Saya teringat satu momen ketika kakak saya meminta saya mengajarkan anak keduanya berhitung. Dirinya sering terpancing emosi ketika mengajari anak keduanya ini.Â
Bahkan tidak jarang, dirinya harus melakukan kekerasan fisik seperti mencubit si anak ketika salah menjawab saat latihan berhitung.Â
Saya pun mengiyakan mengingat dulu ketika mengajari keponakan pertama, saya tidak terlalu sulit. Hanya butuh 1 hari, keponakan pertama sudah bisa membaca bahkan berhitung sederhana.Â
Namun ternyata kesabaran saya pun diuji ketika mengajari si keponakan kedua. Berulang kali diajarkan dan dijelaskan namun tetap keliru ketika menjawab soal perhitungan.
Bahkan saya sudah menyuruhnya menggunakan jari tangan bahkan saya menyiapkan potongan lidi untuk membantunya menghitung soal yang jawabannya di atas angka 10 (mengingat jumlah jari hanya 10 maka si anak kesulitan jika menghitung diatas angka 10).
Kesalahan saya menyamakan daya tangkap keponakan kedua ini dengan kakaknya. Nyatanya mengajari si keponakan kedua memang harus ekstra sabar. Bahkan tanpa sadar saya pun sampai menaikkan intonasi suara yang justru membuat si keponakan ketakutan dan menangis saat diajar.Â
Dampaknya ketika sudah lelah belajar, keponakan saya pun tertidur pulas setelah selesai sesi belajar. Namun tanpa diduga, saya mendengar keponakan saya ini mengigau dalam tidur. Dirinya mengucapkan kata-kata yang sempat saya ajarkan.
Ketakutan saat saya bentak dan marahi karena tidak paham seakan mempengaruhi alam bawah sadarnya hingga si keponakan mengigau tengah berhitung.Â
Di sini saya teringat ketika dulu diajari membaca dan berhitung oleh ibu saya. Karakter ibu saya ketika mengajari cukup keras.Â
Artikel Teknik Belajar : Jangan Stres, Pahami Teknik Khusus Melatih Baca Anak Secara Cepat
Tidak jarang kuping saya dijewer, paha dan tangan dicubit atau bahkan pecutan sehelai lidi pun harus siap dirasakan ketika saya salah atau lupa dengan yang sudah diajarkan.Â
Berkaca pada hal ini saya pun mulai berpikir, masih perlukah tindakan fisik sebagai metode mendidik anak?Â
Setiap orang tentu memiliki penilaian berbeda-beda. Ada yang merasa tindakan fisik masih efektif agar anak cepat paham namun disisi lain justru tindakan fisik menciptakan ketakutan tersendiri bagi anak dibandingkan tujuan mendidik.Â
Saya mencoba memberi penilaian tersendiri risiko yang mungkin terjadi jika tindakan fisik seperti mencubit, menjewer atau memukul digunakan selama mengajari si buah hati. Apa saja itu?Â
Rasa Ketakutan yang Berlebihan
Berkaca pada pengalaman saya saat kecil ketika diajari membaca dan berhitung oleh ibu saya. Tindakan fisik seperti cubitan dan pecutan lidi justru membuat saya merasakan ketakutan berlebihan.Â
Apalagi jika menjelang sore, di mana ibu mengatakan bahwa sudah saatnya belajar lagi. Entah kenapa saat itu saya justru langsung merasa takut dan bayang-bayang akan dicubit langsung terlintas di pikiran.Â
Ini juga ketika saya mengajari keponakan kedua. Setelah saya memarahi dirinya saat pertama kali diajarkan oleh saya. Si keponakan langsung merasa takut jika saya mengajaknya untuk belajar lagi.
Bahkan ketika dirinya mengigau mengulang hal yang dipelajari sebelumnya bukti kecil bahwa ketakutan saat dimarahi begitu membekas dalam pikirannya.Â
Saya salut dengan cara didik dari rekan kerja saya yang seorang ibu dengan anak usia 6 tahun. Ia sering memposting video tengah mengajari anaknya membaca. Bahkan si anak terlihat antusias ketika diajak belajar.Â
Ini karena si ibu selalu menghargai usaha si anak dan tidak segan melemparkan pujian seperti, good job; wuah pintar; anak mama cerdas dan sebagainya.Â
Pujian dan apresiasi ini membuat si anak tidak takut ketika diajak mengulang pelajaran atau bahkan antusias ketika diajak belajar.Â
Penilaian Anak Berbeda
Daya pikir anak bisa saja berbeda dengan orangtua. Bagi orangtua dengan adanya tindakan fisik diharapkan si anak menjadi lebih serius belajar.Â
Namun nyatanya banyak anak berpikir beda. Tindakan fisik bisa dianggap si orangtua memiliki karakter kasar, suka marah dan tidak sayang pada anaknya.Â
Kondisi anak zaman sekarang yang kian kritis tentu membuat tindakan fisik ini dianggap bentuk kemarahan dan luapan emosi dibandingkan kasih sayang dalam mendidik.Â
Mental anak pun bisa terpengaruh bila cara didik tidak hanya berupa tindakan fisik namun juga tindakan verbal seperti : dasar bodoh, dungu, goblok, tulalit dan sebagainya.
Pernah saya melihat video dari seorang guru yang prihatin ketika membaca keluh kesah anak melalui sebuah gambar. Dirinya merasa sedih ketika orangtua mengatakan dirinya bodoh saat tidak bisa menjawab pertanyaan dari orangtua.Â
Anak Menduplikasi Cara Ajar Orangtua
Ternyata tindakan fisik bisa memberikan dampak jangka panjang. Pernah saya melihat seseorang memarahi anaknya yang susah menangkap apa yang diajarkan. Bahkan tidak segan mencubit, menjewer dan mengeluarkan kata-kata kasar.Â
Ketika saya mencoba menegur dan memberikan masukan. Justru orang ini mengatakan bahwa cara ini yang dulu orangtuanya ajarkan pada dirinya.Â
Kakak saya pun pernah melakukan hal sama karena ia mengingat bagaimana ibu kami memberikan hukuman ketika salah ketika belajar.Â
Ini artinya segala tindakan atau cara ajar orangtua bisa membekas pada pikiran anak. Si anak justru menduplikasi apa yang dirasakan dulu semasih kecil dan dipraktikan pada anaknya.Â
Sangat mirip dengan aksi senioritas saat ikut organisasi atau tingkat pendidikan. Ketika dulu senior menyiksa si junior maka ketika si junior sudah di level senior. Ia pun menerapkan hal sama pada juniornya.Â
Hal inilah yang ingin dicegah oleh teman saya. Makanya dirinya lebih banyak melontarkan pujian dan apresiasi pada anak agar kelak ia pun melakukan hal sama ketika sudah menjadi orangtua.Â
Perbuatan yang terkesan sepele justru bisa menjadi budaya dan patokan. Ketika si anak dulu sering mengalami tindakan fisik maka peluang hal terjadi dilakukan pada generasi berikutnya tergolong besar.Â
Mencederai Anak
Saya pernah mendengar suatu berita orangtua tidak sengaja mencederai si anak ketika proses belajar. Ketika orangtua hendak memecut anak dengan helaian sapu lidi justru lidi tersebut mengenai mata si anak hingga terluka.Â
Ada juga anak yang dipukul dengan rotan atau dicubit dengan keras hingga meninggalkan bekas memar pada tubuh si anak. Sangat sedih jika justru tindakan fisik yang dilakukan meninggalkan bekas yang tidak bisa dihilangkan.Â
Penyesalan bisa terjadi dan tentu si anak pun akan merasakan kesedihan jangka panjang seperti kasus mata nyaris buta karena terkena sabetan lidi.Â
Alangkah baiknya ketika hati sudah terpancing emosi si anak tidak kunjung paham dengan yang diajarkan. Orangtua bisa untuk istirahat sejenak, mencuci muka, istigfar atau bercanda sejenak dengan buah hati.Â
Tujuan agar mencairkan suasana dan merendam emosi diri karena kita tengah mendidik buah hati.Â
***
Mendidik anak kecil atau buah hati memang bukanlah pekerjaan mudah. Butuh kesabaran ekstra si anak memiliki daya tangkap yang lemah dan sering melakukan kesalahan.Â
Saya menilai tindakan fisik saat mengajari anak justru memiliki banyak risiko baik jangka pendek dan panjang. Hal sedih jika ternyata tindakan fisik ini mempengaruhi psikis dan fisik si anak.Â
Apabila ada sobat Kompasiana memiliki teknik mengajar yang tepat bagi anak mungkin bisa dibagikan agar bisa berguna bagi para orangtua yang tengah stres mendidik si anak.Â
Semoga Bermanfaat
--HIM--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H