Mohon tunggu...
Indra Rahayu
Indra Rahayu Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar

Menulis hanya pengisi waktu luang. Kebetulan, waktu luang cukup banyak.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menyemai Tren Berpikir Kritis Peserta Didik

13 Agustus 2024   15:22 Diperbarui: 13 Agustus 2024   15:37 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apakah Anda pernah mengalami ketergesaan dalam mengambil keputusan? Menentukan secara cepat apa yang akan kita pilih dan kita lakukan, memanglah sebuah kemampuan yang diperlukan. Namun, tanpa memperhatikan dan menganalisis situasi dan dampak apa yang akan muncul dari sebuah pilihan tak kalah pentingnya. Rasa sesal sebab keliru dalam menentukan pilihan tak jarang kita temui, bahkan kita sendiri pernah mengalami. Mencegah hal tersebut terjadi, setiap manusia perlu dibekali kemampuan berpikir kritis. Kerap kita sering mendengar frasa "berpikir kritis" di mana-mana. Bukan hanya di lembaga pendidikan, pun di rapat-rapat strategis perusahaan. Kemampuan berpikir kritis termasuk keterampilan yang wajib dimiliki untuk menghadapi tantangan di abad 21.

Konstruksi berpikir kritis perlu diketengahkan bagi peserta didik. Pradana Subarjo, M.D, dkk. (2023) mengungkapkan kegunaan berpikir kritis dapat membantu peserta didik dalam menghadapi tantangan global. Di tengah arus informasi saat ini, peserta didik mampu menyeleksi berbagai opini atau pendapat. Memilah pendapat mana yang relevan dan tidak relevan serta pendapat yang benar dan tidak benar. Beragam informasi yang bertebaran di berbagai platform tidak semua memberikan dampak positif. Tanpa keinginan untuk memverifikasi informasi, dapat memberikan pengaruh yang fatal terhadap cara berpikir dan bersikap. Demi mencapai titik pemikiran yang optimal, perlu menyusuri perjalanan yang cukup panjang.

Bertolak dari mekanisme dalam berpikir kritis yang cukup kompleks perlu adanya pembiasaan dan seiring waktu akan terkuasai. Seperti yang dikatakan oleh Nuraida dalam Inch (2006) menyatakan bahwa berpikir kritis merupakan sebuah proses kompleks yang membantu seseorang dalam menyelesaikan permasalahan. Selain demikian, pengambilan keputusan yang buru dapat dicegah. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses berpikir kritis, yaitu upaya membandingkan setiap pandangan-pandangan, mana yang sesuai atau tidak. Bagaimana seorang peserta didik atau siapa pun dapat  mengoreksi sebuah pendapat jika bertanya di kelas saja kesulitan? Belum terlambat, semuanya bisa dibenahi. Kendati ciri-ciri dari berpikir kritis tidak dilihat dari sebanyak apa seseorang mengajukan pertanyaan. Namun, evaluasi informasi dan pembentukan kerangka berpikir kritis dapat dimulai dari menumbuhkan dorongan untuk bertanya.

 

Problem merebaknya informasi, enggan bertanya, dan kekeliruan dalam memilih inspirasi dapat di atas dengan kemampuan berpikir kritis.

 

Darurat over informasi

 

Lambat laun, otak kita akan disesaki oleh berbagai informasi yang bertebaran. Tidak seperti masa silam, cara kita memperoleh berita baru sangat terbatas. Televisi, radio, dan koran-koran menjadi sarana perolehan informasi selain buku. Namun, pada saat ini, dalam satu hari, beribu informasi dengan mudah kita dapatkan. Dimulai dari kabar yang penting dan tidak cukup penting. Seperti yang diungkapkan oleh Safilu (2010) badai informasi yang terjadi pada saat ini memungkinkan semua orang mendapatkan informasi dalam segala situasi dan di mana pun. Tentu, dengan segala kemudahan, setiap orang memperoleh informasi setiap waktu, setiap detik. Kerap kita menyimak kabar-kabar konyol di media sosial yang memantik api di lumbung padi. Konten-konten tersebut hanya menimbulkan banyak kebencian. Lantas bagaimana cara menyikapi fenomena tersebut?

Banjir informasi tak mungkin dikendalikan. Setiap orang adalah media, dan berhak untuk menyebarkan informasi. Walaupun negara menyiapkan alat untuk menyaring informasi, seperti berdirinya lembaga-lembaga sensor dan Kominfo yang pada saat ini merambah pada ekosistem media sosial. Namun, belum dapat mengoptimalkan peran pengawasannya untuk melakukan filter terhadap konten-konten yang merugikan, khususnya bagi peserta didik. Di tengah kemudahan dalam memperoleh informasi, setiap manusia tidak dikenankan untuk abai begitu saja. Namun, setiap orang memerlukan filter. Filter yang dimaksud adalah cara berpikir kritis. Guna filter tersebut untuk mengetahui apakah suatu informasi harus diterima, ditolak, atau ditunda (Wahyudi, dkk. dalam Haryani, 2011).  Mengacu pada pernyataan tersebut, bahwa terdapat tiga opsi yang dapat kita lakukan ketika mendapat informasi, yaitu menerima, menunda, dan menolak.

Apakah kalian pernah menerima video-video di grup yang belum tentu kebenarannya? Dan video itu dengan mudah menyulut komentar dari beberapa orang yang seolah mempercayai apa yang terjadi? Hal itu tidak akan terjadi jika kita tidak terbatas pada respons menerima. Bayangkan, betapa sumpek dan padat pikiran kita jika semua informasi harus diterima. Kabar penting dan tidak itu berjejalan di kepala. Mengapa kita tidak berupaya untuk membuat otak dan pikiran menjadi sehat? Gunakan pilihan menunda dan menolak. Ambil informasi yang relevan dengan kehidupan yang sedang dijalani. Sehingga dapat benar-benar memberikan manfaat.  

 

Bertanya bukan berarti tidak memahami

 

Banyak faktor yang memicu hambatan pada keinginan peserta didik untuk bertanya. Beberapa faktor akan diulas oleh penulis pada bagian ini. Ada cerita, di sebuah ruang kelas, pembelajaran hampir usai. Kemudian, seorang guru melontarkan kalimat "Sebelum diakhiri, apakah ada yang mau bertanya terkait apa yang sudah kita bahas?". Salah satu siswa mengacungkan tangan. Sontak kawan sekelasnya menatap tajam siswa itu. Waktu mereka pulang terganjal oleh siswa yang ingin mengajukan pertanyaan. Kita pasti pernah merasakan suasana seperti pada cerita tersebut. Entah sebagai siswa yang bertanya atau yang kawan-kawannya. Tampak sederhana, tetapi itu menjadi salah satu penjegal minat atau kemauan seseorang untuk bertanya.

Selain ilustrasi di atas, faktor yang menghambat pertanyaan siswa di kelas adalah seseorang yang bertanya hanya dianggap tidak paham terhadap apa yang dipelajari. Ketakutan dianggap bodoh oleh rekan-rekannya membuat seorang siswa memilih untuk diam. Patut disadari bahwa korelasi antara bertanya dan ketidakpahaman tentu tidak sepenuhnya benar. Melainkan, lebih dari itu sebuah pertanyaan berguna untuk memverifikasi atau menilai sebuah pernyataan, mengetahui apakah sebuah gagasan itu benar atau keliru.  Bertanya merupakan salah satu implementasi berpikir kritis. Kemauan untuk bertanya termasuk dalam komponen berpikir kritis yang dirumuskan oleh Weissinger (2024) bahwa sebuah pertanyaan yang disusun dengan baik menandakan proses berpikir yang baik. Selain kemauan bertanya adalah kecakapan dasar. Kegunaan kecakapan dasar mengarah pada kemampuan verifikasi argumen dan menguji kredibilitas sumber yang didapat oleh pembaca.

Peserta didik bukan hanya sebagai penerima informasi. Melainkan, dijadikan sebagai subjek yang mencari informasi secara mandiri. Hal itu dapat terjadi jika peserta didik dibekali keterampilan dalam komunikasi. Tidak hanya secara lisan, pun dalam komunikasi teks atau tulisan. Dalam proses komunikasi selain menyampaikan apa yang ada dalam pikiran, peserta didik pun akan mencari tahu informasi apa yang akan disampaikan. Kemudian, dalam penelusuran informasi, akan muncul rasa ingin tahu dan memungkinkan siswa untuk mengungkapkan sebuah pertanyaan. Kemampuan berpikir kritis peserta didik dapat dilatih dengan cara menulis. Dalam proses tersebut peserta didik akan didorong untuk menggambarkan cara berpikirnya. Misalnya, peserta didik diinstruksikan untuk mengambil inti sari dari sebuah bacaan atau menyimpulkan informasi yang telah didapat.

Tujuan dari memiliki keterampilan bertanya mencakup beberapa aspek. Selain memiliki tujuan untuk mendapatkan informasi, bertanya mengarah pada aspek penilaian informasi. Memastikan bahwa informasi yang didapatkan tepat dan bukan mengada-ada pun melatih rasa percaya diri siswa dalam sesi diskusi. Sehingga tidak enggan dalam menyampaikan pendapat atau gagasan (Yuliani dalam Partin, 2009). Dari pendapat tersebut membuktikan efektivitas dari kemampuan bertanya. Kita dapat memastikan kualitas informasi yang disampaikan oleh seseorang. Menghindari untuk menelan mentah-mentah jawaban yang kita dapat dan dapat mengetahui lebih dalam sebuah gagasan.

 

Kritis dalam memilih sumber inspirasi

Setiap orang pasti memiliki sosok yang idola dan orang yang disukai, sosok itu terkadang banyak memberi pengaruh pada seseorang. Istilah influencer yang sering kita dengan saat ini mengarah pada seseorang yang memberikan dampak bagi banyak orang. Referensi tokoh atau idola saat ini semakin beragam, tidak seperti zaman dulu. Di era media sosial setiap orang bisa menjadi pemengaruh. Pengaruh yang ditimbulkan pun ikut beragam.

Anak muda saat ini menjadi sasaran empuk para influencer.  Memilih sosok yang tidak tepat akan membawa anak mudah pada arah yang tidak diinginkan. Maka, untuk mencegah hal terebut dibutuhkan keterampilan berpikir kritis.

Persepsi menjadi salah satu penentu seseorang dalam memilih apa yang disukai pun siapa yang akan diikuti, dijadikan inspirasi. Persepsi terbentuk dari daya seorang manusia dalam menangkap sebuah objek secara indrawi. Kemampuan menangkap setiap objek setiap orang berbeda. Ini berkaitan dengan kualitas kognitif. Seseorang cenderung menggunakan persepsi pada objek yang mencuat di permukaan dengan signifikan. Seperti arah dari suara bising di tengah suasana sunyi atau postur tubuh tinggi menjulang di antara orang-orang bertubuh pendek.

Kemampuan berpikir berpengaruh pada cara kita menanggapi suatu fenomena. Tidak semua yang mencuat ke permukaan atau istilah saat ini viral membawa pada kebaikan. Terkadang ada hal yang tak perlu ditanggapi dengan antusias dan dijadikan angin lalu. Persepsi yang didukung oleh kemampuan berpikir kritis dapat melahirkan sikap bijaksana seseorang. Alihkan pandangan kita pada hal-hal yang memang memberi banyak poin positif.

Selain mengkorelasikan antara persepsi dan kemampuan berpikir kritis, peserta didik perlu dibekali literasi media. Pengajaran literasi media dalam mencegah kekeliruan dalam sumber inspirasi dan panutan peserta didik dijelaskan oleh Rami (2013) pengertian dari literasi media adalah "ability to access, analize, evaluate, and communicate the content of media message". Literasi media meliputi kejelian dari para konsumen informasi digital baik itu secara visual atau audio visual, berkenaan dengan kemampuan mengakses, menilai atau mengevaluasi, dan memahami informasi atau pesan yang disiarkan oleh media massa.

Dalam penelitiannya, Amelia (2013) menyoroti fenomena konten-konten yang "tidak ramah publik" kian merebak pada saat ini. Khususnya bagi manusia usia remaja dan anak-anak yang mudah terpancing untuk meniru dan mengikuti aktivitas atau cara berpakaian dari konten yang dilihat. Memberi pemahaman dalam penggunaan teknologi digital menjadi salah satu kunci yang menyelamatkan anak remaja agar terhindar dari perilaku negatif. Mengingat konten visual dan audio visual tidak dapat kita kontrol. Semua orang bebas berkreasi, membuat konten yang mereka inginkan. Dorongan finansial pun berpengaruh dalam produksi hiburan. Setiap orang berlomba-lomba membuat karya tanpa memikirkan dampak dari kekaryaan tersebut dan lebih mementingkan keuntungan materiil yang didapat.

Tidak ada alasan untuk tidak menggaungkan narasi berpikir kritis sampai kapan pun. Terlebih kepada para peserta didik. Doktrin media sosial semakin dahsyat, melakukan filter dapat membantu kita dari jerembap dampak negatif.

Referensi

Pradana, Subarjo, M.D, dkk. 2023. Analisis Penerapan Pendekatan Teori Belajar Konstruktivisme pada Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Sekolah Dasar.

Nuraida, Dede. 2019. Peran Guru dalam mengembangkan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa dalam Proses Pembelajaran.

Wahyudi, dkk. 2020. Kajian Analisis Keterampilan Berpikir Kritik Siswa Sekolah Menengah Atas.

Kunayah, Damar & Niswatul, Fauziah. 2023. Analisis Kemampuan Bertanya Siswa Ditinjau dan Efikasi Diri.

Yuliani. 2014. Analisis Kualitas Pertanyaan Siswa Berdasarkan Gender dan Taksonomi Bloom.

Muzniyyah, Hafilia & Regina, Giani. 2024. Perbandingan Persepsi dan Praktik Terhadap Aurat di berbagai Konteks Budaya.

Rahmi, Amelia. 2013. Pengenalan Literasi Media pada Anak Usia Sekolah Dasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun