Rini, menantu ku. Suara isak tangisnya terdengar jelas. Dari suara tangisnya, aku menerka ia berada tepat di samping Albert, suaminya.Â
Dokter Rudi dan seorang suster ada di samping kananku. Aku bisa mendengar jelas instruksi-instruksi yang dokter rudi berikan pada susternya. Dari suaranya, terdengar sedikit serius.Â
Aku sempat mendengar suara Riko, anak bungsuku. Namun semenjak beberapa menit lalu, seakan tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulutnya. Namun aku yakin dia masih ada di ruangan ini.Â
5 orang ada di sekitar diriku saat. Oh tidak, aku mendengar suara 1 orang lagi. Suara tangisan dari orang yang ku sayangi.Â
Suara tangisnya begitu kecil tapi ku yakin itu suara Cindy, cucu ku. Cucu perempuanku berusia 9 tahun dari anak keduaku, Sonya.Â
Gadis cantik berambut panjang, bermata coklat. Aku selalu mengepangi rambut panjangnya ketika berangkat sekolah. Bahkan aku tahu betul baju kesayangannya, dress panjang motif bunga mawar.Â
Cindy adalah penyemangatku selama ini. Bagaimana tidak, ia adalah satu-satunya kenanganku terhadap putri kesayanganku.Â
Hatiku terasa sesak setiap melihat wajah cucuku. Menjadi yatim piatu sejak berusia 5 tahun bukanlah takdir yang menyenangkan.Â
Putriku dan suaminya telah tiada 4 tahun lalu karena kecelakaan di Bandung. Mukjizat ketika hanya Cindy yang bertahan hidup ketika ayah, ibu dan baby sitter-nya meninggal saat mobil menantuku masuk ke dalam jurang.Â
Tiba-tiba rasa sedih muncul seketika melandaku. Pasti cucuku terlalu sedih dan khawatir hingga suara tangisnya terdengar lirih hingga aku terlalu susah mendengar.Â
Deggg, Deggg, Deggga ku rasakan sebentuk hentakan di dadaku. Alat defribrilator ini memberikan efek kejut di tubuhku. Sepertinya tubuh ini sedang tidak baik-baik saja.Â