Belakangan ini tengah tren candaan ataupun meme, "Pinjam Dulu Seratus". Hal yang kerap terjadi dalam lingkup sosial dimana ada seseorang yang meminjam uang karena urusan mendesak.Â
Sebenarnya pinjam-meminjam bukanlah hal tabu di masyarakat kita. Namun tren pinjam dulu seratus mengisyaratkan fenomena ironis dalam hubungan sosial khususnya pertemanan. Ini karena upaya mengharapkan bantuan finansial dari si peminjam, niat baik dari pemberi pinjaman dan rasa kecewa di akhir cerita.Â
Rasa kecewa yang kerap muncul dalam aktivitas pinjam-meminjam dimana masih ditemukan kasus uang yang dipinjam tidak kembali, pengembalian tidak sesuai janji, pemblokiran kontak secara sepihak, hingga perselisihan.Â
Saya pun mengalami sendiri kejadian yang kurang mengenakan terkait pinjam-meminjam. Seorang teman menceritakan kesusahan dan berniat meminjam. Nominal bukan lagi seratus namun lebih dari itu.Â
Memahami kondisi tersebut, saya meminjamkan dengan harapan bisa meringankan kesusahan yang dialami dengan berpegang pada janji waktu pengembalian yang disampaikan si peminjam. Berbulan-bulan tanpa kabar dimana waktu pengembalian yang disepakati sudah lewat yang berakhir dengan rasa kecewa.Â
Kontak saya diblokir sepihak karena si peminjam berusaha lupa akan utangnya. Beruntung uang kembali dengan bantuan senior yang jadi atasan teman saya ini. Hingga kini saya sudah enggan berinteraksi lagi dengan dirinya yang membuat hubungan pertemanan menjadi renggang.Â
Tentu ada alasan khusus mengapa meminjam kepada teman atau kerabat lebih enak dibandingkan dengan pihak lain seperti pinjam ke bank ataupun jasa pinjaman lain. Bebas bunga masih jadi alasan favorit. Umumnya karena hubungan pertemanan atau kerabat, si peminjam tidak ingin memberatkan dengan sistem bunga. Setidaknya dikembalikan sejumlah uang yang dipinjam tepat waktu menjadi acuan bagi si pemberi pinjaman.Â
Fleksibilitas pengembalian juga kerap jadi alasan. Keterlambatan pengembalian teman/kerabat kerap ditolerir karena masih berlandaskan hubungan baik yang terjalin saat ini. Tanpa denda juga jadi pilihan bagi si peminjam.Â
Bayangkan jika meminjam di pinjaman online, bank atau jasa peminjam lain. Terlambat sehari sudah akan dikenakan denda yang dianggap memberatkan. Bahkan ada kasus jumlah denda bisa melebihi utang utama yang artinya semakin mencekik si peminjam. Terlambat mengembalikan pada teman cukup mengucapkan maaf dan terima kasih sehingga tidak ada denda administrasi yang dibebankan.Â
Niat Baik Berujung Kecewa
Kini tidak sedikit yang mulai enggan meminjamkan uang meski kepada teman dekat atau kerabat. Belajar pada pengalaman masa lalu atau orang lain tentang ribetnya urusan pinjam-meminjam.Â
Tentu mulai munculnya krisis kepercayaan karena banyaknya kisah bermunculan dimana si peminjam ikrar terhadap utang, si peminjam yang seakan mengemis untuk meminta uangnya kembali, putusnya hubungan akibat utang ataupun kekecewaan lainnya.Â
Berkaca pada 2 kasus di atas, utang bisa membuat orang berpikir pendek. Kejadian ini tentu merugikan 2 belah pihak apalagi jika berujung pada tindakan kriminal. Saya akui urusan seperti ini seakan menguras waktu, tenaga dan pikiran.Â
Bayangkan si pemberi uang berharap bisa mendapatkan uang sesuai yang dijanjikan. Namun sudah meluangkan waktu dan tenaga untuk menagih namun berujung sia-sia. Bahkan emosi bisa terpancing ketika si peminjam justru lebih galak atau menghindar untuk ditagih. Saya pun sudah merasakan sendiri begitu lelahnya menagih utang kepada orang yang tidak sadar diri.Â
Mau mengikhlaskan cuma kita juga butuh uang tersebut, tidak diikhlaskan tapi ada yang mengganjal di hati. Posisi si pemberi uang jadi serba salah. Maka tidak salah ada istilah utang bisa jadi pemutus silahturahmi paling kejam. Hubungan semula baik bisa runyam karena utang.Â
Menjaga Hubungan Meski Terlibat Utang-Piutang
Meskipun terlibat utang-piutang sebenarnya hubungan bisa tetap terjalin baik seandainya antara si pemberi utang dan penerima utang memahami kondisi berikut.
Pemberi utang perlu memahami risiko dimasa depan. Ketika memberi utang maka akan ada risiko bahwa bisa terjadi uang tidak kembali sesuai harapan. Seandainya ini dipahami dengan baik setidaknya mental sudah siap jika kemungkinan buruk terjadi.Â
Menjaga keamanan utang, tidak ada salahnya ada kesepakatan tertulis. Kita paham bahwa manusia kerap lupa atau pura-pura lupa. Adanya kesepakatan tertulis bisa jadi pegangan kuat jika terjadi hal tidak diinginkan misalkan lupa atau lalai membayar utang.Â
Jika si pemberi utang memahami kondisi ini dan tidak ingin mengambil risiko. Tidak ada salahnya menyampaikan penolakan di awal atau memberikan bantuan seikhlasnya tanpa ada embel-embel pinjaman. Ini pula yang mulai saya terapkan.Â
Misalkan ada yang rencana meminjam uang 1 juta namun saya ragu jika si peminjam akan mengembalikan atau belum mengenal betul karakter si peminjam, maka saya lebih tertarik memberikan 100 atau 200 ribu sebagai bentuk empati secara cuma-cuma. Seandainya uang tidak balik, saya sudah ikhlas karena di awal niat memang memberi dan nilai kerugian pun tidak terlalu besar.Â
Dari sisi peminjam pun ada pakem yang perlu diperhatikan. Menjaga omongan atau janji adalah modal utama. Semakin ikrar maka risiko kehilangan kepercayaan orang lain akan besar. Jika memang dirasa rencana pembayaran meleset, mengkomunikasikan dengan pemberi pinjaman harus dilakukan.Â
Sebenarnya selagi komunikasi 2 arah terjalin dengan baik maka masih bisa dimaklumi. Selain itu alangkah baiknya si peminjam juga memberikan jaminan untuk antisipasi hal tidak diinginkan terjadi.Â
Ini terjadi pada teman saya dirinya berniat meminjam uang tapi agar aman ia menjaminkan gadgetnya. Ternyata ia merasa belum mampu membayar dan mengatakan bahwa gadget yang dijaminkan boleh diambil atau dijual untuk pengganti utang. Cara ini membuat saya tidak kecewa karena setidaknya ada solusi jika saya membutuhkan uang saya kembali.Â
***
Masalah utang piutang kerap dianggap sepele namun bisa berdampak besar. Sudah banyak kejadian dimana utang justru berakhir runyam.Â
Pinjam dulu seratus yang kerap terlontar ternyata jadi gambaran bagaimana orang menjadikan orang terdekat sebagai penopang ketika mengalami kesusahan, namun seratus bisa membawa dampak besar dari hubungan sosial.Â
Semoga Bermanfaat
--HIM--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H