Dalam hukum pidana Islam sendiri tidak terdapat pengertian yang secara eksplisit mengenai pejabat. Karena dalam dokrtin syari'at Islam, Allah Swt merupakan pemilik segala sesuatu termasuk manusia yang di mandati oleh Allah Swt sebagai Khalifah di bumi. Di samping melimpahkan atau memandati sebagian kekuasaan-Nya kepada makhluk, Allah Swt memberikan aneka norma dan petunjuk pelaksanaan atau standar moralitaas dalam melaksanakan hak dan kewajiban serta pertanggung jawaban pemegang mandat tersebut.
Kata khalifah sendiri banyak terkandung dalam Al-Qur'an seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 30 dan surat Shad ayat 26, bila diartikan ke dalam bahasa politik kontemporer, dapat berarti penguasa atau pemerintahan yang mempunyai kekuasaan formal bertugas mengelola wilayah tertentu. Dalam Islam sendiri kekuasaan politik (pemerintah) harus mengandung asas yang terdapat dalam al-Qur'an yaitu: Asas amanat, asas keadilan (keselarasan), asas ketaatan (disiplin), dan Sunnah. Kesemua asas tersebut memiliki dasar yang sama yaitu kekuasaan yang dititipkan Allah Swt kepada manusia, sehingga siapapun yang melawan atau tidak menuruti pemerintah sama dengan melawan Allah Swt.
Khalifah atau Imam merupakan pengganti nabi yang bertugas melindungi agama dan mengatur kemaslahatan hidup umat. Dalam segi syarat seorang bisa menjadi imam semua di dasarkan pada al-Qur'an dan syari'at Islam. Dilihat dari segi pengangkatan imam dalam Islam dilakukan dengan cara bai'at didepan masyarakat setelah calon imam dipilih oleh masyarakat. Meskipun dalam hukum pidana Islam tidak tercantum secara eksplisit pengertian pejabat seperti dalam pasal 154 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023, namun bila dikaitkan dengan pasal yang tercantum pada bab IX tentang tindak pidana terhadap kekuasaan pemerintahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 paragraf 1 (pemaksaan) dan paragraf 2 (pengabaian), maka dapat dikategorikan sebagai jarimah al-bagyu (pemberontakan).
Al-Bagyu sering diartikan sebagai keluarnya seseorang dari ketaatan kepada imam yang sah tanpa alasan. Secara etimologi, al-bagyu adalah usaha melawan suatu pemerintahan yang sah secara nyata, baik dengan mengangkat senjata atau tidak mengindahkan ketentuan yang digariskannya. Dasar hukumnya terdapat dalam al-Qur'an surat Al-Hujurat ayat 9 yang artinya: "Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya. Akan tetapi, kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau ia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil".
Unsur-unsur jarimah ini ialah memberontak terhadap pemimpin negara yang sah dan berdaulat dengan memakasa memberhentikan pemimpin dari jabatannya, atau dengan pengabaian dan tidak mematuhi perintah maupun kewajiban mereka sebagai rakyatnya, kemudian dilakukan secara demonstrative yang artinya didukung dengan kekuatan senjata, dan terakhir dilakukan dengan perbuatan yang termasuk pidana yang artinya usaha menggulingkan pemerintahan dengan cara mengacau ketertiban umum.
Mengenai sanksinya dalam Undang-undnag nomor 1 tahun 2023 orang yang melakukan pemaksaan terhadap pejabat dihukum penjara dengan klasifikasi apabila perbuatan mengakibatkan luka maka dihukum penjara selama 5 tahun dan denda kategori V, bila mengakibatkan luka berat dihukum penjara selama 7 tahun dan denda kategori VI, apabila mengakibatkan kematian dihukum paling lama 10 tahun. Terdapat tambahan hukuman 1/3 (satu per tiga) apabila perbuatan tersebut dilakukan secara bersama-sama dan bersekutu. Untuk sanksi pengabaian terhadap perintah pejabat hanya dikenai hukuman denda kategori II sebesar Rp. 10.000.000.00 (sepuluh juta rupiah).
Dalam hukum pidana Islam pertanggung jawaban pidana bagi pelaku jarimah Al-bagyu diklasifikasikan menjadi 2(dua) keadaan. Pertama, pertanggung jawaban sebelum dan sesudah terjadinya pemberontakan, apabila melakukan pembunuhan, pencurian, dan pemerkosaan maka dikenai hukum sesuai jarimah yang mereka lakukan. Kedua, Pertanggung jawaban pada saat terjadi pemberontakan. Semua ulama mazhab bersepakat apabila pelaku pemberontakan tidak mau bertobat maka boleh dibunuh, dan apabila keadaannya memaksa untuk berperang maka diperbolehkan memerangi pemberontak meskipun sesama muslim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H