Dibelakang panggung tiba-tiba terdengar suara teriakan dari suara perempuan muda berusia sekitar 17 tahunan. Dirinya terdengar mengeluarkan berbagai umpatan dan bertingkah brutal.Â
Selidik punya selidik ternyata gadis muda itu kesal karena hanya merebut juara 2 dalam sebuah kompetisi nyanyi yang diadakan di salah satu mal.Â
Kekesalan karena pada kompetisi-kompetisi sebelumnya dirinya bisa meraih juara 1 namun kini dirinya terdepak ke juara 2. Padahal dirinya adalah mega favourite dalam kompetisi tersebut dan banyak pendukung dan keluarga yang ikut menonton dirinya tampil di atas panggung. Lebih menyesakkan lagi ia kalah oleh seseorang pendatang baru dalam kompetisi tersebut.Â
Umpatan bahwa juri dianggap bertindak curang, ada permainan orang dalam atau ada kesalahan penyebutan juara yang seharusnya dirilah yang menjadi juara 1. Namun juri tetap bersikukuh bahwa keputusan mereka tidak ada keliru dan memang dirinya kalah poin dari si pendatang baru.Â
Di sini saya belajar bahwa banyak peserta yang telah memiliki mental juara namun tidak memiliki mental kalah. Belajar dari kasus di atas bahwa ada karakter peserta kompetisi yang menilai bahwa Juara 1 adalah pencapaian terbaik, diluar itu maka sama saja kalah.Â
Nyatanya lolos menjadi peserta atau masuk dalam fase grandfinal sudah menunjukkan bahwa mereka telah menjadi "pemenang".
Apakah ini termasuk kejadian langka?
Saya katakan, Tidak. Karena nyatanya banyak hal serupa terjadi di sekitar kita. Video di atas adalah contoh dimana ada yang bertindak kasar, brutal, sedih hingga berlarut-larut hingga depresi atau bahkan hingga mengalami gangguan jiwa ketika tidak berhasil dalam sebuah kompetisi atau ajang.Â
Saya sempat membaca kasus yang terjadi di Jombang, Jawa Timur. Seorang pria mengamuk di kantor kepala desa. Berdasarkan informasi yang beredar, pria tersebut mengalami gangguan pada kejiwaannya sejak kalah dalam Pemilihan Kepala Desa (Pilkadesa) beberapa waktu lalu (berita selengkapnya klik disini).Â
Hal mirip juga terjadi di Garut, seorang pria mengamuk dan menganiaya imam masjid di daerahnya. Pria ini diduga stress dan mengalami gangguan jiwa setelah gagal menjuarai kompetisi Dai Muda yang sempat disiarkan di salah satu TV Nasional (berita selengkapnya klik disini).Â
Belajar pada kasus-kasus seperti di atas saya menilai bahwa pentingnya juga menanamkan mental Siap Kalah ketika ikut berkompetisi atau dalam sebuah ajang.Â
Kesalahan mendasar adalah seseorang terlalu menekankan diri untuk jadi Juara sehingga berusaha menghilangkan istilah Kalah pada dirinya. Ada beberapa faktor penyebabnya.Â
1. Kalah dianggap Pecundang (Loser)
Pandangan ini kerapkali berkembang di masyarakat. Menang adalah Juara dan Kalah adalah Pecundang. Pandangan inilah yang membuat orang tidak siap jika di posisi kalah.Â
Ketakutan dianggap pecundang atau dalam istilah lebih kasar "sampah" membuat mereka berbuat apapun untuk menang. Bahkan ketika ternyata kalah, mereka bisa menyampaikan protes sebagai bentuk perlawanan atau kekecewaan.Â
Jika di barat istilah loser acapkali terlontar dari seseorang yang berhasil menggunguli orang lain seperti "I'm the Winner, You're a Loser" atau pelabelan khusus kepada pihak yang kalah.Â
Namun kita hidup di Indonesia yang kuat dengan budaya timur dimana sikap legowo masih cukup kuat. Seandainya sikap legowo diajarkan pada generasi muda, istilah loser atau pecundang tidak akan terlalu mengakar di masyarakat kita.Â
2. Didikan Harus Jadi yang Terbaik
Tidak sedikit orang tua yang mendidik anaknya menjadi yang terbaik. Ini tidak salah karena orang tua pasti berharap anaknya menjadi unggul, spesial, dan menjadi yang terbaik. Alhasil segala upaya akan dilakukan agar si anak menjadi yang terbaik.Â
Salah satunya adalah doktrin bahwa menjadi terbaik adalah menjadi juara 1. Saya ingat teman semasa SMP dan SMA pernah dipukul oleh ayahnya karena gagal jadi juara 1 dalam kompetisi bulu tangkis tingkat kabupaten.Â
Saya kasihan melihat teman saya ketakutan jika kalah dalam turnamen karena ada bayang-bayangan kemarahan ayahnya jika kalah. Ini karena ayahnya menaruh harapan agar dirinya tampil di pentas yang lebih besar bahkan bisa masuk ke Pelatnas.Â
Sayangnya didikan seperti ini ibarat 2 sisi koin. Sisi pertama bisa memotivasi anak untuk tampil lebih baik dan berusaha keras menjadi juara sesuai ekspektasi orang tua atau orang lain.Â
Namun disisi lain akan muncul beban dan tekanan saat berkompetisi. Ada bayang-bayang ketakutan jika gagal mewujudkan ekspetasi yang diharapkan orang lain. Alhasil ketika gagal, dirinya akan mudah merasa depresi dan terpuruk.Â
3. Terpaku pada Stigma "Kesempatan Hanya 1 Kali"
Ada pepatah kesempatan hanya datang 1 kali, jangan pernah sia-siakan kesempatan. Inilah yang membuat orang berusaha meraih kesempatan dengan menjadi yang terbaik. Khawatir tidak akan ada kesempatan kedua, ketiga dan seterusnya.Â
Nyatanya justru ada orang yang justru berhasil ketika harus mengalami kegagalan terlebih dahulu. Belajar pada kisah Hidilyn Diaz, atlet wanita angkat besi dari Filipina yang berhasil menyumbangkan emas pertama bagi negaranya di Olimpiade.Â
Pencapaian terbaiknya ini bahkan tidak datang serta merta dimana dirinya harus sempat berpuas menjadi juara 2 dan 3 pada olimpiade sebelum-sebelumnya.Â
Kisah ini mirip dengan Greysia Polii, atlet bulu tangkis Indonesia yang juara berhasil meraih emas bersama Apriyani Rahayu. Kisah pilu pernah dirasakan dimana Greysia Polii harus didiskualifikasi pada gelaran Olimpiade London 2012. Namun dirinya membuktikan bahwa Ia bisa bangkit dan memperbaiki diri pada kompetisi berikutnya.Â
Terjawab bahwa kesempatan bisa datang dilebih dari 1 kali. Ada banyak kisah inspiratif di mana seseorang bisa menjadi juara justru setelah mengalami kegagalan berulang kali. Abraham Lincoln dapat menjadi contoh sederhana.Â
Lincoln harus merasakan kegagalan berulang kali saat ingin menjadi anggota senat Amerika Serikat. Dirinya pun mengalami kegagalan berulang kali juga saat mencoba menjadi Calon Presiden AS.Â
Nyatanya dirinya membuktikan diri dan berhasil mewujudkan mimpinya sebagai anggota senat dan kemudian Presiden AS ke-16 meski bukan di kesempatan pertama.Â
Saya teringat dulu gagal menjadi juara dalam ajang lomba baca puisi di tingkat universitas. Namun saya percaya bahwa akan ada prestasi lain yang bisa saya raih.Â
Terbukti setelah kegagalan tersebut, saya mengikuti lomba karya tulis justru bisa menjadi juara dalam ajang tersebut. Artinya ketika 1 pintu tertutup akan ada pintu lain yang terbuka untuk kita.Â
***
Kalah memang bukan sesuatu yang ingin dirasakan oleh seseorang khususnya ketika berkompetisi. Namun dalam kompetisi tentu akan ada yang jadi juara dan sisanya harus lapang dada sebagai pihak yang kalah.Â
Mental siap kalah harus tetap ditanamkan dalam diri seseorang. Kalah saat ini bukan berarti akan menutup pintu keberhasilan selamanya. Ini karena sudah banyak tokoh yang berhasil menjadi juara meski sempat gagal di kesempatan sebelumnya.Â
Pentingnya sikap siap kalah juga sebagai upaya preventif bagi seseorang agar tidak jatuh dalam kesedihan dan depresi berkepanjangan. Kekhawatiran sikap tidak siap kalah justru membuat psikis terganggu dan membuat orang mengalami ganguan jiwa.Â
Harapannya kepada siapapun yang tengah berkompetisi, jangan hanya menyiapkan diri untuk jadi juara tapi juga harus siap ketika kalah.Â
Semoga Bermanfaat
--HIM--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H