Pendahuluan
Setiap negara di dunia memiliki bentuk dan system hukum beragam, salah satunya bentuk negara hukum. Negara ini biasanya mengambil segala keputusan atau kebijakan berlandaskan hukum yang berlaku, konsep gagasan negara hukum ini sangat erat kaitannya dengan rechtsstaat dan the rule of law. Selain itu, negara hukum juga berkaitan dengan konsep nomocracy yang artinya norma dan kekuasaan. Secara historis, istilah ini telah lama dikenal dan dianut oleh berbagai negara sejak abad XVIII. Istilah ini populer pada abad XIX sampai dengan abad XX.
Di Indonesia sendiri, istilah negara hukum telah digunakan sejak memproklamirkan diri sebagai negara merdeka. Pernyataannya dapat dilihat dalam Penjelasan Umum Undang-undang Dasar 1945 butir I tentang sistem pemerintahan, dalam penjelasan tersebut dinyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) dan bukan berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat). Semua aspek kehidupan di Indonesia diatur oleh hukum yang berlaku, seperti perbuatan yang merugikan orang lain atau negara (pidana) diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.Â
Meskipun KUHP yang berlaku saat ini merupakan warisan Belanda, tetapi seiring berjalannya waktu para ahli hukum Indonesia berhasil merumuskan KUHP murni buatan Indonesia yang akan diberlakukan tahun 2026. KUHP baru ini diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-undang ini mengatur mengenai KUHP untuk mewujudkan hukum pidana nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasae 1945 serta asas hukum yang diakui. Undang-undang ini berisi buku Kesatu (aturan umum) dan buku kedua (tindak pidana).
KUHP yang tercantum dalam Undang-undang tersebut merupakan suatu pembaruan, maka belum banyak diteliti dan dianalisis oleh berbagai ahli dalam setiap aspek hukum termasuk hukum pidana Islam. Karena melihat nilai historis dan sosial masyarakat yang mayoritas penganut agama Islam, Indonesia berusaha memasukan nilai-nilai hukum pidana Islam dalam KUHPnya. Meski tidak secara expressis verbis dan lengkap sesuai dengan hukum Islam namun hukum pidana Islam sangat diperlukan agar masyarkat penganut agama Islam di Indonesia bisa berkehidupan yang sesuai dengan Syariat Islam. Maka dari itu sangat diperlukan analisis KUHP baru ini dengan hukum pidana Islam supaya selaras dengan nilai-nilai yang terkandung dalam hukum pidana Islam itu sendiri.
Hukum Pidana Islam sendiri merupakan sekumpulan aturan mengenai perbuatan yang dilarang, dan sanksi yang didapatkan apabila melanggar larangan tersebut. Hukum ini bersumber dari nash Al-qur'an, Hadits Nabi, Qiyas, dan Ijma para ulama. Dalam hukum ini terdapat tiga kategori hukuman yaitu Qisas, Hudud, dan Takjir. Masing-masing memiliki ancaman sanksi yang berbeda-beda dan perbuatan yang menimbulkan sanksi tersebut berbeda-beda. Sebagai contoh Qisas diterapkan dalam kasus pembunuhan dan penganiyayaan hukumnya pun berupa balasan setimpal atau membayar had (denda). Dalam tulisan ini akan menganalisis salah satu pasal dalam buku I KUHP baru yaitu pasal 154 tentang pejabat, apakah terdapat istilah pejabat dalam hukum pidana islam? Siapa saja yang dianggap pejabat dalam hukum pidana Islam? dan terakhir apakah hukuman pejabat disamakan dengan rakyat biasa? Semua itu akan sedikit dibahas dalam tulisan kali ini
Isi Pasal 154 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 disusun untuk menggantikan wetboek van strafrecht atau biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. KUHP ini ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan telah mengalami beberapa kali perubahan. Penggantian tersebut merupakan satu usaha dalam rangka pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terarah,terpadu, dan terencana sehingga dapat mendukung pembangunan nasional di berbagai bidang sesuai dengan tuntutan pembangunan serta pembangunan tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang di masyarakat.
Pasal 154 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 mengatur mengenai definisi atau pengertian pejabat, pasal ini berbunyi : "Pejabat adalah setiap warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas negara, atau diserahi tugas lain oleh negara, dan digaji berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan". Para pihak yang disebut dalam pasal tersebut meliputi :
- Aparatur sipil negara, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan anggota Tentara Nasional Indonesia;
- Pejabat negara;
- Pejabat publik;
- Pejabat daerah;
- Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
- Orang yang menerima gaji atau upah dari Korporasi yang seluruh atau sebagian besar modalnya milik negara atau daerah;
- Pejabat lain yang ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Bila ditafsirkan secara bahasa, bahwa yang disebut dengan pejabat ialah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu dan telah diangkat oleh pejabat yang berwenang dan telah dibebani tugas oleh negara, termasuk orang-orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau korporasi yang dimodali oleh keuangan negara atau daerah. Pasal 154 ini berkaitan dengan Pasal yang terdapat dalam bab IX tindak pidana terhadap kekuasaan pemerintahan. Setiap orang yang melawan pejabat atau orang yang telah masuk kedalam kategori pejabat dapat dipidana dengan pidana maksimal 10 tahun penjara.
Komparasi Pasal 154 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Dalam Pandangan Hukum Pidana Islam
Dalam hukum pidana Islam sendiri tidak terdapat pengertian yang secara eksplisit mengenai pejabat. Karena dalam dokrtin syari'at Islam, Allah Swt merupakan pemilik segala sesuatu termasuk manusia yang di mandati oleh Allah Swt sebagai Khalifah di bumi. Di samping melimpahkan atau memandati sebagian kekuasaan-Nya kepada makhluk, Allah Swt memberikan aneka norma dan petunjuk pelaksanaan atau standar moralitaas dalam melaksanakan hak dan kewajiban serta pertanggung jawaban pemegang mandat tersebut.
Kata khalifah sendiri banyak terkandung dalam Al-Qur'an seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 30 dan surat Shad ayat 26, bila diartikan ke dalam bahasa politik kontemporer, dapat berarti penguasa atau pemerintahan yang mempunyai kekuasaan formal bertugas mengelola wilayah tertentu. Dalam Islam sendiri kekuasaan politik (pemerintah) harus mengandung asas yang terdapat dalam al-Qur'an yaitu: Asas amanat, asas keadilan (keselarasan), asas ketaatan (disiplin), dan Sunnah. Kesemua asas tersebut memiliki dasar yang sama yaitu kekuasaan yang dititipkan Allah Swt kepada manusia, sehingga siapapun yang melawan atau tidak menuruti pemerintah sama dengan melawan Allah Swt.
Khalifah atau Imam merupakan pengganti nabi yang bertugas melindungi agama dan mengatur kemaslahatan hidup umat. Dalam segi syarat seorang bisa menjadi imam semua di dasarkan pada al-Qur'an dan syari'at Islam. Dilihat dari segi pengangkatan imam dalam Islam dilakukan dengan cara bai'at didepan masyarakat setelah calon imam dipilih oleh masyarakat. Meskipun dalam hukum pidana Islam tidak tercantum secara eksplisit pengertian pejabat seperti dalam pasal 154 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023, namun bila dikaitkan dengan pasal yang tercantum pada bab IX tentang tindak pidana terhadap kekuasaan pemerintahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 paragraf 1 (pemaksaan) dan paragraf 2 (pengabaian), maka dapat dikategorikan sebagai jarimah al-bagyu (pemberontakan).
Al-Bagyu sering diartikan sebagai keluarnya seseorang dari ketaatan kepada imam yang sah tanpa alasan. Secara etimologi, al-bagyu adalah usaha melawan suatu pemerintahan yang sah secara nyata, baik dengan mengangkat senjata atau tidak mengindahkan ketentuan yang digariskannya. Dasar hukumnya terdapat dalam al-Qur'an surat Al-Hujurat ayat 9 yang artinya: "Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya. Akan tetapi, kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau ia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil".
Unsur-unsur jarimah ini ialah memberontak terhadap pemimpin negara yang sah dan berdaulat dengan memakasa memberhentikan pemimpin dari jabatannya, atau dengan pengabaian dan tidak mematuhi perintah maupun kewajiban mereka sebagai rakyatnya, kemudian dilakukan secara demonstrative yang artinya didukung dengan kekuatan senjata, dan terakhir dilakukan dengan perbuatan yang termasuk pidana yang artinya usaha menggulingkan pemerintahan dengan cara mengacau ketertiban umum.
Mengenai sanksinya dalam Undang-undnag nomor 1 tahun 2023 orang yang melakukan pemaksaan terhadap pejabat dihukum penjara dengan klasifikasi apabila perbuatan mengakibatkan luka maka dihukum penjara selama 5 tahun dan denda kategori V, bila mengakibatkan luka berat dihukum penjara selama 7 tahun dan denda kategori VI, apabila mengakibatkan kematian dihukum paling lama 10 tahun. Terdapat tambahan hukuman 1/3 (satu per tiga) apabila perbuatan tersebut dilakukan secara bersama-sama dan bersekutu. Untuk sanksi pengabaian terhadap perintah pejabat hanya dikenai hukuman denda kategori II sebesar Rp. 10.000.000.00 (sepuluh juta rupiah).
Dalam hukum pidana Islam pertanggung jawaban pidana bagi pelaku jarimah Al-bagyu diklasifikasikan menjadi 2(dua) keadaan. Pertama, pertanggung jawaban sebelum dan sesudah terjadinya pemberontakan, apabila melakukan pembunuhan, pencurian, dan pemerkosaan maka dikenai hukum sesuai jarimah yang mereka lakukan. Kedua, Pertanggung jawaban pada saat terjadi pemberontakan. Semua ulama mazhab bersepakat apabila pelaku pemberontakan tidak mau bertobat maka boleh dibunuh, dan apabila keadaannya memaksa untuk berperang maka diperbolehkan memerangi pemberontak meskipun sesama muslim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H