Awal biasanya mama dan keluarga membuat payetan sesuai dengan motif yang lagi hits. Misalkan kembang/bunga, hewan, ukiran bali atau brand tertentu. Setelah itu pakaian dihias dengan pernak-pernik payetan kemudian setelah selesai. Hasil difoto dan di-posting melalui sosial media.Â
Jika ada yang tertarik, akan ada pelanggan yang mengirimkan pesan dan mulai dilakukan pembahasan terkait jenis pakaian yang ingin dibuat. Saat ini pembuatan pakaian masih menerapkan request by order, ini mengingat selera orang berbeda sehingga belum melayani pembelian langsung.Â
Pemesan rata-rata mereka yang tengah membutuhkan pakaian untuk acara tertentu misalkan pernikahan, pertunangan, upacara keagamaan atau fashion show.Â
Jika mama saya dan saudara perempuan fokus pada bisnis pembuatan pakaian payetan. Lain cerita dengan Om saya.Â
Semula bekerja di agen perjalanan wisata, selama masa Pandemi kemarin berubah haluan membuka bisnis Sate Lilit Bali.Â
Sate Lilit merupakan makanan kuliner tradisional Bali yang terbuat daging dan parutan kelapa. Sate ini menjadi santapan favorit saat ada kegiatan upacara keagamaan Hindu seperti Galungan, Kuningan, Pagerwesi dan lainnya.Â
Saya suka dengan gaya pemasaran yang diterapkan om saya ini. Beliau bergabung di lebih dari 100 grup Facebook mulai grup jual beli, grup komunitas, grup kuliner, grup informasi dan banyak lainnya yang memiliki jumlah anggota lebih dari 1.000 pengguna.Â
Ketika sudah bergabung, barulah om saya melakukan promosi memperkenalkan sate lilit. Ada pertanyaan sederhana, mengapa bergabung di banyak grup bahkan tidak ada korelasi dengan produk yang dijual?Â
Jawab om sederhana,Â
Promosi tidak ada salahnya ibarat sebar umpan ikan. Dari puluhan atau ribuan umpan yang disebar pasti ada yang menarik ikan untuk datang dan jika beruntung akan ada ikan yang nyangkut di umpanmu.Â