Olahraga adalah salah satu media pemersatu masyarakat. Saya ingat betul ketika ada pertandingan Piala Dunia yang disiarkan malam hari. Suasana di sekitar kampung tempat saya tinggal terasa senyap. Kendaraan yang berlalu lalang hanya hitungan jari, suatu hal yang jarang terjadi.
Ternyata masyarakat di tempat tinggal saya rela berdiam diri di rumah untuk berkumpul menonton pertandingan final piala dunia. Masyarakat yang tidak punya TV rela menumpang menonton di tetangga yang memiliki TV karena terlalu antusias menonton Final pertandingan sepak bola terakbar ini.
Suasana ini juga terulang ketika ada pertandingan olahraga favourite salah satunya saat Final Bulutangkis Tunggal Putra pada Olimpiade 2004. Final saat itu mempertemukan wakil Indonesia, Taufik Hidayat dengan wakil Korea Selatan Shon Seung-mo. Kemenangan Taufik Hidayat membawa euforia tersendiri bagi masyarakat yang menonton.
Keseruan dan ketegangan pertandingan olahraga tidak serta merta berasal dari pemain semata namun ada sosok kunci lainnya yaitu komentator. Peran komentator olahraga turut andil dalam menciptakan suasana ketegangan dan euforia bagi penonton.
Pernahkah sobat Kompasiana menonton pertandingan sepakbola namun perhatian tertuju pada gaya bahasa yang dilontarkan sangat komentator? Jika iya, maka kita ada dalam satu team yang sama. Hehe
"Ya pemirsa yang ada di rumah bisa kita saksikan Bambang Pamungkas melakukan blusukan ke kandang lawan. Menerima operan cantik dan mulai menggetarkan pertahanan lawan. Bambang Pamungkas bersiap melakukan tendangan antar benua dan dan dan (hening sebentar)...Jebreetttt, ah nyaris sekali tendangan Bambang Pamungkas ternyata gagal mengoyak gawang lawan. Sungguh peluang 24 karat yang tersia-siakan"
Saya mencoba meniru seorang komentator favourite yang sering langganan menghias pertandingan bola di salah satu stasiun TV Nasional. Saya ketika mendengar diksi kata yang digunakan memang menarik dan bahkan membuat saya tertawa terpingkal-pingkal.Â
Bagaimana tidak banyak sekali istilah yang terdengar lebay dan unik namun bisa membuat suasana tegang namun lucu dalam 1 momen yang sama. Sering muncul istilah baru yang tidak terduga dan bahkan terkesan hiperbola.Â
Saya ambil contoh ketika komentator mengucapkan blusukan ke kandang lawan. Waduh istilah blusukan kan populer ketika Jokowi menyapa warganya saat menjabat atau selama masa kampanye pemilihan Walikota Solo, Gubernur Jakarta hingga Presiden RI.Â
Kini istilah blusukan akhirnya disematkan sebagai tindakan pendekatan kepada pihak lain untuk melihat situasi/fenomena, menarik simPATI warga, mendengarkan keluh kesah dan memberikan solusi terhadap masalah yang ada.Â
Tidak heran kegiatan blusukan dianggap hal positif. Ada senyum sapa antara yang melakukan blusukan maupun orang yang dikunjungi. Jangan kaget ketika ada kegiatan blusukan oleh pejabat atau calon pemimpin pada masa kampanye, banyak warga antusias datang berbondong-bondong untuk menyampaikan aspirasinya.Â
Kini di ajang olahraga muncul istilah pemain melakukan blusukan ke kandang lawan. Saya membayangkan kalimat ini saja tertawa lucu.Â
Padahal jika kita menempatkan diri sebagai pemain bola maka tugas utama kita adalah datang ke tempat lawan dengan maksud mencetakan gol dengan tidak baik-baik. Saya garisbawahi dengan tidak baik-baik karena pemain akan langsung menendang bola sekuat tenaga tanpa permisi dulu kepada penjaga gawang.Â
Lucu rasanya jika benar makna blusukan muncul dalam ajang olahraga. Saya membayangkan seorang pemain menggiring bola kemudian saat tepat berada di depan gawang musuh. Dirinya mengeluarkan senyum manis ala acara blusukan dan bilang dengan sopan, permisi saya ijin menendang bola ya ke gawang kalian. Pasti itu hanyalah momen mustahil terjadi.Â
Entah kenapa ada istilah kandang lawan juga mengganjal di hati saya. Kandang identik dengan rumah hewan peliharaan seperti burung, ayam, kucing, marmut dan sebagainya. Terasa kasian sekali seorang kiper yang merupakan punggawa utama menjaga pertahanan team justru gawangnya dikatakan sebagai kandang. Jika kandang maka kiper dianggap sebagai hewan dong. Hehe
Apakah saya langsung menyalahkan komentator karena merusak tatanan bahasa Indonesia?Â
Saya tidak menyalahkan 100 persen karena sejatinya peran komentator olahraga saat ini ibarat memegang madu di tangan kanan dan racun di tangan kiri.Â
Memegang madu di tangan kanan ibarat apa yang disampaikan komentator olahraga dapat memancing rasa keseruan, ketegangan dan kelucuan dalam 1 moment yang sama.Â
Justru ini yang membuat acara pertandingan menjadi menarik karena penonton tidak hanya dipenuhi ketegangan dan kewas-wasan pemain idolanya kalah namun juga mendapatkan canda tawa karena aksi si komentator.Â
90 menit pertandingan bola bisa saja tidak akan terasa karena komentator pintar mengaduk perasaan penonton dan juga membuat penonton terhibur. Jika komentator tidak cerdik dalam bermain kata, situasi bisa membosankan dan bahkan penonton ngantuk serta memilih meninggalkan acara meski acara pertandingan masih berlangsung.Â
Disisi lain aksi komentator ini juga dapat menjadi racun yang membahayakan. Kenapa? Kita selalu mengajarkan adik, anak atau generasi muda untuk menggunakan kata atau kalimat dengan baik dan benar, mudah dipahami dan tidak menyalahi kaedah bahasa.Â
Nyatanya kata atau kalimat komentator justru mencederai usaha tersebut. Sangat disayangkan bila orang dewasa memilih diksi bahasa yang ambigu dan terkesan nyeleneh untuk acara yang disaksikan oleh berbagai kalangan usia.Â
Ada seorang anak kecil menonton pertandingan bola. Tiba-tiba si anak bertanya, Jebret itu apa ya? Tendangan antar benua itu apa ya? Tendangan LDR itu apa ya?Â
Jujur saja saya baru mendengar istilah itu ketika menonton olahraga dan sering diucapkan oleh komentator olahraga. Ketika saya jelaskan pun ada rasa mengganjal di hati karena istilah itu memang terasa asing dan tidak semua kondisi bisa diucapkan.Â
Kita sadar generasi muda saat ini sangat mudah meniru apa yang dilihat dan didengar. Ketika mereka mengganggap istilah nyeleneh itu menarik dan akhirnya meniru. Ini bukan kondisi yang bagus bagi perkembangan bahasa Indonesia.Â
Berapa waktu lalu sempat dihebohkan komentator olahraga menggunakan diksi kalimat yang menjurus melecehkan perempuan. Adapun ulasan komentator tersebut yang saya kutip dari berita online (klik disini) sebagai berikut.Â
Sementara kita lihat, ini dia, saya melihat ada sesuatu yang menonjol tapi bukan bakat, bung. Ada yang besar tapi bukan harapan, Bung Erwin,"
Saya saja sebagai kaum pria merasa ucapan kalimat sang komentator tidak terpuji karena kalimat tersebut terlontar ketika kameraman mengarahkan kamera ke penonton wanita di tribun.Â
Ini adalah contoh kecil dimana penggunaan diksi bahasa bisa menjadi racun yang tidak mendidik. Apalagi jika kata-kata komentator seperti ini ditiru oleh generasi muda yang tidak melakukan filter informasi dan nilai edukasi.Â
***
Profesi komentator olahraga memang memiliki peran yang berat dan besar. Selain dituntut untuk memberikan informasi dan menghidupkan suasana pertandingan namun disisi lain ada tanggung jawab moral serta edukasi yang patut dijaga.Â
Tidak ada salahnya jika tetap melakukan evaluasi terhadap komentar yang terlontar. Tujuannya agar bila terdapat diksi bahasa yang kurang baik agar bisa dikurangi atau bahkan diganti dengan diksi bahasa lain yang lebih baik. Harapannya agar lebih banyak madu yang dihasilkan daripada racun dalam setiap kata yang diucapkan.Â
Semoga komentator olahraga di Indonesia bisa semakin bijak dan berkarya positif untuk mendukung kemajuan olahraga tanah air.Â
Semoga Bermanfaat
--HIM--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H