itu justru diserahkan pada Museum Kelam Bangsa. Sebelum diserahkan, Busril dan Kotto mencoba memakai jubah itu. Begitu jubah dipakai Kotto mendadak ia kesurupan. Ia kangslupan arwah seorang hakim dari Tiongkok yang pada masa hidupnya gigih melawan kezaliman.

Adapun Busril ketika mengenakan jubah itu ia kerawuhan arwah pemimpin revolusioner Bung Karno. Dalam orasinya, "Bung Karno" menyinggung kondisi gawat di mana bangsa kita semakin terseret jadi bangsa jongos atas kekuasan asing dan aseng. Ini berlawanan dengan zaman Orde Lama, di mana kepribadian, kemandirian dan kedaulatan menjadi nilai-nilai yang selalu diutamakan.

Sementara itu, Tuan Hakim yang tak kuasa disekap kecemasan dan ketakutan mengaku bahwa dirinya tak lebih dari jongos yang tunduk pada oligarki. Di puncak frustrasi, Tuan Hakim pun bunuh diri dengan pistolnya.

Ide menganyam alur

 Dalam drama berdurasi sekitar 90 menit ini, alur cerita dianyam oleh ide persoalan yang muncul pada setiap adegan. Adegan satu menimbulkan kisah pada adegan kedua. Adegan kedua menyodok cerita pada adegan ketiga. Begitu seterusnya hingga ending. Cara ini dipakai demi mengefektifkan persoalan yang kompleks dan menuntut kehadiran peristiwa dramatik.

Adapun dalam hal pengadegan ada yang berbentuk drama dialog dan monolog. Drama dialog dihadirkan pada bagian-bagian awal. Sedang bagian tengah hingga belakang (akhir) dipakai untuk menghadirkan drama monolog.

Demi memunculkan daya tarik, pada setiap adegan diciptakan "puncak-puncak adegan kecil" dan suguhan humor yang segar tapi bukan banyolan ala lawakan. Humor-humor hitam. Satire. Dan, parodi. Sementara beberapa adegan yang lain dihadirkan dengan suasana dramatik yang serius dan sarat pesan moral dan pesan sosial.

Pementasan "The Jongos" diupayakan oleh Dapoer Seni Djogja menjadi bukan sekadar tontonan dan hiburan, melainkan renungan atas berbagai tumpang tindih dan silang sengkarut nilai-nilai yang kepentingan politik yang terjadi di negeri ini. Ia tak sekadar bersaksi, tapi juga menginterupsi keadaan agar tidak semakin berlarut-larut dan parah sehingga menghancurkan hukum dan demokrasi. 

Meskipun suara interupsi itu barangkali sangat lirih dan tidak didengar rezim, sajian teater ini diharapkan mampu menggugah daya kritis publik untuk selalu membela demokrasi dan mendukung penegakan hukum, sebelum negeri ini berubah dari negara hukum menjadi negara kekuasaan. (Indra Tranggono, esais, cerpenis, penulis naskah lakon dan aktivis budaya, tinggal di Yogyakarta)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun