Usia manusia tidak bisa ditebak semua sudah diatur Sang Pencipta. Maka tidak jarang kita perlu menyiapkan segala sesuatu jika kelak harus dipanggil sang pencipta mulai dari amal kebaikan hingga proses pemakaman. Lah kok gitu?Â
Setiap agama memiliki proses penghormatan terakhir bagi mereka yang meninggal, ada yang dimakamkan atau dikremasi. Bahkan di Nepal, diinfokan karena lokasi tanah keras dan bebatuan membuat jenazah dibawa ke dataran tinggi untuk jadi konsumsi burung pemakan bangkai.Â
Bagi umat katholik, umumnya menerapkan sistem pemakaman bagi orang yang meninggal. Namun tentu saja permasalahan lahan dan biaya pemakaman juga menjadi masalah tersendiri.Â
Biaya lahan saat ini tergolong mahal. Contoh di lingkungan gereja saya, biaya lahan bisa mencapai 12 juta. Belum termasuk peti mati, sewa ambulance dan prosesi upacara pemakaman. Pemakaman memanfaatkan lahan yang dikelola gereja sehingga biasanya dikenal dengan makam katholik karena dikhususkan bagi warga katholik yang terdaftar dalam lingkungan gereja tersebut.Â
Jika yang memiliki finansial lebih, ada juga memilih lahan makamnya sendiri. Keluarga bos saya yang  merupakan keturunan chinese beragama katholik karena secara finansial keluarga berada menyewa lahan di San Diego Hills Memorial Park. Salah satu area pemakaman termahal di Indonesia yang terletak di Karawang.Â
Biaya lahan di San Diego Hills bahkan ada yang mencapai miliaran rupiah. Bahkan untuk biaya perawatan diinformasikan mencapai puluhan juta per tahun untuk biaya kebersihan, pemeliharaan rumput dan lainnya.Â
Harga yang tergolong fantastis. Namun bagi sebagian kalangan khususnya yang kaya secara finansial. Pemilihan lokasi makam akan jadi pertimbangan khusus karena mempertimbangkan status sosial, permintaan khusus dari mendiang dan pertimbangan lain.Â
Bagi kami yang ekonomi pas-pasan, pasti memanfaatkan lahan pemakaman yang disediakan oleh gereja. Namun menyiapkan dana kematian yang bisa mencapai jutaan atau belasan juta juga bukan perkara mudah. Disinilah peran adanya iuran rukun kematian yang diterapkan oleh warga katholik.Â
Saya ingat tahun lalu ketika saya menempati rumah yang baru dibeli di daerah Tabanan, Bali. Saya dan keluarga besar alhasil mendaftarkan diri sebagai warga baru di lingkungan gereja terdekat. Saya pun mengurusi segala proses administrasi.Â
Bertemu dengan ibu ketua stasi, saya diinformasikan terkait kondisi lingkungan gereja serta adanya beberapa iuran warga katholik salah satunya rukun kematian.Â
"Mas Indra, untuk rukun kematian nanti di awal dikenakan 30 ribu rupiah per kepala. Di bulan ke dua dan berikutnya hanya dikenakan 2 ribu rupiah per kepala." Info dari ketua stasi.Â
Personal iuran ini terjangkau artinya jika hanya suami istri, maka cukup membayar 60 ribu di awal dan berikutnya 4 ribu rupiah. Jika ada anak atau orang tua, cukup menambahkan sesuai aturan. Tidak terlalu memberatkan.Â
Saya iseng bertanya, apa saja yang ditanggung dalam rukun kematian ini. Ternyata apa yang diterima tergolong banyak mulai lahan pemakaman, peti mati, sewa ambulance hingga prosesi upacara kematian yang semuanya gratis.Â
Wow, banyak juga ya. Pikir saya dalam hati. Padahal iurannya tidak besar tapi yang diterima jika di kalkulasi bisa mencapai belasan juta jika ada warga yang meninggal.Â
Pertanyaan saya kembali mendetail, bagaimana seandainya ada warga yang baru bergabung tapi ternyata meninggal dunia. Padahal iurannya baru berjalan hitungan bulan atau beberapa tahun. Tentu iuran tidak akan mencukupi biaya pemakaman.Â
Inilah fungsi dari iuran tersebut yang bisa dikatakan bersifat saling membantu. Misalkan jumlah umat di gereja ada 1.000 orang, maka dengan iuran bulanan 2 ribu per orang/bulan, maka sudah terkumpul 2.000.000 per bulan.Â
Khusus gereja di tempat saya tinggal, sudah memiliki lahan pemakaman sendiri sehingga meringankan bagi umat yang tengah berduka. Bisa dibayangkan jika gereja baru membeli lahan pemakaman di zaman sekarang khususnya di Bali.Â
Harga tanah 1 are saja sudah mencapai 150-300 juta di lokasi yang bukan akses utama. Harga bisa berkali-kali lipat jika di dekat kota ataupun daerah pariwisata. Apalagi lahan pemakaman membutuhkan ratusan are atau bahkan hektare mempertimbangkan banyak sedikitnya umat yang terdaftar.Â
Ada juga umat baik hati yang mewakafkan/menyumbangkan tanah miliknya diberikan pada gereja untuk area pemakaman. Hal ini sangat membantu gereja karena tidak perlu membeli lahan yang harganya mahal.Â
Warga yang tidak mampu (kurang secara finansial, yatim piatu, janda, atau kondisi tertentu tidak bisa membayar iuran warga) juga diberikan hak khusus. Warga katholik tidak mampu pun akan mendapatkan perlakuan sama karena rukun kematian digunakan untuk membantu umat yang tengah berduka.Â
Contoh kasus saat pandemi kemarin ada umat katholik yang merantau ke Bali tiba-tiba sakit dan meninggal dunia. Umat ini tidak memiliki keluarga, tinggal di kos kecil dan selama hidup tidak mampu membayar rukun kematian. Pihak gereja memfasilitasi prosesi pemakaman layaknya umat setempat.Â
Namun ada juga warga yang secara finansial tergolong mampu tapi sengaja menjauhkan diri dari lingkungan gereja atau tidak mau membayar rukun kematian. Biasanya umat ini akan diberlakukan biaya pemakaman normal. Ibarat konsekuensi karena pilihan hidup tidak mau berbaur atau tidak mau iuran padahal secara finansial mampu.Â
***
Iuran rukun kematian yang diterapkan oleh lingkungan gereja di tempat saya tinggal sangat membantu untuk biaya pemakaman yang kian mahal saat ini. Iuran yang dibayarkan 2 ribu rupiah per kepala/bulan ini seakan menjadi dana yang bisa digunakan untuk membantu umat yang mengalami kedukaan.Â
Tujuan agar keluarga yang tengah berduka tidak dipusingkan lagi dengan biaya pemakaman yang mahal. Adanya iuran mencerminkan sikap membantu dari umat untuk umat.Â
Semoga Bermanfaat
--HIM--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H