Mohon tunggu...
Indra Rahayu
Indra Rahayu Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar

Menulis hanya pengisi waktu luang. Kebetulan, waktu luang cukup banyak.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menyemai Tren Berpikir Kritis Peserta Didik

13 Agustus 2024   15:22 Diperbarui: 13 Agustus 2024   15:37 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah Anda pernah mengalami ketergesaan dalam mengambil keputusan? Menentukan secara cepat apa yang akan kita pilih dan kita lakukan, memanglah sebuah kemampuan yang diperlukan. Namun, tanpa memperhatikan dan menganalisis situasi dan dampak apa yang akan muncul dari sebuah pilihan tak kalah pentingnya. Rasa sesal sebab keliru dalam menentukan pilihan tak jarang kita temui, bahkan kita sendiri pernah mengalami. Mencegah hal tersebut terjadi, setiap manusia perlu dibekali kemampuan berpikir kritis. Kerap kita sering mendengar frasa "berpikir kritis" di mana-mana. Bukan hanya di lembaga pendidikan, pun di rapat-rapat strategis perusahaan. Kemampuan berpikir kritis termasuk keterampilan yang wajib dimiliki untuk menghadapi tantangan di abad 21.

Konstruksi berpikir kritis perlu diketengahkan bagi peserta didik. Pradana Subarjo, M.D, dkk. (2023) mengungkapkan kegunaan berpikir kritis dapat membantu peserta didik dalam menghadapi tantangan global. Di tengah arus informasi saat ini, peserta didik mampu menyeleksi berbagai opini atau pendapat. Memilah pendapat mana yang relevan dan tidak relevan serta pendapat yang benar dan tidak benar. Beragam informasi yang bertebaran di berbagai platform tidak semua memberikan dampak positif. Tanpa keinginan untuk memverifikasi informasi, dapat memberikan pengaruh yang fatal terhadap cara berpikir dan bersikap. Demi mencapai titik pemikiran yang optimal, perlu menyusuri perjalanan yang cukup panjang.

Bertolak dari mekanisme dalam berpikir kritis yang cukup kompleks perlu adanya pembiasaan dan seiring waktu akan terkuasai. Seperti yang dikatakan oleh Nuraida dalam Inch (2006) menyatakan bahwa berpikir kritis merupakan sebuah proses kompleks yang membantu seseorang dalam menyelesaikan permasalahan. Selain demikian, pengambilan keputusan yang buru dapat dicegah. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses berpikir kritis, yaitu upaya membandingkan setiap pandangan-pandangan, mana yang sesuai atau tidak. Bagaimana seorang peserta didik atau siapa pun dapat  mengoreksi sebuah pendapat jika bertanya di kelas saja kesulitan? Belum terlambat, semuanya bisa dibenahi. Kendati ciri-ciri dari berpikir kritis tidak dilihat dari sebanyak apa seseorang mengajukan pertanyaan. Namun, evaluasi informasi dan pembentukan kerangka berpikir kritis dapat dimulai dari menumbuhkan dorongan untuk bertanya.

 

Problem merebaknya informasi, enggan bertanya, dan kekeliruan dalam memilih inspirasi dapat di atas dengan kemampuan berpikir kritis.

 

Darurat over informasi

 

Lambat laun, otak kita akan disesaki oleh berbagai informasi yang bertebaran. Tidak seperti masa silam, cara kita memperoleh berita baru sangat terbatas. Televisi, radio, dan koran-koran menjadi sarana perolehan informasi selain buku. Namun, pada saat ini, dalam satu hari, beribu informasi dengan mudah kita dapatkan. Dimulai dari kabar yang penting dan tidak cukup penting. Seperti yang diungkapkan oleh Safilu (2010) badai informasi yang terjadi pada saat ini memungkinkan semua orang mendapatkan informasi dalam segala situasi dan di mana pun. Tentu, dengan segala kemudahan, setiap orang memperoleh informasi setiap waktu, setiap detik. Kerap kita menyimak kabar-kabar konyol di media sosial yang memantik api di lumbung padi. Konten-konten tersebut hanya menimbulkan banyak kebencian. Lantas bagaimana cara menyikapi fenomena tersebut?

Banjir informasi tak mungkin dikendalikan. Setiap orang adalah media, dan berhak untuk menyebarkan informasi. Walaupun negara menyiapkan alat untuk menyaring informasi, seperti berdirinya lembaga-lembaga sensor dan Kominfo yang pada saat ini merambah pada ekosistem media sosial. Namun, belum dapat mengoptimalkan peran pengawasannya untuk melakukan filter terhadap konten-konten yang merugikan, khususnya bagi peserta didik. Di tengah kemudahan dalam memperoleh informasi, setiap manusia tidak dikenankan untuk abai begitu saja. Namun, setiap orang memerlukan filter. Filter yang dimaksud adalah cara berpikir kritis. Guna filter tersebut untuk mengetahui apakah suatu informasi harus diterima, ditolak, atau ditunda (Wahyudi, dkk. dalam Haryani, 2011).  Mengacu pada pernyataan tersebut, bahwa terdapat tiga opsi yang dapat kita lakukan ketika mendapat informasi, yaitu menerima, menunda, dan menolak.

Apakah kalian pernah menerima video-video di grup yang belum tentu kebenarannya? Dan video itu dengan mudah menyulut komentar dari beberapa orang yang seolah mempercayai apa yang terjadi? Hal itu tidak akan terjadi jika kita tidak terbatas pada respons menerima. Bayangkan, betapa sumpek dan padat pikiran kita jika semua informasi harus diterima. Kabar penting dan tidak itu berjejalan di kepala. Mengapa kita tidak berupaya untuk membuat otak dan pikiran menjadi sehat? Gunakan pilihan menunda dan menolak. Ambil informasi yang relevan dengan kehidupan yang sedang dijalani. Sehingga dapat benar-benar memberikan manfaat.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun