Melihat Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Jakarta berdekatan justru menjadi bukti bahwa toleransi telah ada sejak lama. Jika toleransi begitu indah sejak lama, mengapa kita tidak pertahankan hingga generasi selanjutnya.Â
Hi Jakarta,Â
Banyak kemudahan yang ku dapat selama tinggal di Jakarta. Bepergian tinggal naik Kopaja, Trans Jakarta hingga KRL.Â
Tidak butuh waktu lama, aku hafal semua rute KRL yang ada di Jakarta. Naik dan transit di stasiun mana saja, jam berapa waktu tersibuk dan bagaimana aku harus siap berdesakan dan menahan nafas jika menggunakan KRL di jam pulang kerja.Â
Ah, sungguh indah rasanya saat itu. Rasa bosan nyaris tak pernah hinggap. Ingin kulineran, tinggal pergi ke kebon sirih atau mangga besar. Ingin shopping ada puluhan mall yang siap memanjakan mata. Bahkan ketika aku ingin menyendiri pun, Pulau Seribu menjadi tempat yang menyenangkan.Â
Jakarta, aku pun pernah kesal pada dirimu. Masih terekam jelas ketika aku dirampok di sekitar Tanah Abang. Aku sadar itu karena kecerobohanku sehingga jadi korban perampokan. Ku ikhlaskan gawai ku hilang diambil orang. Mungkin itu bisa menjadi rejeki bagi mereka.Â
Adikku pun sempat menertawakan, belum genap 5 bulan justru diriku jadi korban kejahatan. Disini aku belajar tentang keikhlasan.Â
Tidak hanya itu, aku kesal dengan kesemrawutan transportasi. Macet seakan jadi rutinitas yang harus siap dilalui. Bahkan aku kerapkali stres mendengar suara klakson kendaraan yang terlalu barbar ketika berada di situasi kemacetan.Â
Bahkan untuk melalui jarak 300 meter saja, aku pernah menghabiskan waktu 1,5 jam karena macet ini. Sungguh menguras waktu, tenaga dan mental.Â
Kini diusia mu yang bertambah. Bolehlah aku menitipkan harapan. Harapan yang mungkin juga dirasakan oleh sahabat-sahabatku yang masih merantau di Jakarta.Â