Masalah utang piutang memang sedikit sensitif di tengah masyarakat kita. Ada kalanya seseorang berada di kondisi kesusahaan dan membutuhkan bantuan orang lain dengan cara berutang.Â
Disisi lain ada pihak yang bersedia memberikan bantuan berupa utang untuk membantu mengurangi kesulitan yang kita alami.Â
Ironisnya sering muncul perselisihan dari si pengutang dan pemberi utang. Ada kasus di mana si pengutang mengelak atau menunda pembayaran dari kesepakatan awal.Â
Di kasus lain ada pemberi utang justru memanfaatkan kondisi untuk kepentingan lain seperti memberi bunga tinggi dan sebagainya.Â
Hal tidak menyenangkan pernah terjadi pada saya sendiri. Maksud hati membantu rekan kerja karena mengalami kesulitan ekonomi. Nyatanya rasa empati yang saya berikan melalui pinjaman berujung penyesalan dan kekecewaan.Â
Uang pinjaman tidak kembali, hubungan pun menjadi bermasalah. Saya akhirnya memilih memblokir kontak dan mengikhlaskan apa yang sudah saya pinjamkan.Â
Belajar dari hal tersebut serta pengalaman serupa yang dialami oleh orang-orang sekitar. Saya menyadari ada kesalahan sistem utang-piutang yang kerap kita lakukan. Kesalahan inilah yang biasanya memunculkan masalah dikemudian hari. Apa saja itu?Â
1. Kesalahan Kaprah Istilah Pinjam dan Minta
Beberapa hari lalu, adik bungsu saya curhat tentang kekesalan dirinya karena ada kerabat yang chat padanya untuk pinjam sejumlah uang. Adik saya secara gamblang menekankan isi chat apakah pinjam atau minta dan jikalau pinjam kapan akan dikembalikan.Â
Sekilas saya pikir adik saya terlalu kaku karena sejatinya kerabat saya ini masih usia sekolah. Pastilah dia belum mampu jika mengembalikan uang pinjaman. Artinya istilah pinjam hanyalah kata pemanis dari niat meminta. Apalagi nominal yang hendak dipinjam tidak terlalu besar.Â
Adik saya memberikan pandangan yang membuka pikiran saya. Baginya minta dan pinjam adalah kata yang berbeda makna. Jika meminta maka si peminta tidak ada kewajiban untuk mengembalikan dan si pemberi pun sudah ikhlas uangnya diberikan pada orang lain.Â
Istilah pinjam maka si penerima ada kewajiban untuk mengembalikan dan si pemberi pun masih berpikir jika uang/barang akan kembali suatu saat nanti.Â
Ini adalah kesalahan dasar yang kerapkali terjadi di sekitar kita. Adik saya seakan menekankan bahwa jika memang susah untuk mengembalikan maka sebaiknya jangan pakai istilah pinjam.Â
Meskipun tidak sedikit diantara kita sungkan menggunakan istilah minta karena berkaitan dengan harga diri. Namun penggunaan istilah pinjam yang salah kaprah inilah membuat polemik utang-piutang menjadi runyam.Â
Pada kasus ini juga saya belajar bahwa kita perlu memahami kembali perbedaan kata pinjam dan minta. Saya pun pernah dikondisi uang kurang seribu rupiah saat membayar suatu barang.Â
Saat itu ada teman yang membawa uang lebih. Saya pernah langsung bilang, boleh minta gak uang seribu rupiah karena uang yang saya bawa kurang.Â
Nyatanya teman saya tetap membantu. Kenapa saya to the point memilih minta daripada pinjam? Sebagai manusia biasa, adakalanya saya dihinggapi rasa lupa apalagi nominal yang dipinjam tidak terlalu besar.Â
Saya takut ketidaksengajaan saya lupa terhadap utang yang nominal tidak besar justru berdampak pada hubungan pertemanan atau bahkan bisa jadi pemberat kita di akhirat ini.Â
Jikapun suatu saat saya teringat pernah dibantu oleh teman saat kekurangan uang. Saya mungkin akan mengganti dengan cara berbeda seperti mentraktirnya makan.Â
2. Terlalu Berlandaskan Kepercayaan
Bukan rahasia umum lagi jika kita sebagai masyarakat budaya timur selalu mengutamakan kepercayaan pada kerabat, teman atau orang lain. Nyatanya ini justru menjadi suatu kesalahan lain dalam utang-piutang karena segala hal bisa berpotensi merusak kepercayaan.Â
Ada kakak yang meminjamkan sejumlah uang pada adiknya karena percaya adiknya tidak akan tega membohongi si kakak.Â
Ada seseorang yang meminjamkan barang kesayangannya pada sahabat karena berlandaskan rasa percaya pada teman yang sudah terjalin bertahun-tahun. Tanpa terduga kepercayaan yang diberikan berbanding terbalik dengan realita kedepannya.Â
Adik merasa tidak perlu membayar pinjaman kakak karena mengganggap sebagai saudara harus saling membantu. Sahabat yang enggan mengembalikan barang yang dipinjam karena merasa seharusnya sesama sahabat tidak usah hitung-hitungan dan pelit.Â
Kita perlu belajar bahwa sifat manusia itu dinamis artinya bisa berubah setiap saat. Saat ini mungkin bisa dipercaya namun setahun atau beberapa tahun kemudian berubah menjadi sosok yang susah dipegang omongannya.Â
Sebaiknya terkait utang-piutang jangan terlalu berlandaskan rasa kepercayaan. Jangan sampai muncul istilah air susu dibalas dengan air tuba. Rasa percaya yang kita berikan dibalas dengan rasa kekecewaan dan penyesalan.Â
3. Tanpa ada Jaminan atau Penjamin
Kesalahan lainnya adalah memberikan pinjaman tanpa ada jaminan atau penjamin seandainya kelak utang-piutang menjadi masalah.Â
Saya pernah seorang teman meminjam sejumlah uang dan menawarkan handphone-nya sebagai jaminan. Mengingat dirinya adalah teman kerja, saya hanya memegang janjinya saja.Â
Ternyata saya menyesal tidak menerima barang jaminan. Teman saya ini selalu ingkar untuk membayar dan masuk kelompok Tarsok alias Bentar dan Besok ketika ditagih.
Dari sini saya belajar alangkah baiknya memang butuh barang jaminan atau setidaknya asa sosok penjamin jikalau ada masalah dikemudian hari. Usahakan barang jaminan mendekati jumlah pinjaman atau lebih setara dengan pinjaman agar kelak jika si pengutang tidak mampu bayar. Kita aman atau setidaknya tidak rugi banyak.Â
Adanya barang jaminan atau penjamin juga mampu menguatkan rasa tanggung jawab dari si pengutang untuk melunasi utangnya. Adakalanya kita bertemu dengan sosok yang ketika berutang memasang muka memelas namun ketika ditagih seakan masa bodoh.
Ini karena tidak ada sesuatu yang memberatkan dirinya untuk membayar. Namun jika kita punya jaminan, tentu si pengutang akan berusaha memenuhi tanggungannya agar jaminan tidak hilang atau malu dengan orang yang mau sebagai penjamin.Â
4. Tidak Ada Hitam di Atas Putih
Saya merasa segala hal piutang perlu disepakati secara hitam di atas putih atau ada kesepakatan jelas yang disetujui dan ditandatangi kedua pihak. Ini untuk mengamankan kedua belah pihak.Â
Di pihak pengutang, ada rasa aman jika utangnya tidak akan mengalami pembengkakan secara tiba-tiba karena sudah disepakati terkait bunga, masa perjanjian dan sebagainya. Selain itu bila si pengutang memberikan jaminan, akan ada keamanan bahwa jaminan tersebut tidak disalahgunakan atau diambil alih oleh si pemberi utang.Â
Di pihak pemberi utang akan ada kejelasan terkait kapan pembayaran, sistem pembayaran, jaminan bila ada dan hal-hal lain yang disepakati. Si pemberi utang pun berharap agar barang atau uang yang dipinjamkan bisa dikembalikan sesuai kesepakatan.Â
Adanya hitam di atas putih juga akan menguatkan posisi apabila ada salah satu pihak melakukan pelanggaran. Tentu jika dibawa ke ranah hukum akan ada landasan jelas terkait kesepakatan yang diketahui kedua belah pihak.Â
***
Saya merasa 4 hal yang saya jabarkan di atas seringkali menjadi kesalahan yang sering dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Sejujurnya saya juga pernah melakukan hal sama.Â
Namun berkaca pada pengalaman dan kisah orang lain terkait utang-piutang maka sebaiknya kita sudah punya upaya preventif dari sistem utang piutang yang tidak sehat.Â
Utang-piutang adalah aktivitas yang mengorbankan kepercayaan. Jangan sampai karena utang piutang, hubungan yang semula terjalin baik menjadi rusak.Â
Semoga Bermanfaat
--HIM--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H