Minyak dan Gas (migas) tetap primadona sumber pendapatan negara sampai saat ini. Dikala sektor lain digenjot untuk lebih berkontribusi terhadap pendapatan terutama sektor pajak, migas tetaplah penyumbang pendapatan negara Indonesia yang terbesar (pajak migas pun tetap berada di urutan pertama). Meski harga minyak dunia turun lebih dari separuh, sektor ini tetaplah sumber pendapatan utama negara sampai detik ini.
Sebagai sumber pendapatan utama negara, migas selama ini telah berfungsi menjadi pendukung dan penumbuhkembang kemampuan nasional. Migas menjadi sumber utama energi dan sumber bahan baku untuk kebutuhan dalam negeri.
Secara garis besar, kegiatan industri migas dibagi menjadi 2 bagian, yakni bagian hulu migas (upstream) dan bagian hilir migas (downstream). Kegiatan hulu migas mencakup kegiatan eksplorasi, kegiatan pengembangan fasilitas, dan kegiatan produksi eksploitasi migas mentah. Sebaliknya, kegiatan hilir migas meliputi kegiatan pengolahan migas mentah menjadi produk-produk migas siap pakai dan pengelolaan distribusinya ke pengguna akhir.
[caption id="attachment_351808" align="aligncenter" width="418" caption="Ilustrasi Kegiatan Sektor Minyak dan Gas Bumi (sumber SKK Migas*)"][/caption]
Industri migas merupakan industri yang sifat sumber pendapatannya given. Cadangan migas yang sifatnya anugerah tersebut bisa diukur potensi volumenya dan diprediksi masa eksploitasinya. Terlepas dari sisi padatnya modal, heterogennya kompetensi, penggunaan teknologi yang masif, serta resiko yang besar, potensi pendapatan negara dari sektor migas tetaplah 'mudah' dikalkulasi. Karakter demikianlah yang menjadikan bagian hulu migas (upstream) menjelma menjadi main revenue center bagi negara.
Kegiatan bagian hulu ini bermula dari aktivitas eksplorasi akan potensi cadangan migas yang 'tersedia' di seluruh pelosok negeri. Setelah melalui tahapan studi dan proses survei, akhirnya cadangan migas hasil aktivitas eksplorasi tersebut bisa dinyatakan sebagai proved reserves dan secara ekonomi layak dieksploitasi. Dari sini maka dimulailah aktivitas pemboran sumur migas untuk produksi oleh Kontraktor KKS (tentunya setelah keluar izin dari SKK Migas sebagai regulator) dan pengembangan surface facility lapangan migas hingga terbangun titik tempat jual beli produk migas mentah terjadi (lifting point).
Kini, setelah melewati masa-masa produksi migas melimpah di tahun 1960 - 1977 (build-up stage), profil lapangan-lapangan migas Indonesia umumnya berada di fase menurun (decline stage). Seumpama balon ditusuk jarum, lama-kelamaan fluida migas yang berawal dari reservoir migas akan berkurang volumenya yang sampai ke permukaan, sehingga menyebabkan produksi migas menjadi turun. Kalaupun masih ada fluida migas yang tersisa, perlu rekayasa daya angkat (artificial lift) supaya fluida migas tersebut bisa sampai ke permukaan guna menambah volume produksi. Tentunya ada ongkos yang harus dibayar.
Masa Melimpah vs Masa Menurun Lapangan Hulu Migas (sumber SKK Migas*)
Dampak dari kondisi lapangan migas seperti ini, produksi migas Indonesia berada pada masa menurun (terutama minyak). Padahal ongkos produksi lapangan 'tua' semakin meningkat, sebab aktivitas untuk merekayasa daya angkat pun bertambah. Katakanlah pemasangan pompa yang lebih baru semisal ESP, jurus EOR (Enhanced Oil Recovery), subtitusi pipa dengan sarana angkut vessel truck karena sifat fluida yang semakin berat sehingga lambat ditransmisikan melalui pipa, dan segudang aktivitas rekayasa lain yang tentunya berkorelasi dengan biaya. Ujungnya cost recovery yang harus ditanggung negara menjadi naik.
[caption id="attachment_351841" align="aligncenter" width="426" caption="Profil Produksi Migas Indonesia (sumber SKK Migas*)"]
Dilain pihak, konsumsi energi produk migas dalam negeri semakin meningkat. Bila tidak ada langkah antisipasi, maka siap-siaplah kemandirian bangsa dan kedaulatan negara menjadi taruhan. Lantas apa yang harus diperbuat?
[caption id="attachment_351843" align="aligncenter" width="418" caption="Tren Produksi vs Konsumsi Migas (sumber SKK Migas*)"]
Menambah kegiatan eksplorasi untuk menemukan cadangan baru dan kegiatan eksploitasi baru terhadap lapangan muda hasil eksplorasi tentu perlu dilakukan guna menaikkan kembali produksi migas nasional. Ini adalah cara pandang yang sifatnya ekspansif. Namun kegiatan yang sifatnya ekspansif sering terkendala dengan modal dan ketakutan akan bayang-bayang kegagalan aktivitas pemboran sumur produksi. Jangan-jangan aktivitas pemboran oleh Kontraktor KKS berujung dry hole.
Sisi lain yang sifatnya preventif juga perlu ditempuh. Karena pada awalnya potensi volume migas yang 'terperangkap' dalam reservoir berdasarkan studi eksplorasi dan survei sudah terkalkulasi, maka seharusnya volume fluida migas yang berhasil dikeluarkan dan diproduksi di tiap titik lewat jalur alirnya menuju titik jual (lifting point) pun bisa dihitung dan diketahui angkanya. Sampai di titik akhir (titik jual), volume migas yang berhasil ditransmisikan tercatat angkanya dan bisa dipertanggungjawabkan.
Kalaulah boleh mengibaratkan sistem produksi migas yang ideal, seharusnya migas yang masuk dan keluar dari suatu fasilitas produksi pasti akan bervolume beda, dengan syarat bila faktor selisih volumenya yang terukur dan tercatat masuk akal dan angkanya bisa diterima. Lalu pertanyaan pun muncul, apakah volume migas yang sampai di titik jual adalah volume yang seharusnya ataukah ada sejumlah kuantitas volume yang tidak disertakan di sepanjang jalur aliran fluida migas (unaccounted quantity)?
Bila langkah ekspansif fokus menambah entitas lapangan produksi baru, konsentrasi langkah preventif terletak pada telisik kuantitas volume yang tak tercatat. Keduanya sama-sama berujung tujuan akhir: menaikkan produksi migas secara nasional. Hanya saja derajat resiko yang menyertai jauh berbeda. Jadi, manakah pilihan termudah?
*) Data dan ilustrasi diambil dari materi presentasi SKK Migas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H