Mohon tunggu...
H.I.M
H.I.M Mohon Tunggu... Administrasi - Loveable

Hanya orang biasa yang memiliki 1 hati untuk merasakan ketulusan, 1 otak untuk berpikir bijak dan 1 niat ingin bermanfaat bagi orang lain | Headliners 2021 | Best in Specific Interest 2021 Nominee

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Tips Mengalahkan Overthinking Atasan dalam Dunia Kerja

22 Maret 2021   10:07 Diperbarui: 23 Maret 2021   08:30 914
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia kerja selalu menghadirkan beragam kisah baik suka maupun duka. Salah satunya adalah memiliki atasan yang overthinking terhadap bawahannya. 

Alih-alih mengatasi hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, overthinking atasan membuat suasana kerja penuh ketidaknyamanan, selalu ada kecurigaan dan bahkan memberikan tekanan tersendiri sebagai bawahan. 

Pernahkah saya mengalaminya? 

Saya jawab pernah dan cukup menyakitkan menerima pemikiran negatif dari atasan. Suatu ketika Top Management mengonfirmasi terkait ada pemberian diskon khusus kepada distributor. 

Dirinya mencurigai jangan-jangan saya ada main dengan pemberian diskon tersebut. Saya jelaskan bahwa pemberian diskon tersebut telah dilakukan oleh manager sebelum saya dan saya sebagai manager pengganti hanya melanjutkan saja. Jika tidak percaya, silakan di audit. 

Saya pun diaudit oleh tim pusat dan nyatanya kasus pemberian diskon tidak terjadi penyimpangan. Bahkan pemilik distributor tersebut mengatakan sejarah adanya pemberian diskon tersebut sebagai rewards dari direktur utama perusahaan saya saat ada kunjungan ke cabang. Meskipun pemberian diskon ini tidak tertulis namun telah berjalan bertahun-tahun. 

Dari sini saya belajar bahwa atasan memiliki pemikiran tersendiri tentang kinerja kita dan bisa jadi pemikiran tersebut bersifat overthinking. 

Ilustrasi Karyawan Stres karena Overthinking Atasan. Sumber: claritychi.com
Ilustrasi Karyawan Stres karena Overthinking Atasan. Sumber: claritychi.com
Berdasarkan pengalaman yang saya terima serta belajar dari lingkungan kerja. Ada beberapa hal yang bisa kita persiapkan untuk mengalahkan beberapa overthinking atasan yang kerapkali muncul. Apa saja itu? 

Kok harganya mahal, jangan-jangan kamu mark up ya? 

Pertanyaan ini sering terjadi khususnya di bagian purchasing atau pembelian di sebuah perusahaan. Ketika disodorkan pengajuan pembelian kepada atasan seringkali muncul overthinking atasan seperti pertanyaan diatas. 

Apa yang harus saya lakukan? 

Ada kalanya harga barang atau jasa akan lebih mahal disebabkan suatu kondisi yang si atasan belum tahu. Misalkan membeli komponen mesin di Toko A, harga lebih murah tapi pembelian harus cash. 

Pembelian di Toko B harga agak mahal sedikit namun pembayaran bisa dilakukan dalam tempo 1 bulan. Adanya penjelasan yang detail dan beberapa pertimbangan bisa mengalahkan overthinking atasan. Selalu siapkan alasan pendukung setiap pengajuan pembelian agar terhindar dari pertanyaan tersebut. 

Purchasing di perusahaan saya selalu meminta penawaran minimal 3 vendor sebelum dilakukan pembelian. Ini guna mengantisipasi pertanyaan yang justru menyudutkan bagian pembelian. Ada kalanya penetapan vendor tidak selalu dilihat dari harga. 

Contoh lain sebuah pabrik ingin membeli mesin untuk produksi. Ada beberapa penawaran yang diterima seperti penawaran mesin dari Cina, Jepang, dan Eropa. 

Mesin dari Cina harganya memang dikenal murah namun komponen mesin susah dicari bila ada kerusakan, seringkali terjadi kerusakan dan sebagainya. Mesin dari Jepang atau Eropa harga pasti lebih mahal namun jarang rusak sehingga masa pakai lebih panjang serta komponen sparepart mudah dibeli. 

Bisa jadi pilihan jatuh ke Mesin Non-China. Alasan inilah yang harus diketahui oleh atasan. 

Jangan-jangan kamu keluyuran ya?

Pemikiran seperti ini sering ditujukan kepada mereka yang beraktivitas di luar kantor seperti sales, kurir, bagian pembelian, transportasi, dan sebagainya. 

Pertanyaan seperti ini kadang menyakitkan karena kita yang sudah susah payah di lapangan, stres terjebak macet namun dianggap keluyuran atau bepergian tanpa tujuan jelas di jam kantor. 

Saya teringat seorang rekan curhat kesal karena dianggap keluyuran oleh atasannya. Padahal dia bolak-balik koordinasi dengan beberapa pihak terkait urusan kerja. Pandangan overthinking seperti ini butuh bukti khusus untuk menjadi pembelaan diri kita. 

Apa yang harus saya lakukan? 

Teman saya menerapkan cara dengan menyeting kamera di ponselnya agar bisa menunjukan jam, lokasi, dan nama pemilik ponsel. Tujuannya ini menjadi bukti aktivitasnya sehari-hari. 

Bahkan rekan saya ini aktif membagikan rutinitasnya di lapangan di status WhatsApp (WA) tujuannya agar orang kantor terutama tahu sedang berada di mana dirinya, melakukan apa, dan bersama siapa. 

Saya mengganggap cara ini bisa ditiru karena dengan aktif membagikan rutinitas kita di lapangan akan meminimalisir pemikiran negatif yang mempertanyakan apa yang kita lakukan diluar kantor selama jam kerja. Ini karena di foto sudah tercantum lokasi, jam, dan pemilik foto secara otomatis. 

Siapa yang suruh lakukan ini? 

Pertanyaan ini sering dilontarkan atasan kepada bawahan ketika menemukan hal yang dianggapnya tidak sesuai. Saya pernah mendengar rekan kerja yang mendapat pertanyaan seperti ini dan kemudian menjawab, "Kan bapak yang suruh".

Respon yang didapat justru atasan semakin marah karena merasa tidak melakukan hal itu. Saya kasian melihat rekan kerja ini dan dalam hati berkata tidak mungkin dirinya melakukan suatu hal tanpa ada instruksi kerja. 

Apesnya dirinya tidak punya bukti kuat mengingat instruksi diberikan secara lisan. Kita tahu bahwa manusia sering lupa dan atasan selalu benar. Artinya ketika atasan pelupa, yang salah tetap anak buah. 

Apa yang harus saya lakukan?

Hingga saat ini ketika ada atasan menyuruh sesuatu saya selalu meminta dibuatkan surat perintah kerja (SPK). Tujuan agar instruksi jelas dan dapat dipertanggungjawabkan apabila ada suatu masalah dikemudian hari. Karena di sana tertulis jelas siapa yang memberikan instruksi, siapa yang menerima instruksi dan apa instruksi yang diberikan. 

Apabila di perusahaan tidak terbiasa menggunakan SPK maka kita bisa memastikan ulang instruksi melalui pesan chat. Saya menghindari via telepon karena susah jadi bukti. Semisal pembicaraan direkam, tidak semua orang bersedia hal pribadi direkam. 

Tujuan saya mengonfirmasi ulang instruksi via pesan singkat agar menjadi bukti bahwa saya mendapat mandat melakukan sesuatu dan apa yang saya lakukan karena perintah bukan keinginan saya sendiri. 

***

Dalam dunia kerja, banyak sekali persepsi negatif yang muncul. Atasan bisa overthinking terhadap kinerja atau hal yang diperbuat oleh bawahan. Kita sebagai bawahan juga harus pintar bukan untuk mengelabui namun menyampaikan bukti atau data untuk mengcounter pikiran negatif atasan. 

Mungkin ada pengalaman serupa yang dialami oleh pembaca Kompasiana yang bisa dibagikan. Semoga bermanfaat. 

--HIM--

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun