Bagaimana bagi mereka yang takut kegelapan?
Pertanyaan ini juga sering ditanyakan apalagi mengingat ada masyarakat yang takut beraktivitas dalam kegelapan. Selama yang saya tahu, kita memang dilarang untuk menghidupkan lampu atau penerangan. Namun dalam realitanya kita bisa menyiasati dengan berbagai cara.Â
Biasanya kami menutup lampu dengan kertas koran atau alat lainnya agar cahaya menjadi redup. Menutup semua lubang dalam rumah agar cahaya tidak tampak dari luar rumah. Jadi meski di dalam rumah lampu dihidupkan namun tidak terlihat dari luar rumah.Â
Masyarakat Bali pun memberikan toleransi selagi cahaya rumah tidak terlihat dari luar maka bukanlah masalah besar. Ini mengingat banyak warga yang memiliki bayi, lansia, anggota keluarga yang sakit atau memiliki ketakutan terhadap suasana gelap.Â
Tidak banyak aktivitas yang dilakukan saat malam Nyepi karena suasana di luar rumah gelap dan hanya bisa bercanda ria dengan anggota keluarga di dalam rumah. Nyatanya saya bisa tidur lebih awal sekitar jam 9 malam. Seakan tidak sabar untuk bisa beraktivitas normal besok harinya.Â
Ketika memasuki subuh sekitar jam 4-5 pagi. Anak-anak kecil banyak yang sudah berwara-wiri di jalan desa sambil menghidupkan petasan. Saya sudah menerka ketika mendengar petasan tandanya sudah pagi hari.Â
Saya pun seketika bangun dan melihat banyak orang mulai berlalu lalang. Meskipun sebenarnya aktivitas normal dimulai jam 6 pagi ditandai dengan dibukanya pelabuhan. Nyatanya masyarakat tetap terlalu antusias hingga melakukan euforia lebih awal.Â
Itulah kisah pengalaman pribadi saya merayakan Nyepi di Bali. Meskipun secara langsung saya tidak merayakan Nyepi namun sebagai bagian dari masyarakat yang tinggal di Bali.Â
Saya beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan tradisi dan kebiasaan Umat Hindu di Bali. Ini karena sikap toleransi sangat penting dan patut dijaga mengingat sikap ini mulai pudar di tengah masyarakat yang kian modern.Â
Semoga bermanfaat
--HIM--