Indeks Kebahagian yang kerap ditampilkan oleh lembaga survey untuk mengukur tingkat kebahagiaan masyarakat menjadi acuan apakah masyarakat tengah hidup bahagia atau justru tertekan.Â
Entah kenapa saya tidak terlalu berekspetasi tinggi Indonesia akan masuk 10 besar negara bahagia karena sejatinya Indonesia masih berada di atas peringkat 50 sebagai negara paling bahagia di dunia.Â
Tuntutan gaya hidup masa kini kerap dianggap jadi penyebab susahnya mendapatkan kondisi hidup bahagia. Kok bisa?Â
1. Gaya Hidup Masa Kini Mahal
Ini terjadi pada teman saya. Saya kerap kali melihat postingan teman tengah berdugem ria, makan di resto enak bahkan menyicil iPhone keluaran terbaru. Barang yang dimiliki banyak branded.Â
Tidak masalah bagi saya tapi justru tiba-tiba menerima pesan singkat dan meminta bantuan pinjaman uang. Lah, padahal harusnya gaji nya di atas UMK tapi gaya hiduplah yang membuat gajinya cepat habis.Â
Ada juga kisah X, ia baru merantau ke Jakarta dari daerah di Sulawesi. Hidupnya awalnya sederhana namun berubah ketika di Jakarta. Bahkan ia memiliki cita-cita ingin menjadi selebgram sehingga berusaha untuk berkenalan dan ikut pergaulan orang-orang dengan follower sosial media besar.Â
Gaya hidup anak muda di Jakarta jaman sekarang tidak bisa dianggap murah. Karena gengsi, jika ada teman berulang tahun maka akan reservasi hotel, restoran atau tempat khusus untuk berkumpul.Â
Karena gengsi pun akhirnya circle pertemanan jadi eksklusif misalkan wajib memberikan hadiah branded karena nanti akan di posting di sosial media hadiah yang diberikan dan di tag namanya. Pasti akan malu jika memberikan hadiah murah dan di tag di sosial media si pemberi.Â
Secara tidak langsung dia senang karena punya circle pertemanan yang diharap yaitu orang-orang beken. Tapi mengikuti gaya hidup temannya yang berusaha elit membuat isi kantong cepat terkuras.Â
2.Pengakuan Sosial Media Jadi Utama
Percaya atau tidak peran sosial media juga mampu mempengaruhi tingkat kebahagian seseorang. Mendapatkan pujian, komentar positif atau bertambahnya follower jadi kebahagian sendiri.Â
Saya pun tergolong hal ini, kerap membagikan aktivitas di sosial media. Tapi saya merasa apa yang saya lakukan masih tahap wajar. Tidak ada yang komen, tidak masalah. Tidak bertambah follower bukan hal yang membuat saya sedih.Â
"Duh, fotoku ini kok dikit ya yang likes. Apa jelek ya fotoku ini, ku hapus aja dah"
Pernah ada seseorang yang berkata ini di sampingku. Saya akui postingan dirinya kerap mendapatkan ratusan atau ribuan likes. Tapi ternyata kondisi ini bisa mempengaruhi kesehatan mental dirinya ketika bersosial media.Â
Ketika  ada postingan diluar ekspetasi misalkan tidak banyak dapat likes maka ia akan langsung sedih, stress dan anggap akan merusak reputasinya.Â
Ia akan tambah stres jika ada komentar yang kurang berkenan seperti kok di foto ini agak gemukan ya, baju nya kurang pas, angle foto kurang jelas, bla bla bla. Ya pasti langsung sedih dan stres karena tidak bisa memberikan yang terbaik bagi orang lain.Â
# 3. Mengikuti Gengsi Orang Lain Bikin Stres
Lah kok bisa? Baru-baru ini ada yang memposting kegalauan dirinya untuk menikahi pacarnya. Awal masa lamaran masih tampak bahagia tapi menjelang hari pernikahan ia justru stres.Â
Dirinya cerita jika niat awal ingin mengadakan resepsi seadanya, mengundang orang terdekat saja agar tidak terbebani biaya. Tapi muncul permintaan dari keluarga besar dirinya dan pasangan yang membuat biaya yang dipersiapkan tidak cukup.Â
Pihak orang tua gengsi jika nikahan anaknya tampak biasa aja. Khawatir akan jadi omongan tetangga. Kostum harus seragam, seserahan harus tampak mahal, acara di gedung mewah, make up artis harus yang terkenal dan sebagainya.Â
Teman kerja saya pun cerita tabungan ludes karena mengikuti gengsi orang lain di acara pernikahannya. Padahal jika niat awal terlaksana, uang tabungan akan digunakan buat DP rumah dan kendaraan tapi gagal karena terpakai mengikuti gengsi orang-orang sekitar dan bukan dari kita sendiri.Â
#4. Besar Pasak Daripada Tiang
Ini juga banyak dialami masyarakat jaman sekarang. Rendahnya kemampuan manajemen keuangan membuat pengeluaran lebih besar daripada pendapatan.Â
Bukannya mengevaluasi tapi mencari cara instan. Salah satunya meminjam dari Pinjaman Online (Pinjol). Padahal Pinjol memberatkan dari sisi bunga dan cara penagihan.Â
Saya pun akan stres jika berada pada posisi di atas. Hutang dari 2,5 juta membengkak jadi ratusan juta. Apalagi jika si penagih Pinjol kerap meneror dan memberikan ancaman.Â
Bekerja jadi tidak tenang, di rumah pun jadi was-was. Pasti akan jauh dari rasa bahagia. Padahal ini karena kesalahan kita yang tergiur mendapatkan pinjaman untuk menutupi kebutuhan kita.Â
Kesalahan karena tidak bisa mengatur keuangan dengan baik terutama di kalangan anak muda yang belum banyak tanggungan. Mereka merasa apa yang di dapat saat ini harus digunakan saat ini juga tanpa mempertimbangkan kondisi di kemudian hari.Â
***
Kebahagian sebenarnya bisa diciptakan oleh diri sendiri. Bahagia karena bisa melakukan hobi yang disuka, bahagia punya aset di masa depan, bebas hutang dan sebagainya.Â
Ironisnya di masa kini kebahagian mudah hilang karena sesuatu hal seperti standar gaya hidup. Ada yang berhutang di Pinjol agar bisa membeli barang yang diincar, ada yang tidak ingin terlihat susah, atau terlalu mementingkan penilaian orang lain.Â
Apa masih mau kebahagian hilang karena terlalu mengikuti gaya hidup? Saya bisa sih enggak mau
Semoga Bermanfaat
--HIM--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H