Punyakah pengalaman tidak menyenangkan terkena tilang?
Saya akan jawab pernah dan mungkin mayoritas pembaca juga akan sependapat dengan jawaban saya. 3 Tahun lalu, saya ada keperluan membeli sparepart kendaraan di salah satu tempat di Jakarta. Saya pun berangkat bersama rekan kerja yang juga ada keperluan ke Jakarta dengan mengendarai mobil kantor. Kami sebenarnya belum terlalu hafal daerah Jakarta sehingga mengandalkan maps untuk mengarahkan kami ke lokasi tujuan dari Cibinong.
Pada saat arah balik pulang, tanpa disadari maps mengarahkan kami melalui sebuah jalan yang ternyata ganjil-genap. Mengingat kami tidak terlalu tahu daerah Jakarta dan mengandalkan maps sehingga dihadang oleh seorang oknum polisi yang tengah berjaga.Â
Kami mengakui salah karena masuk ke jalan yang tidak sesuai namun kami sudah menerangkan bahwa kami berdua buta daerah dan diarahkan oleh maps untuk melewati jalan tersebut. Oknum polisi itupun melihat sendiri gawai yang kami pasang tengah mengarahkan kami ke jalan tersebut. Namun tetap saja oknum Polantas tersebut memberlakukan tilang kepada kami.
Sejujurnya ada rasa dalam hati kenapa tidak ditegur dan diarahkan putar balik saja. Apalagi kami memang nyatanya tidak 100 persen kesengajaan masuk jalan tersebut. Mobil yang kami pakaipun berplat polisi luar Jakarta tapi apadaya kami diarahkan menuju ke pos polisi terdekat. Pasrah pasti, apalagi kami harus buru-buru balik ke kantor.
Apa yang terjadi?
Kami diberitahu kesalahan kami dan segala tetek bengeknya. Meskipun menyampaikan pembelaan tetap saja salah. Alhasil kami dikenakan sanksi di tilang. Namun hal menarik oknum tersebut menawarkan tilang di tempat atau tilang di pengadilan? Oknum itu pun menjelaskan perbedaan tilang di tempat atau tilang di pengadilan dengan detail.
Kami menjelaskan jika di dompet hanya ada uang Rp. 150.000. Kami pun diberitahu jika tilang tempat dikenakan denda maksimal Rp. 500.000. Nominal tersebut tergolong besar namun jika di tilang pengadilan pun kami tidak memiliki waktu untuk mengikuti prosesnya dan bisa kena tegur atasan karena terkena tilang.
Saya memohon maaf kepada aparat kepolisian yang mungkin membaca tulisan ini bahwa nyatanya di lapangan, banyak oknum yang menawarkan/ menerima jalan pintas yaitu Jalur Damai. Meskipun kami semua tahu bahwa jalur damai adalah cara yang salah dan bisa dikenakan sanksi hukuman yang berlaku namun ini banyak pihak yang memilih cara ini karena mengingat efisien waktu dan biaya.
Mengingat kami butuh membeli bensin untuk pulang Rp. 50.000 maka alhasil kami hanya memberikan Rp. 100.000 sebagai uang damai kepada polisi dengan cara unik yaitu memasukkan ke buku yang ada di meja. Setelah itu kami diarahkan untuk putar balik menuju jalan yang tidak terkena ganjil genap.
Saya belajar sesuatu bahwa aturan tegas terkair prosedur tilang menilang sudah ada namun di lapangan justru pelaksanaan bisa berbeda. Jalur damai masih sering terjadi dan patut dipertegas kembali.Â
Disatu sisi memang meringankan bagi si pelanggar karena biaya bisa ditawar sesuai kemampuan dan tidak perlu ada penyitaan surat-surat kendaraan. Disisi lain tetap ada ketakutan jika dijebak atau terkena perbuatan penyuapan. Ironisnya masih ada oknum yang menerima jalur damai ini.