Mohon tunggu...
H.I.M
H.I.M Mohon Tunggu... Administrasi - Loveable

Hanya orang biasa yang memiliki 1 hati untuk merasakan ketulusan, 1 otak untuk berpikir bijak dan 1 niat ingin bermanfaat bagi orang lain | Headliners 2021 | Best in Specific Interest 2021 Nominee

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lucunya Negeri Ini, Membeli Sepeda Terasa Murah dan Berkurban Terasa Mahal

28 Juli 2020   12:43 Diperbarui: 28 Juli 2020   12:56 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari raya Idul Adha 1441 Hijriah tinggal menghitung hari. Masa ini menjadi moment yang ditunggu oleh umat muslim di dunia termasuk di Indonesia karena ada tradisi berkurban bagi mereka yang mampu. 

Suasana Idul Adha tahun ini mungkin terasa berbeda mengingat masih berada di situasi pandemi. Banyak orang harus kehilangan pekerjaan karena PHK massal, usaha gulung tikar karena sepi pembeli, gaji tidak full karena adanya work from home, pendapatan menurun, hingga keadaan ekonomi yang tidak stabil. Kita paham betul bahwa pandemi ini memberikan hantaman keras  terhadap sendi perekenomian masyarakat.

Kondisi ini secara tidak langsung juga mempengaruhi kemampuan umat muslim untuk berkurban pada Idul Adha ini. Disekitar lingkungan saya, ada yang tahun lalu mampu berkurban 3 ekor kambing kini hanya berkurban 1 kambing. Sebelumnya berkurban 1 kambing kini memilih untuk tidak berkurban dulu dengan mempertimbangkan kemampuan finansial.

Secara nalar, kondisi ini akan terasa wajar karena bagi mereka yang terkena PHK atau pengurangan gaji pasti mempertimbangkan tabungan yang tersisa untuk bertahan hidup. Untuk makan esok hari saja mereka perlu menghitung sisa tabungan yang ada. Bagi mereka mungkin tahun ini belum bisa berkurban karena memang kondisi keuangan tidak memungkinan.

Hal lucu terjadi justru bagi mereka yang seakan-akan "miskin harta" dan menganggap efek pandemi membuat mereka tidak mampu berkurban. Ada istilah seakan-akan yang saya gunakan karena sebenarnya mereka masih mengganggap membeli hewan sangatlah mahal dan akan mengurangi sisa tabungan mereka.

Justru disaat pemerintah mengumumkan New Normal dan mengurangi pembatasan aktivitasi diluar rumah, masyarakat menumpahkan euforia dengan aktivitas yang mengeluarkan uang yang cukup banyak seperti ke mall, bertamasya, nongkrong, hingga membeli sepeda yang sempat menjadi tren di era New Normal.

Tren bersepeda sejak ada pemberlakuan New Normal seakan menciptakan budaya baru yaitu mari hidup sehat dengan bergowes ria. Boleh dikatakan bahwa terjadi perubahan gaya hidup dari yang semula beraktivitas dengan kendaraan bermotor kini kembali ke sepeda yang notabane-nya sempat ditinggalkan oleh masyarakat. Pamor sepeda ibarat kurva saham yang semula pada kondisi terpuruk namun naik meroket tajam secara tiba-tiba.

Banyak pesepeda awam yang membanjiri jalan raya saat pagi dan menjelang sore. Bahkan ketika acara car free day, justru kegiatan ini didominasi oleh para pengguna sepeda. Contoh sederhana terlihat pada banyaknya pesepeda pada kegiatan Car Free Day  di ibukota pada awal Juli lalu.

Jika saya boleh membuat persentase tujuan bersepeda saat ini, entah kenapa saya menilai hanya 30 persen yang bertujuan untuk hidup sehat sedangkan 70 persen sekedar untuk gaya-gayaan dan terkesan mengikuti saja. Terlihat banyak sekali postingan di sosial media terkait aktivitas bersepeda yang justru lebih mengarah kepada unsur pamer sosial dibandingkan olahraga.

Penjualan sepeda meningkat drastis ibarat kacang goreng. Begitu banyak masyarakat yang antusias membeli sepeda hanya untuk mengikuti tren. Sepeda bekas pun seakan bertebaran dipromosikan di beberapa akun belanja online maupun marketplace di sosial media.

Saya pernah membaca tulisan Kompasianer Ire Rosana Ullail tentang kisahnya berburu sepeda dari Depok hingga Jakarta yang sempat menjadi artikel utama di Kompasiana. Tulisan ini semakin menegaskan pernyataan saya di atas (berita lengkap klik disini). 

Saudari Ire menjelaskan bahwa harga sepeda melambung naik saat adanya tren ini bahkan sepeda lipat termurah dihargai 3 jutaan di salah satu toko sepeda. Bahkan banyak pembeli yang rela mengantri panjang hanya untuk berburu sepeda baru. Meski harga sepeda sedang melambung tinggi tidak mematahkan semangat para calon pembeli untuk membeli sepeda.

Saya pun sempat membrowsing harga sepeda baru melalui situs belanja online. Harganya sangat fantastis. Dulu jaman SMP saya teringat harga sepeda di kisaran 400-1 juta. Tapi kini harga sepeda gunung dewasa sudah mencapai harga diatas 2 juta. Sepeda lipat yang tengah populer diatas 3 juta. Bahkan merk sepeda terkenal Brompton M2L Black Titan tembus diangka 56 juta. Nominal yang sangat fantastis dan melewati 2 harga sepeda motor matic yang ada di pasaran.

Terkesan anomali ketika situasi pandemi yang membuat perekonomian terpuruk tapi masyarakat berlomba-lomba membeli sepeda baru hanya untuk mengikuti tren. Tingginya animo masyarakat terlihat dari banyaknya calon pembeli yang mengantri di toko sepeda hingga membuat stok sepeda kosong di beberapa toko menunjukkan bahwa masyarakat masih memiliki tabungan lebih untuk sekedar membeli sesuatu diluar kebutuhan pokok sehari-hari.

Ironisnya ini berbanding terbalik dengan situasi menjelang Idul Adha. Di dekat tempat tinggal saya terdapat pasar kurban dadakan yang hanya ada saat menjelang Idul Adha. Tahun lalu, pasar kurban ini ramai dikunjungi calon pembeli. Bahkan penjual hewan kurban berani datang dari luar daerah dan menyewa lahan kosong untuk memajang hewan kurban karena permintaan yang tinggi.

Beberapa hari ini saya melihat pasar kurban di dekat rumah saya tergolong sepi. Setiap saya melintas hampir tidak ada calon pembeli jikapun ada hanya hitungan jari dan sekedar mencari informasi terkait harga kurban. Ini juga terjadi di beberapa pasar kurban lainnya yang ada disekitar tempat tinggal. Artinya tahun ini jumlah hewan kurban akan menurun drastis karena masyarakat masih berhitung dengan isi tabungan yang ada. 

Kelucuan pertama ketika tren bersepeda tengah naik daun, mereka rela mengeluarkan tabungan untuk membeli sebuah sepeda baru. Jika dibandingkan harga sepeda lipat baru 3-4 jutaan ini sebanding dengan 1 ekor kambing jantan di daerah saya. Bahkan jika membeli jauh hari sebelum Idul Adha dapat terbeli 2 ekor kambing.

Kelucuan kedua yaitu masyarakat muslim sebenarnya paham bahwa hewan kurban akan menjadi kendaraannya saat di akhirat kelak. Artinya berkurban ibarat tabungan di akhirat yang akan membantu mereka menuju surga. Ini berbeda dengan sepeda yang saat ini hanya sekedar kendaraan untuk mobilitas namun seiring waktu akan usang, diabaikan dan akan dibuang. Otomatis sepeda hanyalah kendaraan sementara yang tidak abadi.

Kelucuan ketiga, masyarakat terkesan individualis. Memiliki sepeda baru dan bersepeda hanya akan menyenangkan dirinya sendiri. Orang lain hanya sebagai penonton. Berbeda dengan berkurban dimana kesenangan tidak hanya untuk dirinya sendiri namun orang lain yang menerima hewan kurban tersebut. Tetangga yang ada lain RT pun bisa ikut merasakan kesenangan dari hewan kurban yang dibeli. Artinya banyak orang yang akan bahagia dari aksi sosial kita namun masyarakat lebih memilih menyenangi dirinya sendiri dengan membeli sepeda.

Kelucuan keempat, masyarakat menilai sepeda 3 juta terlihat murah dibanding membeli kurban kambing dengan harga yang sama. Bahkan ada yang rela membeli sepeda Brompton yang bernilai puluhan hingga ratusan juta karena dengan membeli sepeda tersebut akan meningkatkan status sosial dan pamor dirinya. Jika mereka mampu membeli sepeda dengan harga tersebut berarti tabungan mereka pasti diatas itu.

Logikanya jika harga 1 sepeda lipat biasa sebanding harga 1 ekor kambing jantan maka 1 sepeda Brompton bisa digunakan untuk 2 ekor sapi atau bahkan belasan kambing untuk dikurbankan. Jika hewan kurban adalah kendaraan kita di akhirat kelak, bayangkan mengurbankan uang 1 sepeda Brompton maka kita akan mendapatkan belasan kendaraan yang akan mengantarkan kita ke surga. Namun nyatanya manusia lebih suka membeli Brompton dibandingkan 1 ekor sapi.

Kembali lagi pada diri individu masing-masing karena berkurban harus berasal dari niat individu. Jangan sampai berkurban ternyata tidak ada keikhlasan dalam dirinya. Tapi harapannya selagi mampu lebih baik warga muslim untuk menyisihkan tabungannya untuk berkurban. Jangan sampai membeli sepeda mahal sanggup tapi berkurban demi agama tidak sanggup.

Semoga bermanfaat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun