April 2021 lalu, nenek saya tutup usia. Nenek saya sendiri merupakan keturunan asli Bali dari Wangsa Ksatria, yaitu memiliki garis keturunan dari bangsawan di Bali. Secara khusus, saya masih memiliki darah Bali dari ibu.Â
Mengingat ibu saya adalah anak pertama di keluarga, beberapa kali rapat keluarga besar diadakan di rumah saya. Sedikit informasi, umumnya proses ngaben atau upacara pembakaran jenazah tidak bisa dilakukan secara cepat.Â
Ada berbagai pertimbangan seperti menentukan hari baik serta tanggal pas agar keluarga besar bisa datang sebagai penghormatan terakhir. Tidak jarang keluarga besar tinggal berpencar seperti diluar kota, luar provinsi hingga di luar negeri.Â
Bahkan jika seseorang meninggal berdekatan dengan hari keagamaan Hindu di Bali. Keluarga biasanya akan mencari hari baik setelah hari raya keagamaan tersebut. Artinya jenazah bisa berhari-hari di rumah duka.Â
Pada kegiatan kumpul keluarga besar, sedikit banyak saya menjadi tahu proses upacara Ngaben di masyarakat Hindu Bali bahkan hingga biaya upacara pengabenan.Â
Wow, jujur ada rasa takjub. Ternyata berita selama ini yang menempatkan upacara ngaben sebagai salah satu upacara kematian yang mahal di Indonesia ternyata ada benarnya.Â
Mungkin ada yang bertanya-tanya, untuk apa saja dana dikeluarkan untuk Ngaben tersebut?Â
Saya coba gambarkan secara sederhana. Proses ngaben bukan hanya terfokus pada proses pembakaran jenazah namun ada rangkaian yang cukup panjang bahkan mulai dari awal persiapan hingga paska ngaben.Â
Teringat saat nenek buyut saya meninggal dunia. Proses persiapan hingga Ngaben berlangsung selama 7 hari. Biaya pun sudah mulai keluar sejak masa persiapan.Â
Rumah mulai dibangun tenda tanda berduka. Selain itu disiapkan juga formalin untuk jenazah agar tetap awet mengingat masa pengabenan masih lama. Selain formalin ada juga yang menggunakan balok es atau bahan kimia sebagai media pengawetan lainnya.Â
Biaya lain juga dikeluarkan untuk konsumsi. Selama menunggu hari pengabenan umumnya keluarga akan melakukan rapat keluarga serta melakukan kegiatan penjagaan jenazah.Â
Di kampung saya saat malam, para tetangga akan datang melayat sekaligus ikut menjaga jenazah. Salah satu caranya biasanya mereka berkumpul sambil bermain kartu atau mengobrol hingga pagi. Tentu kegiatan ini perlu disiapkan konsumsi seperti minuman maupun cemilan.Â
Tidak jarang keluarga ingin terlihat kompak saat upacara ngaben. Saat itu keluarga besar membuatkan seragam hitam dengan desain khusus untuk digunakan keluarga, kerabat atau tetangga yang membantu selama pengabenan.Â
Biaya tergolong besar biasanya digunakan untuk sarana upacara ngaben mulai banten, jasa Pandita (pemuka agama), membuat Bade (alat pengusung jenazah), biaya kremasi dan lain sebagainya.Â
Harga Bade (pengusung jenazah) saja bervariasi. Tergantung model, tingkat Bade hingga desain. Untuk Bade sederhana ada dikisaran 3-10 juta rupiah.
Harga fantastis jika sosok yang meninggal adalah sosok penting di masyarakat seperti keluarga raja atau pandita terkemuka di Bali.Â
Contoh sederhana ketika beberapa saat lalu sempat diadakan upacara pengabenan di Puri Ubud, Bali. Bade yang digunakan memiliki ketinggian sekitar 27,5 meter.Â
Bisa dibayangkan betapa megahnya dan mahalnya Bade tersebut. Saya memperkirakan harga Bade bisa mencapai puluhan atau ratusan juta.Â
Eits, untuk kalangan tertentu seperti Brahmana atau Ksatria kadang dilengkapi dengan sarana Petulangan.Â
Apa itu?Â
Jika sobat Kompasiana pernah melihat langsung proses Ngaben dan melihat semacam patung berbentuk hewan khusus seperti lembu, singa, rusa/menjangan, ikan, harimau dan sebagainya.Â
Inilah yang disebut petulangan. Bagi masyarakat Hindu, petulangan berasal dari hewan suci atau memiliki histori khusus terhadap leluhurnya. Dipercaya petulangan yang berbentuk hewan ini akan menjadi kendaraan bagi roh yang meninggal menuju surga.Â
Saya ingat, nenek buyut saya juga berasal dari golongan Ksatria dibuatkan petulangan jenis ikan. Saya menerka mungkin faktor leluhur nenek buyut saya yang berasal dari pesisir pantai sehingga dibuatkan petulangan tersebut.Â
Harganya juga termasuk lumayan diantara 2-5 juta rupiah tergantung bentuk dan desain. Bisa dibayangkan sudah berapa biaya untuk membuat Bade dan petulangan. Harganya sudah terbilang tinggi.Â
Pada hari H pun, upacara ngaben akan melibatkan banyak orang karena untuk membawa Bade serta petulangan ke kuburan (Setra), mendampingi keluarga hingga proses pengabenan.Â
Paska proses pengabenan, keluarga masih harus melakukan tahapan lain seperti nganyut/nganyud yaitu membawa sisa abu jenazah ke aliran air seperti sungai, danau atau laut.Â
Setelah itu diadakan juga proses meajar-ajar dimana keluarga akan menganturkan persembahyangan ke beberapa pura seperti pura keluarga, pura kahyangan tiga hingga pura Besakih.
Ini juga membutuhkan biaya besar karena keluarga menyiapkan akomodasi, perlengkapan banten, konsumsi dan sebagainya.Â
Dulu saat proses pengabenan nenek buyut menghabiskan diatas 100 juta rupiah. Biaya ini bagi saya personal cukup besar mengingat proses dilakukan awal tahun 2000an. Jika dikonversi ke masa sekarang mungkin bisa diatas 200 jutaan.Â
Khusus nenek saya yang meninggal di masa pandemi. Ada sedikit keuntungan, di mana masih ada pembatasan kegiatan upacara konvensional yang melibatkan kerumunan massa.Â
Keluarga memilih memanfaatkan jasa kremasi karena lebih praktis, hemat, dan juga mematuhi protokol kesehatan. Proses pengabenan nenek saya tidak perlu mempersiapkan Bade hingga petulangan. Jenazah beliau juga dititipkan di rumah sakit.Â
Kemudahan lain karena tante saya bekerja di rumah sakit daerah, keluarga mampu menekan biaya baik dari biaya kamar jenazah, pemasangan formalin hingga bantuan ambulans untuk menuju lokasi kremasi.Â
Biaya  dihabiskan tetap saja cukup besar hampir 100 juta rupiah. Bagi keluarga biaya ini termasuk murah mengingat ada sarana upacara ngaben yang tidak perlu dipersiapkan karena masih dalam pandemi Covid-19.Â
Masa pandemi membuat beberapa pos pengeluaran bisa dipangkas. Pada saat pengabenan nenek buyut perlu menyiapkan tenda, bade, petulangan, konsumsi berhari-hari hingga pakaian khusus untuk pengabenan. Teruntuk nenek saya, biaya ini tidak perlu dikeluarkan karena proses kremasi lebih praktis.
Saya membayangkan biaya pengabenan yang dilakukan oleh keluarga Puri Ubud dimana keluarga Puri Ubud dihormati dan memiliki relasi luas. Menurut berita portal yang saya baca, untuk upacara di kalangan kerabat puri seperti Puri Ubud bisa menghabiskan anggaran hingga milyaran rupiah.Â
Mungkin ada yang bertanya, bagaimana jika keluarga berasal dari kalangan tidak mampu?Â
Saya pun sempat menanyakan hal ini ke keluarga ibu yang beragama Hindu. Ada kemudahan di mana keluarga yang belum mampu melaksanakan ngaben diperkenankan untuk melakukan proses penguburan jenazah terlebih dahulu.Â
Biasanya keluarga akan mengumpulkan dana sehingga ketika dana sudah terkumpul baru dilakukan proses pengabenan.Â
Alternatif lainnya biasanya akan ada kegiatan ngaben massal dalam lingkup desa atau penggabungan keluarga besar yang memiliki leluhur yang belum sempat melakukan proses pengabenan.Â
Cara ini tergolong lebih terjangkau karena biaya proses pengabenan dilakukan secara patungan atau mendapatkan bantuan khusus seperti dana desa atau sumbangan dari pihak tertentu.Â
Informasi yang pernah saya dapat biaya untuk kegiatan massal, pihak keluarga mengeluarkan ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Tidak sampai hingga ratusan juta.Â
***
Pengabenan di Bali menjadi upacara penting dan sakral di Bali. Pada tahap ini, keluarga memberikan penghormatan terbaik bagi mendiang serta membantu roh mendiang kembali pada Sang Pencipta (Ida Sang Hyang Widi).Â
Tidak dipungkiri dalam proses ini akan membutuhkan dana yang besar. Namun ada hal positif yang selama ini saya ambil dimana keluarga seakan ingin memberikan yang terbaik bagi si mendiang khususnya dalam tahap pengabenan.Â
Semoga Bermanfaat
--HIM--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H