Saya teringat 5 tahun lalu saat masih menjadi staff marketing executive di kantor. Tugas saya adalah melobi purchasing atau tim pembelian di perusahaan, instansi hingga pabrik untuk menawarkan pengadaan suatu produk.Â
Kegiatan ini menyenangkan karena saya bisa bertemu dengan orang baru, memiliki banyak relasi dan mengaplikasikan keterampilan saya di bidang sales dan marketing. Ada perasaan senang jika penawaran yang saya ajukan ternyata menarik bagi konsumen dan bisa closing sesuai harapan.Â
Suatu ketika saya diundang meeting oleh staff purchasing oleh suatu perusahaan swasta. Secara semangat saya menjelaskan product knowledge dan company profile perusahaan.Â
Hal tidak terduga, staff purchasing tersebut membuka obrolan, "Jika produk bapak bisa masuk ke perusahaan saya. Bapak mau kasih apa ke saya?"
Jujur karena saya tidak paham dengan polos menjawab, yah saya kasih produk dan jaminan produk sesuai dengan kriteria dan harapan bapak.Â
Ternyata oh ternyata yang dimaksud adalah undertable service, semacam berbagai hal pelicin atau ucapan terima kasih. Dapat berupa uang, barang atau fasilitas tertentu agar produk yang kita tawarkan bisa diterima dan digunakan oleh konsumen.Â
Manager saya mengatakan bahwa undertable adalah hal biasa dalam dunia kerja. Tidak semua karyawan bekerja secara profesional dan amanah. Masih banyak karyawan yang mencari pundi-pundi lain ataupun keuntungan lain melalui jalur pelicin.Â
Security di kantor saya memiliki istri yang memiliki usaha catering dan menawarkan usahanya kepada berbagai perusahaan atau pabrik yang menerapkan sistem makan siang bersama.Â
Dirinya bercerita unuk bisa lolos, dirinya harus memberikan undertable sebesar Rp 1.000 hingga Rp 2.000 per box kepada penanggung jawab konsumsi di perusahaan tersebut.Â
Bayangkan, misalkan perusahaan order 100 box per hari dengan meminta undertable Rp 2.000 per box maka uang yang harus disetor sebesar 200 ribu per hari. Jika dikalikan 25 hari kerja maka sudah bisa mendapatkan 5 juta rupiah per bulan. Jumlah fantastis di luar gaji yang diterima.
Manager marketing, atasan saya mengatakan bahwa undertable adalah hal biasa dalam dunia kerja. Bahkan dalam beberapa kasus khususnya berkaitan dengan tender besar, undertable sering terjadi untuk mempermudah proses pemenangan.Â
Pertanyaan pun muncul, apakah aman melakukan undertable?Â
Saya sadar bahwa undertable melanggar etika profesionalitas kerja bahkan bisa menjurus kriminalitas. Kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang menimpa banyak pejabat pemerintah oleh KPK menjadi bukti bahwa undertable sarat pelanggaran hukum dan bisa masuk tindakan KKN khususnya Kolusi.Â
Terlepas bahwa aktivitas ini berpotensi melanggar hukum nyatanya saya lebih mengkhawatirkan undertable dapat mempengaruhi psikis karyawan jangka panjang. Mengapa?Â
1. Berlawanan Dengan Hati Nurani
Seorang teman saya bercerita bahwa lingkungan kerjanya tidak bisa jauh dari aktivitas undertable. Profesinya sebagai marketing sebuah pengadaan penanganan limbah menargetkan konsumen potensial dari kalangan pabrik, pertambangan hingga instansi pemerintah.Â
Ironisnya untuk memenangkan tender pengadaan proyek penanganan limbah yang nominalnya sangat besar. Mau tidak mau, suka tidak suka akan ada aktivitas undertable. Teman saya merasakan sendiri bagaimana lobbying dilakukan dengan undertable.Â
Hati nuraninya berkata bahwa hal ini tidak benar, namun apa daya situasi menghadapkan pada kondisi tersebut. Ada gejolak yang dirasakan oleh teman saya yang notabanenya dididik dalam keluarga yang agamis.Â
Curhat dirinya bahwa ada dilema ketika harus melakukan undertable, namun disisi lain profesinya menuntut agar proyek tersebut harus deal karena ini berkaitan dengan performa dan tugasnya sebagai marketing. Apa daya kebutuhan hidup yang tinggi ditambah gaji dan tunjangan yang besar, dirinya terpaksa mengabaikan prinsip dirinya.Â
Kisah teman ini mengajarkan saya bahwa undertable mampu mempengaruhi psikis karyawan yang melakukannya khususnya mereka yang berusaha kerja dengan jalan lurus.Â
Saya tidak bisa menghakimi atau menyarankan mundur dari profesinya karena dirinya masih membutuhkan pekerjaan dengan gaji yang cukup serta saat ini susahnya mencari pekerjaan baru di tengah pandemi.Â
2. Berpotensi Adanya Stigma Uang Bisa Melakukan Segalanya
Saya masih sering menemukan orang yang memiliki stigma bahwa dengan uang, segala hal bisa dilakukan. Stigma ini bisa jadi terbentuk karena pengalaman seperti melakukan undertable untuk memuluskan tujuan dan ambisinya.Â
Stigma ini berbahaya karena ketika telah tertanam dalam pikiran bawah sadar maka kita akan berusaha mendapatkan segala sesuatu dengan jalan pintas.Â
Diterima kerja dengan undertable, ingin menang tender bisa dengan undertable, terjerat masalah diselesaikan dengan undertable dan sebagainya.Â
Ketakutan lainnya ketika banyak hal bisa dilakukan dengan undertable muncul asumsi bahwa selagi ada uang atau iming-iming sesuatu maka semua dapat diraih. Nyatanya masih ada orang yang memiliki prinsip kuat dan tidak tergiur dengan aktivitas undertable.Â
Saya ingat kisah Bapak Habibie yang menceritakan kisahnya saat menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek). Ada oknum yang mencoba memberikan sogokan agar tender pengadaan suatu barang/jasa di kementeriannya bisa diberikan kepada oknum tersebut. Nyatanya Bapak Habibie tidak tergiur bahkan tidak memilih oknum tersebut sebagai pemenang tender.Â
Ini tandanya ketika sudah ada stigma bahwa uang bisa melakukan segalanya, namun terbantahkan ketika bertemu dengan orang berprinsip kuat. Ini bisa menjadi tamparan keras bagi mereka yang selama ini hobi melalui jalur pintas khususnya undertable.Â
3. Memicu Perubahan Sikap Kerja
Mungkin seorang karyawan awalnya merasa dilema melakukan undertable untuk memuluskan kerjaan atau tujuan hidupnya. Namun seiring waktu bisa saja hal ini mengubah cara pandang dirinya.Â
Dalam dunia kerja kita sering mendengar istilah lahan basah khususnya divisi yang terkait dengan pembelian atau kerja sama dengan vendor.Â
Karyawan akan mengganggap bahwa kerja di divisi lahan basah sangat menjanjikan. Bisa jadi dari awalnya bekerja sebagai marketing akhirnya muncul niat pindah kerja ke lahan basah.Â
Awalnya memberikan undertable kini berharap mendapatkan undertable. Karyawan jenis ini belajar dari pengalaman bahwa tidak ada yang gratis di dunia ini. Ingin hasil instan maka harus ada pelicinnya.Â
Saya sering menjumpai karyawan yang awalnya menjadi sales atau marketing kemudian berambisi pindah ke bagian purchasing. Tujuannya karena merasa divisi ini lahan basah untuk mendapatkan pundi-pundi lain.Â
Perubahan sikap kerja lainnya dapat berupa menurunnya integritas kerja. Jika dulu ingin bekerja semaksimal mungkin untuk perusahaan seperti mencari vendor yang sesuai spesifikasi yang dibutuhkan kini bisa "dibantu" apalagi ada vendor yang tidak memenuhi kriteria selagi ada undertable.Â
***
Entah kenapa undertable sangat susah dihilangkan di sekitar kita? Nyatanya undertable justru mencederai integritas dan profesionalitas kita dalam bekerja.Â
Saya salut pada perusahaan yang mampu menciptakan atmosfer kerja yang menjauhkan karyawan dari undertable. Bahkan memberikan sanksi tegas pada karyawan ataupun vendor yang melakukan aktivitas undertable demi memuluskan suatu tujuan.Â
Berharap pola kerja sehat bisa kian digalakkan agar tidak mempengaruhi psikis karyawan ingin bekerja selurus mungkin.Â
Semoga Bermanfaat
--HIM--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H