Saya teringat saat Desember 2020 dan Desember 2021 pulang ke Bali untuk menikmati libur Natal dan Tahun Baru. Kala itu kondisi Bali tengah terpuruk akibat Pandemi Covid-19.Â
Bali yang mengandalkan sektor pariwisata seakan tidak berdaya ketika ada pembatasan aktivitas dan penutupan penerbangan internasional. Saya prihatin ketika melewati Gang Poppies yang dulu selalu ramai oleh UMKM yang menjual pakaian, aksesoris, dan souvenir khas Bali. Gang ini sepi dan nyaris semua outlet tutup.Â
Hal serupa juga saya rasakan ketika wisata ke Ubud saat pandemi. Ubud dikenal sebagai destinasi favorit bagi wisatawan domestik dan mancanegara. Kawasan Ubud bahkan dikenal macet ketika akhir pekan. Saya menghindari ke kawasan ini jika saat akhir pekan.Â
Justru suasana berbeda terlihat saat Pandemi. Toko banyak tutup, homestay dan penginapan sepi dan banyak tempat wisata yang ditutup sementara. Ketika jam 6 sore, suasana Ubud terasa sepi dan gelap karena toko tutup dan tidak banyak aktivitas.Â
Sejak penerbangan Internasional di buka secara bertahap di Februari 2022, ekonomi kembali membaik. Ini karena wisatawan domestik dan mancanegara kian meramaikan Bali.
UMKM di Bali kembali tumbuh paska Pandemi
Kondisi ini saya rasakan baik secara langsung maupun tidak langsung. Paman saya yang dulu bekerja agent travel sejak pembukaan penerbangan internasional mulai ramai mendapatkan pesanan dari turis Eropa dan India.Â
Bahkan sempat dirinya kewalahan karena banyaknya wisatawan asing yang memesan paket wisata. Alhasil melibatkan teman atau kerabat untuk membantu usahanya ini.Â
Satu bulan lalu seorang teman meminta saya untuk menemani berwisata di beberapa tempat, salah satunya Ubud. Saya mengajak untuk mengunjungi Pasar Seni Ubud karena ingin membeli aksesoris.
Wow, Pasar Seni Ubud ramai oleh penjual aksesoris mulai gelang, lukisan, patung, kaos, kain pantai, kain Bali dan sebagainya. Kondisi ini mengingatkan saya saat masa Pandemi dimana pasar ini sepi bahkan tidak banyak penjual yang buka.Â
Sempat mengobrol dengan salah satu pedagang dan bercerita bahwa ia sebenarnya tinggal bukan di Ubud. Tempat tinggal ke tempat usahanya di Ubud sekitar 30-45 menit. Jarak yang cukup jauh namun karena Ubud sudah ramai wisatawan maka dirinya berani menyewa toko untuk berjualan di Pasar Seni Ubud.Â
Tempat kerja saya pun sebagai produsen minuman di Bali juga mengalami peningkatan permintaan. Bahkan ada banyak konsumen baru yang menjadi pelanggan. Konsumen ini berupa homestay, restoran hingga pelaku UMKM.Â
Saya ingat ketika ada tamu auditor yang akan berkunjung ke kantor. Staf di kantor sangat kesulitan memesan hotel karena saat itu sedang high season dan mayoritas hotel penuh.Â
Harga mulai kembali normal di Bali. Saya ingat saat Desember 2020, saat itu saya diinfokan kerabat jika ada promo rafting di Ubud. Harga normal rafting sekitar Rp350.000 per pax. Namun pengelola memberikan harga Rp100.000 per pax sudah termasuk makan siang.Â
Saat itu saya mengajak sepupu-sepupu di Bali untuk rafting bersama. Kapan lagi bisa merasakan sensasi rafting dengan harga miring. Saya diberi tahu adanya promo ini agar pengelola rafting bisa tetap menghidupi staf yang selama pandemi nyaris tanpa penghasilan.Â
Kini harga rafting sudah mulai normal kembali. Beruntung saya pernah merasakan sensasi rafting saat ada promo khusus.Â
Perubahan harga juga terjadi di bidang akomodasi. Dulu masa pandemi, pemilik homestay dan vila memberikan harga di bawah pasaran. Saya ingat pernah menyewa kos ekslusif dengan desain ala vila seharga Rp2.500.000/bulan.
Padahal sebelum pandemi harga sewa berkisaran 4-5 juta per bulan. Teman saya juga bercerita banyak pemilik atau manajemen vila yang menyewakan vila sistem bulanan. Jika dulu sewa Vila dengan fasilitas kolam renang sekitar 1 juta per hari justru disewakan 3 juta per bulan.Â
Tidak heran banyak pelancong yang ingin tinggal lama di Bali saat pandemi memanfaat hal ini untuk menyewa vila dalam durasi lama. Uniknya teman saya yang juga menyewa vila dengan harga murah akhirnya kecewa karena setelah penerbangan internasional dibuka.
Harga sewa vila naik 100-150 persen. Bahkan pengelola vila sudah tidak lagi menawarkan sistem sewa bulanan. Kembali dengan sistem harian. Ini yang membuat teman memilih pindah karena harga sewanya sudah normal.Â
Bukti lain bahwa pertumbuhan ekonomi mulai membaik di Bali adalah ketika masyarakat mulai mampu membeli barang sekunder atau tersier. Melihat di sekitar tempat tinggal, para tetangga saya berbondong-bondong membeli motor baru.Â
Motor dengan harga di atas 30 juta yang tengah naik daun di Bali. Padahal ketika masa pandemi, masyarakat banyak yang harus merelakan menjual barang kesayangan hingga motor untuk bertahan hidup.Â
Alasan karena ada yang dirumahkan oleh tempat kerja atau usahanya tutup karena sepi pembeli. Ketika pandemi mulai berakhir, mereka sudah mendapatkan pekerjaan baru dan sudah punya penghasilan lagi.Â
Membeli kendaraan menjadi pilihan, terlihat saya banyak melihat kendaraan dengan plat akhir XX yang menunjukan kendaraan ini masih baru dan masih proses pembuatan plat kendaraan resmi oleh dealer. Tidak hanya motor, mobil pun banyak dibeli oleh masyarakat Bali.Â
***
Ada rasa senang bahwa ketika di daerah lain terjadi kelesuan ekonomi justru kondisi di Bali mulai mengalami peningkatan ekonomi. Ini tidak terlepas dari membaiknya pariwisata di Bali yang menjadi tumpuan banyak masyarakat di Bali.Â
UMKM mulai memadati area wisata yang sebelumnya tutup saat pandemi. Berharap kondisi ini bisa bertahan lama dan tidak menurunkan daya beli konsumen.Â
Semoga Bermanfaat
--HIM--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H