Entah kenapa pagi ini terbesit menulis tentang polemik di Kompasiana sekitar 2 bulan ini terlebih setelah membaca artikel Pak Felix Tani berjudul Kompasianival 2021,Tonggak Terakhir Untukku dan pagi ini beliau pun beliau menulis artikel yang seakan tambahan dari artikel ini.Â
Pak Felix seakan mewakili sebagian Kompasianer yang kurang sepakat dengan kebijakan admin Kompasiana dalam membundling Topik Pilihan (Topil) dengan K-Rewards.Â
Saya menangkap bahwa kritik Pak Felix akan membuat ruh Kompasianer tidak sebebas dahulu dan lebih memilih menulis sesuai Topil yang disediakan. Dikhawatirkan adanya Topil menciptakan sistem tersendiri dimana Admin sebagai "majikan" dan Kompasianer sebagai "buruh".
Kehadiran K-Rewards memang menjadi penyemangat bagi Kompasianer termasuk saya. Penulis seakan mendapatkan " upah"yang pada kasus ini Reward dalam bentuk saldo Gopay. Mengingat Gojek menjadi sponsor utama dalam sistem K-Rewards.Â
Disisi lain saya sudah memperkirakan K-Rewards justru bisa menciptakan polemik tersendiri kemudian hari. Ternyata ini terjawab saat ini. Salah satunya rasa kecewa Steven Chaniago yang kini memilih vakum menulis karena kecewa dengan sistem penerimaan K-Rewards serta kebijakan yang kurang berpihak padanya.Â
Steven hanya menjadi satu dari sekian banyak peraih K-Rewards yang kecewa karena dibuat bingung dengan sistem pemberian rewards. Ada yang sudah menulis pagi malam bahkan jumlah keterbacaan banyak namun reward yang diterima diluar ekspetasi dan sebagainya.
Kenapa bisa terjadi?Â
Sadar atau tidak, saya menilai K-Rewards dan Topil telah menciptakan 2 perubahan.
Pertama, perubahan orientasi kepenulisan. Dulu sebelum adanya K-Rewards, Kompasianer lebih bebas meluapkan jiwa literasinya sesuai keinginan dan pemikiran mereka. Ibarat burung, ia bebas terbang kemanapun ia suka.Â
Kini munculnya Topil dan K-Rewards, kebebasan tersebut kini mulai diarahkan. Seperti kuda pacu, ia tidak bisa berlari sesuka hati. Jika ingin menang dan unggul, ia harus berlari sesuai jalur yang ditentukan. Melenceng sedikit, ia akan gugur atau di diskualifikasi.Â
Terlihat jelas, dulu ada Kompasianer yang hobi menulis politik atau sastra. Kini rajin menulis Topil karena akan mendongkrak penerimaan K-Rewards tiap bulan.Â
Saya pernah membandingkan, jumlah pembaca A lebih banyak dibandingkan B. Namun B mendapatkan K-Rewards lebih besar karena tulisannya mendapatkan poin lebih karena menulis sesuai Topil yang ditentukan.Â
Kedua, Telah Terciptanya Kompetisi Dalam Kompasiana. Kita mungkin tidak sadar akan hal ini namun realitanya yang saya lihat belakangan ini seperti itu.Â
Layaknya kompetisi, tiap orang akan memikirkan segala cara untuk unggul. Ada yang fair play ada juga yang menerapkan cara atau trik khusus.Â
Ada yang bahagia tentu ada juga yang sedih merana. Ada yang terbaik namun tidak sedikit yang gigit jari. Contoh sederhana, sudah banyak komentar hingga artikel yang kecewa karena Rewards yang diterima diluar ekspetasi padahal sudah susah payah agar tetap menulis dan memancing pembaca untuk singgah.Â
Ironisnya admin Kompasiana lah yang menjadi bulan-bulanan Kompasianer yang kecewa. Saya percaya admin pun manusia biasa yang berusaha tegar ketika banyak kritikan dan komplain ditujukan padanya.Â
Saya teringat saat dulu mendapatkan mata kuliah Pengantar Ilmu Hubungan Internasional (HI) saat kuliah. Di sana diajarkan tentang 3 perspektif besar dalam HI yaitu Realis, Liberal dan Marxis.Â
Analisa Problematika K-Rewards Dalam Perspektif Khusus
Saya ingin mencoba analisa lika-liku problematika K-Rewards dari sudut pandang penulis dengan memadukan nilai perspektif HI. Mohon Pak Ludiro Madu serta pakar politik dan hubungan internasional untuk koreksi jika ada pandangan dan tulisan saya yang keliru.Â
Perspektif Realis pada HI menekankan bahwa negara adalah aktor utama dan setiap negara memiliki kepentingan masing-masing (National interest).Â
Mirip seperti di Kompasiana, setiap orang pun punya kepentingan masing-masing. Admin dan pengelola Kompasiana tentu berkepentingan agar platform ini terus berkembang dengan lahirnya penulis-penulis baru yang potensial.Â
Kompasianer pun kepentingannya agar tulisannya bisa dipublish, dibaca dan dihargai dalam bentuk Rewards. Pihak sponsor pun berharap dana atau support yang diberikan sebanding dengan branding yang diterima.Â
Kepentingan-kepentingan ini kadang menciptakan bentrok kepentingan. Bahkan kepentingan antar Kompasianer pun bisa bertolak belakang yang kemudian muncul aroma persaingan seperti yang pernah terjadi beberapa waktu lalu.Â
Perspektif Liberal menekankan bahwa masih ada aktor lain diluar negara yang memiliki peran penting dalam tatanan internasional seperti IGO, NGO, MNC hingga individu. Kaum liberal pun optimis menciptakan kerjasama yang menguntungkan antar aktor.Â
Di Kompasiana pun terbangun iklim yang mendekati liberalisme. Ada upaya kerjasama antar aktor. Seperti admin yang berharap dapat suntikan dana dari sponsor atau pengiklan, pihak sponsor atau pengiklan bisa mendapatkan branding dari kerjasama tersebut, penulis pun dapat hasil dari tulisannya.Â
Perspektif Marxis, sistem internasional akan menciptakan strata/hierarki seperti kaum borjuis dan buruh. Kritikan Pak Felix Tani saya nilai muncul karena merasakan kondisi ini di Kompasiana saat ini.Â
Admin Kompasiana dan pihak sponsor menempati posisi Borjuis dan Kompasianer di posisi Buruh. Kenapa begitu?Â
Kaum borjuis selaku pemilik modal akan membuat berbagai aturan kepada pekerja. Tidak suka, silakan pergi. Jika suka, silakan bertahan. Admin Kompasiana pun memiliki aturan sama.Â
Sebagai tuan rumah, admin berhak menentukan artikel mana saja yang layak, perlu diedit atau bahkan dihapus. Menentukan berapa besaran reward yang diterima tiap Kompasianer dan sebagainya.Â
Kompasianer yang tertarik dengan K-Rewards mau tidak mau mengikuti aturan tersebut. Jika merasa keberatan, silakan mundur tanpa harus diminta.Â
Disisi lain muncul strata lain seperti kaum centang biru, centang hijau dan tanpa centang dengan segala kemudahan, keistimewaan khusus yang ditawarkan.
***
Saya teringat seorang sahabat mengatakan, "kamu tidak akan bisa membahagiakan semua orang". Ternyata pada kasus K-Rewards, ungkapan sahabat ini cukup mengena.Â
Hadirnya K-Rewards yang awalnya ingin membahagiakan penulis serta munculnya Topil untuk membantu penulis dalam mencari ide tulisan nyatanya tetap ada yang tidak bahagia.Â
Saya personal pernah kecewa dengan K-Rewards yang saya terima. Tapi ada hal yang membuat saya melupakan hal itu. Saya rubah mindset dari ingin mendapat K-Rewards sebanyak mungkin menjadi ingin menulis sebanyak mungkin karena hobi dan ingin berbagi.Â
Inilah yang membuat kekecewaan saya perlahan hilang dan sudah tidak down jika tahu raihan K-Rewards kecil yang hanya sekedar untuk jajan semata.Â
Harapannya polemik ini bisa mendapatkan jalan terang. Meski mungkin tidak bisa menyenangkan semua orang setidaknya bisa mengakomodir kepentingan dua pihak utama yaitu pengelola platform dan penulis.Â
Saling support sangatlah dibutuhkan dan kritik seperti yang dilakukan Pak Felix Tani ibarat bumbu dalam rumah kebanggaan kita ini. Ibarat roda pemerintahan, butuh oposisi yang bisa memberikan kritik dan masukan jika ditemukan hal-hal tidak sesuai.Â
Jika ini terwujud, niscaya Kompasiana akan tetap jadi platform blog terbesar bahkan naik level di Asia bahkan internasional.Â
Semoga Bermanfaat
--HIM--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H