Dulu ketika saya masih berstatus mahasiswa atau melihat rekan-rekan mahasiswa melakukan aksi demo. Mereka dengan antusias membuat spanduk berisikan pesan kritis dan aspirasi dengan tegas dan lugas. Beberapa kalimat yang sering di tulis misalkan :
- Anggota Dewan tolong jangan cuma tidur tapi perhatikan rakyatmu
- Ini negara demokrasi bukan negara otoriter
- Kami akan berjuang hingga titik darah terakhir
Umumnya kata atau kalimat yang digunakan bersifat himbauan, semangat hingga harapan dari tujuan mereka melakukan demo. Sayang kini seiring waktu ketika media sosial telah merajai gaya perilaku anak muda. Justru ada perubahan pesan spanduk yang terkesan absurd bahkan menjurus ke hal ambigu.
Bila ditanya respon saya secara personal melihat pesan yang dibawa adik-adik mahasiswa masa kini. Jujur 10 persen menghibur namun 90 persen saya geleng-geleng kepala. Esensi menulis pesan yang menurut saya tidak sejalan dengan tujuan demonstrasi.
Ironisnya pembawa pesan adalah kalangan mahasiswa yang dikenal sebagai agen perubahan (Agent of change).Â
Title MahaSiswa menunjukan bahwa pola berpikir kalangan ini diatas para siswa dan lebih bersikap kritis, tegas, visioner maupun solutif.
Nyatanya pesan yang dibawa tidak menggambarkan karakter mahasiswa sejati. Mereka membuat pesan hanya sekedar mencari sensasi, popularitas hingga perhatian dari sesama peserta demo maupun media. Sejatinya mereka berhasil dalam mewujudkan hal ini namun gagal merepresentasikan makna dari demonstrasi untuk demokrasi.
Pejuang Bersama Versus Pejuang Kepentingan
Saya ingat betul saat aksi demontrasi tahun 1998 yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat khususnya mahasiswa. Tujuan mereka adalah melakukan perjuangan bersama merubah rejim orde baru salah satunya melengserkan Presiden Soeharto saat itu menjadi rejim reformasi.Â
Aksi ini pun berhasil karena dilakukan bersama-sama demi tujuan yang sama. Bahkan banyak orang berkorban hingga nyawanya untuk mewujudkan hal ini. Sebuah perjuangan luar biasa yang akan dikenang oleh masyarkat Indonesia.