Bagi yang tinggal atau pernah menetap di Bali pasti familiar dengan ngaben atau upacara kremasi jenasah bagi masyarakat Hindu. Dalam ajaran Hindu, ngaben kerap disebut upacara Pitra Yadnya.Â
Berdasarkan beragam sumber informasi, ngaben sendiri menjadi prosesi di mana keluarga berusaha mengembalikan atma (roh) yang meninggal agar segera menuju surga/akhirat. Melalui prosesi pengabenan, menjadi tanda bahwa keluarga mengikhlaskan kepergian sosok tercinta.Â
Saya masih ingat kenangan terlibat prosesi pengabenan nenek, nenek buyut hingga kerabat saya yang notabane-nya beragama Hindu. Rangkaian prosesi ngaben tergolong panjang bahkan bisa berhari-hari.Â
Kenangan saat ngaben nenek buyut saya di awal tahun 2000-an. Proses ketika nenek buyut meninggal hingga pengabenan nyaris menghabiskan waktu seminggu. Ini dikarenakan keluarga perlu menyiapkan sarana dan prasarana pengabenan.Â
Kebutuhan ngaben yang perlu dipersiapkan yaitu Bade (alat pengangkut jenasah), petulangan (patung dengan bentuk hewan/mahkluk mitos) yang kerap melengkapi prosesi pengabenan bagi mendiang dari kasta tertentu, menyiapkan banten upacara, berkoordinasi dengan pemuka agama dan sebagainya.Â
Selain itu mengingat ngaben sebagai pelepasan terakhir pada mendiang maka sebisa mungkin keluarga besar akan datang saat proses pengabenan. Ini terjadi pada nenek buyut saya dimana proses pengabenan dilakukan seminggu setelah meninggal karena ada keluarga yang tinggal diluar Bali sehingga berharap keluarga jauh bisa melihat wajah mendiang untuk terakhir kalinya.Â
Pengabenan mencerminkan sisi kebersamaan pada keluarga dan masyarakatÂ
Pandangan ini tidaklah berlebihan karena jika kita terlibat dalam acara pengabenan di Bali maka akan paham betul arti kebersamaan keluarga dan masyarakat.Â
Kebersamaan dari sisi biaya.Â
Kita mungkin kerap mendapatkan info bahwa biaya pengabenan bisa dikatakan cukup mahal. Contoh sederhana saat nenek buyut saya meninggal di awal tahun 2000-an, diinformasikan biaya pengabenan lebih dari 100 juta rupiah. Tentu di tahun tersebut nominal tersebut setara membeli mobil.Â
Jangan kaget jika di kalangan tertentu seperti bangsawan Bali yang berasal dari Puri kerap mengadakan prosesi pengabenan hingga miliaran rupiah. Besarnya biaya ini karena kebutuhan sarana dan prasarana upacara yang banyak, biaya konsumsi, biaya atribut khusus dan sebagainya.Â
Salutnya dana pengabenan besar ini akan ditutupi dari iuran anggota keluarga. Anggota keluarga mengumpulkan dana yang disepakati atau semampunya dimana dana akan digunakan untuk keperluan ngaben.Â
Tidak hanya itu, masyarakat Bali dalam kehidupan bermasyarakat juga menerapkan iuran anggota atau dana banjar. Dana ini selain untuk aktivitas lingkungan tempat tinggal juga digunakan untuk bantuan dana kematian. Dana juga bisa didapatkan dari sumbangan dari pelayat yang ikut berduka.Â
Dana yang terkumpul dari beragam sumber inilah yang ikut meringankan pihak keluarga dalam melaksanakan prosesi pengabenan. Saya ingat ketika nenek kandung saya meninggal. Saat prosesi pengabenan, saya diminta keluarga besar untuk mengumpulkan dan mendata sumbangan yang diterima.Â
Sumbangan datang dari keluarga besar nenek, keluarga besar kakek, kerabat dari orang tua/paman/bibi, tetangga hingga orang terdekat. Jumlah sumbangan yang terkumpul cukup besar dan sedikit banyak membantu keluarga dalam melaksanakan prosesi pengabenan.Â
Kebersamaan lain yang terlihat adalah bagaimana tetangga mendampingi anggota keluarga. Bayangkan karena prosesi pengabenan berlangsung berhari-hari maka di rumah akan banyak kegiatan.Â
Setiap malam rumah yang berduka tidak akan sepi dikunjungi pelayat dari tetangga terdekat. Biasanya mereka akan mengobrol, bermain kartu, menyanyikan tembang khusus, hingga membantu menyiapkan sarana upacara.Â
Bagi tetangga, kehadiran mereka sangat dibutuhkan oleh keluarga karena pihak keluarga tentu akan menghabiskan banyak energi dan pikiran selama menyiapkan prosesi pengabenan ini. Kehadiran tetangga ini menjadi dukungan tersendiri.Â
Saat hari pengabenan pun kebersamaan semakin terlihat. Jika pernah melihat proses pengabenan di Bali maka jenasah akan ditempatkan pada Bade (tempat khusus) yang digotong beramai-ramai.Â
Pengiring pun akan setia menemani mulai dari rumah mendiang ke Setra (kuburan tempat pembakaran jenasah), Nganyut (menebarkan abu ke laut/sungai). Jangan heran jika pengiring atau pendamping bisa puluhan, ratusan bahkan ribuan orang terlibat dalam acara ini.Â
Pak, saya izin ya nanti siang balik duluan karena ada tetangga ngaben.
Beberapa kali staf kantor meminta izin karena harus ikut mendampingi keluarga, kerabat atau tetangga yang tengah melakukan prosesi ngaben. Saya memahami bahwa ini menjadi cara mereka bermasyarakat.Â
Bayangkan jika prosesi ngaben justru sepi dan tidak ada tetangga yang ikut terlibat. Pasti pihak keluarga akan semakin sedih. Tidak hadir juga kerap jadi penilaian di masyarakat. Ada kekhawatiran jika kelak kita punya acara serupa, tetangga juga enggan datang terlibat.Â
Kebersamaan ini dilandasi rasa sosial bermasyarakat dan empati. Saya ingat ketika mengiringi proses ngaben nenek buyut dan kerabat. Para pemuda desa dengan semangat menggotong bade yang berat serta berjalan hingga beberapa kilometer.Â
Pihak keluarga hanya menyediakan atribut dan konsumsi untuk pengiring. Salutnya mereka membantu dengan ikhlas.
***
Ngaben menjadi bagian upacara yang kerap dilakukan oleh masyarakat Hindu khususnya di Bali ketika ada keluarga yang meninggal. Prosesi pengabenan bisa terjadi berhari-hari serta mengeluarkan dana besar.Â
Saya takjub bahwa banyak menemukan sisi kebersamaan ketika ada yang melakukan prosesi pengabenan. Kebersamaan mulai membantu dari sisi dana, tenaga, waktu dan doa.Â
Disinilah saya melihat sisi kebersamaan positif yang terjaga di Bali. Kebersamaan yang terjadi pada prosesi pengabenan
Semoga Bermanfaat
--HIM--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H