Mohon tunggu...
H.I.M
H.I.M Mohon Tunggu... Administrasi - Loveable

Hanya orang biasa yang memiliki 1 hati untuk merasakan ketulusan, 1 otak untuk berpikir bijak dan 1 niat ingin bermanfaat bagi orang lain | Headliners 2021 | Best in Specific Interest 2021 Nominee

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anji yang Terlena dengan Title Pakar dan Prof

14 Agustus 2020   20:31 Diperbarui: 14 Agustus 2020   20:34 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya teringat saat kuliah tergabung dalam kegiatan Aslab Sosial di Jurusan. Saat itu Aslab diminta untuk mengadakan seminar ilmiah nasional dengan beberapa pembicara dimana salah satu pembicaranya adalah dosen di jurusan.

Topik yang diangkat adalah terkait kondisi politik dan ekonomi Timur Tengah seiring konflik Israel-Palestina. Kami pun membuat poster kegiatan dan memasukan foto beberapa narasumber termasuk dosen saya.

Saat itu kami memasukan title dosen dengan ditambah istilah Pakar Timur Tengah mengingat beliau juga pengajar mata kuliah kawasan Timur Tengah. Namun ternyata beliau menolak penggunaan title Pakar. 

Baginya gelar pakar sangat sakral dan hanya orang yang benar-benar Ahli dan atau teruji secara akademis yang boleh menggunakan title tersebut. Akhirnya beliau meminta dirubah menjadi pengamat karena lebih sederhana dan tidak terlalu beban moral dibandingkan istilah Pakar.

Disini saya belajar bahwa Pakar itu bukanlah title sembarangan karena dirinya harus benar-benar menguasai suatu bidang atau topik tertentu. Karena segala hal yang terlontar dari ucapan atau buah pikirannya adalah sesuatu yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan.

Ironis Anji seorang penyanyi dan juga public figure berusaha mengangkat hal sensitif terkait Isu Covid 19 dengan menghadirkan sosok Hadi Pranoto yang dianggap sebagai pakar medis.

Dalam akun YouTube Dunia Manji, Anji berusaha melakukan wawancara dan memperkenalkan Hadi Pranoto dengan sebutan Prof (Gelar Profesor dalam dunia akademis) yang juga bertindak sebagai Kepala Tim Riset Formula Antibodi Covid-19.

Prof Hadi (dalam penyebutan Anji) dianggap berhasil menemukan serum antibodi Covid19 dimana harga temuannya sangat terjangkau hanya belasan ribu rupiah.

Bagi saya orang awam, sungguh berita yang luar biasa dan membawa angin segar ditengah kegalauan masyarakat akan meningkatnya kasus penderita Covid19.

Namun setelah beberapa menit menyaksikan video tersebut, saya yang orang awam mulai menaruh kecurigaan. Ada beberapa hal yang membuat saya meragukan statement bapak Hadi. 

Pertama, dirinya diperkenalkan sebagai Prof namun tidak menjelaskan secara detail instansi yang dinaungi. Misalkan apakah mengajar di salah satu perguruan tinggi, atau di lembaga riset khusus misalkan LIPI, BPOM, atau lainnya. Dirinya hanya menyatakan bertindak sebagai kepala tim riset Formula Covid19.

Kedua, tidak adanya pemaparan riset yang dilakukan. Bagi orang yang berkecimpung dalam dunia riset pasti paham prosedur melakukan riset. Sederhana jurnal atau publikasi ilmiah yang menjadi landasan riset, metodologi riset yang digunakan hingga prosedur yang digunakan.

Saya bukanlah orang dengan background medis namun setahu saya untuk menguji penemuan obat atau antibodi biasanya dilakukan eksperimen kepada hewan terlebih dahulu baru kepada manusia. Namun Bapak Hadi tidak menjelaskan hal tersebut secara detail. Inilah yang membuat saya ragu akan pernyataan beliau.

Saya orang awam saja ragu lalu kenapa Anji sebagai si empunya akun YouTube dan sekaligus host yang melakukan wawancara justru kecele.

Saya percaya 100 persen Anji memiliki background pendidikan baik. Terlihat dari cara bicara dan penyampaian, saya berpikir bahwa Anji adalah sosok cerdas. Terbukti hasil pencarian di internet, Anji lulusan Universitas Indonesia yang notabane-nya kampus terbaik di Indonesia.

Kembali pada sosok Hadi, Anji terbukti tertipu dengan penyematan gelar Prof dan Ketua Tim Riset. Meskipun dalam beberapa media, Anji mengakui kesalahannya dan sempat menaruh curiga saat melakukan wawancara. Namun dirinya sepertinya tidak menghiraukan kecurigaannya tersebut.

Terbukti wawancara tetap diupload tanpa mengedit pengucapan Prof ataupun ketua tim riset. Ini ibarat makan bumerang bagi Anji yang membuat dirinya menerima banyak kritik dan aduan dari masyarakat yang resah atas kanal YouTube tersebut.

Sosok Hadi pun kini mulai menjadi bulan-bulanan masyarakat. Satu persatu pernyataannya terbantahkan dimana title Prof ternyata bukan diraih dari akademis namun berdasarkan sapaan orang sekitar. Obat temuannya ternyata hanyalah obat herbal yang belum pasti mampu menyembuhkan Covid19.

Dunia medis pun gempar, semudah itu orang mencari keuntungan pribadi dari isu yang marak di masyarakat. 

Jika dosen saya saja tidak berani menggunakan title Pakar meskipun saya tahu persis dosen saya sudah berkecimpung lama pada isu tersebut namun tetap merendah dengan hanya mencantumkan pengamat. Justru muncul sosok Hadi yang ternyata masih awam namun sudah berani mengklaim Prof meskipub dikatakan hanyalah panggilan dari sahabat.

Saya ketika dipanggil Prof sepertinya akan malu karena sadar betul saya ini bukan siapa-siapa dan keilmuan saya sangat dangkal. Saya malah teringat dengan tulisan dari Prof Felix Tani.

Prof Felix bahkan mengatakan terlalu berat penggunaan istilah Prof yang melekat padanya karena muncul karena didapat dari sahabat-sahabat Kompasiana. 

Ini membuktikan bahwa sangat berat sekali memegang gelar Prof(esor) karena jejak digital akan selalu dikroscek baik dari latar pendidikan, kajian keilmuan hingga publikasi ilmiah yang dikeluarkan. 

Bahkan gelar Prof(esor) Honoris Clausa pun didapat karena kontribusi yang diberikan pada suatu bidang sudah diakui oleh banyak pihak. 

Dunia medis gempar dengan pengakuan Hadi yang mengaku berhasil menemukan obat Covid19. Bayangkan sekelas ilmuwan Cina dan AS saja masih dalam tahap 

pencobaan. Belum ada yang berani mengklaim antibodi Covid19 meskipun Cina infonya sudah dalam tahap pengujian ke manusia. Namun secara komersial belum dilakukan pemasaran.

Bahkan serum antibodi yang diklaim mampu menangkal Covid19 dengan harga terjangkau pun membuat saya bertanya-tanya. 

Benak hati saya mengatakan riset untuk menemukan obat itu pastilah mahal. Bahkan bisa milyaran bahkan triliunan rupiah.

Harga Rapid tes pun alatnya sudah ratusan ribu sangat berbanding terbalik dengan harga antibodi.

Saya personal menyayangkan keberanian Hadi dengan bangga disebut Prof dan seakan bertindak layaknya pakar medis yang ternyata hanya bualan semata. Semoga tidak ada lagi kasus seperti ini dikemudian hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun