Bali mengemas daya tarik wisata alam, budaya hingga kearifan lokal dengan beragam cara salah satunya pengembangan desa wisata. Merujuk pada data Dinas Pariwisata Bali setidaknya terdapat 283 desa wisata (Sumber Klik Disini).Â
Beberapa desa wisata yang cukup populer seperti Desa Wisata Jatiluwih di Tabanan, Desa Wisata Penglipuran di Bangli, Desa Wisata Tenganan Karangasem, Desa Wisata Ubud di Gianyar, Desa Wisata Trunyan dan sebagainya. Hadirnya Desa Wisata juga dianggap sebagai upaya menggagas wisata alternatif di Bali.Â
Teman saya yang bekerja di dinas pemerintah yang kerap interaksi dan sosialisasi program mengatakan bahwa dalam beberapa tahun ke depan jumlah wisata akan terus bertambah apalagi mengingat banyak potensi dan keunggulan di berbagai desa.
Potensi Pengembangan Desa Wisata di Bali
Wisatawan khususnya WNA menyukai wisata yang terkesan unik, sarat budaya dan menarik. Saya ingat saat masih kecil, wisata di Bali lebih menjual sisi alam. Tidak heran wisata pantai Kuta, Ubud dan Sanur begitu populer.Â
Kini wisatawan tidak hanya mencari keindahan alam semata namun keunikan yang tidak bisa ditemukan di tempat lain. Beberapa desa di Bali ada yang memiliki sisi keunggulan yang bisa jadi daya tarik wisata.Â
Desa Wisata Celuk di Gianyar dimana banyak terdapat perajin perak membuat desa ini dikenal sebagai sentra kerajinan perak. Permintaan kerajinan perak tidak hanya di lingkup domestik namun juga mancanegara. Perlahan wisatawan berkunjung tidak hanya untuk memesan namun juga bisa melihat proses pembuatan kerajinan.Â
Desa Wisata Penglipuran di Bangli yang masuk sebagai salah satu desa terbersih di dunia juga mulai naik daun dalam 5 tahun belakangan ini. Keunikan desa ini karena wisatawan melihat arsitektur desa yang khas, banyak kegiatan masyarakat lokal dan juga asri dari sisi lingkungan.Â
Pengembangan desa wisata di Bali pun kian beragam dengan keunggulan masing-masing. Contoh sederhana Desa Wisata Ubud dan Desa Wisata Batubulan dikenal sebagai daerah dengan masyarakat dengan kepiawaian dalam seni.
Wisatawan bisa melihat atraksi tarian, workshop lukisan hingga seni pahatan di Ubud dan Batubulan. Tidak hanya melihat namun juga berkesempatan mempelajari seni masyarakat lokal. Ini yang membuat kawasan ini populer di kalangan pecinta seni.Â
Desa Wisata Tenganan banyak dikunjungi karena di lokasi ini wisatawan melihat kebiasaan masyarakat Bali tempo dulu yang masih terjaga turun temurun. Desa Wisata Jatiluwih yang masuk sebagai kawasan heritage dari Unesco. Di Jatiluwih, pengunjung bisa menikmati keindahan sawah dengan sistem terasering. Uniknya sawah di Jatiluwih ditanam oleh padi jenis beras merah.Â
Tantangan Pengembangan Desa Wisata Saat Ini
Meskipun desa wisata menjamur di Bali nyatanya tidak semua masuk kategori mandiri. Berdasarkan data Dinas Pariwisata Bali mencatat saat ini dari ratusan desa wisata yang ada baru sekitar 30 desa wisata yang dinilai sebagai desa mandiri dan maju, 101 desa wisata masih bersifat rintisan, 107 desa wisata kategori berkembang.Â
Kemandirian desa wisata dimana desa mampu menarik jumlah wisatawan dalam jumlah besar, mampu mengelola keuangan untuk operasional dan pengembangan desa serta masyarakat merasakan dampak sosial ekonomi yang positif.Â
Sayangnya masih banyak desa wisata yang homogen dimana nilai jual sudah umum dan tidak ada nilai keunikan. Masyarakat dan Pemda berlomba-lomba mengemas desa dengan pemandangan sawah yang luas dan asri mengacu pada Desa Jatiluwih dan Tegallalang.Â
Dibangun fasilitas jogging track, wisata jelajah sawah hingga cafe di pinggir sawah. Ketika konsep ini terlalu menjamur maka wisatawan menjadi kurang tertarik berkunjung. Mereka lebih memilih desa wisata yang sudah dikenal.Â
Dampaknya jumlah kunjungan desa wisata baru dengan konsep umum tergolong rendah. Contoh sederhana di dekat tempat tinggal saya di Tabanan ada desa yang masuk pengembangan desa wisata. Saya yang tinggal di dekat desa tersebut tidak sadar bahwa desa ini masuk desa wisata.Â
Ini karena kunjungan wisatawan tidak tinggi dan hanya menjual pemandangan alam berupa sawah dan aliran sungai yang asri. Tidak ada fasilitas pendukung yang berbeda misalkan ada kegiatan outbound, paintball, atau pentas seni yang menjadi desa ini sedikit berbeda dengan desa wisata lain.Â
Teman saya pun yang kerap terlibat dalam program pembinaan desa di Bali mengatakan seharusnya keberadaan desa wisata tidak saling bersaing namun harus saling melengkapi. Untuk itu penerapan One Village One Local Wisdom atau One Village One Product (OVOP) sangat penting diterapkan.Â
Misalkan di Kabupaten Tabanan terdapat 5 desa yang potensial untuk jadi Desa Wisata dan jaraknya berdekatan. Desa A bisa difokuskan pada wisata alam yang asri, Desa B fokus pada sentra kerajinan dan seni budaya, Desa C fokus kuliner lokal, Desa D fokus pada atraksi wisata, dan Desa E fokus pada sosial masyarakat.Â
Alhasil wisatawan bisa menikmati keseluruhan desa wisata karena setiap desa menawarkan sensasi dan pengalaman berbeda. Tentu saja cara ini bisa meningkatkan pendapatan bagi desa serta tidak ada persaingan.Â
Nyatanya di lapangan masih ada persaingan di antara pengelola desa wisata. Selain itu pengelolaan masih setengah-setengah misalkan fasilitas sarana dan prasarana belum dioptimalkan sehingga pengembangan desa wisata terkesan dipaksakan.Â
Sebaiknya perlu memastikan akses jalan ke desa sudah baik, fasilitas toilet, cafe dan akomodasi tersedia, kelompok masyarakat sudah terbentuk dan kerjasama stakeholders lain sudah terjalin dengan kuat.Â
Niscaya desa wisata akan disambut baik saat akan dikembangkan. Kembali lagi hadirnya desa wisata diharapkan mampu menjadi wisata alternatif di Bali dan memberikan kebermanfaatan bagi masyarakat setempat.Â
Semoga Bermanfaat
--HIM--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H