Mohon tunggu...
H.I.M
H.I.M Mohon Tunggu... Administrasi - Loveable

Hanya orang biasa yang memiliki 1 hati untuk merasakan ketulusan, 1 otak untuk berpikir bijak dan 1 niat ingin bermanfaat bagi orang lain | Headliners 2021 | Best in Specific Interest 2021 Nominee

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Keluarga Bukan Lagi Tempat Teraman, Apa yang Harus Dilakukan?

23 Juli 2020   23:07 Diperbarui: 24 Juli 2020   06:19 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pelecehan Seksual Pada Anak. Sumber Teras Sulbar

Kita akan berpendapat bahwa keluarga adalah lingkungan teraman. Setiap anggota keluarga akan saling menjaga satu dengan lainnya. Saya pun berharap seperti itu namun kita janganlah berpikir terlalu naif.

Masih ada kisah dimana keluarga justru menjadi lingkungan yang menakutkan khususnya bagi mereka yang pernah atau sedang mengalami kekerasan dan pelecehan seksual yang dilakoni oleh anggota keluarganya.

Saya akan mengambil 2 kisah yang dapat kita jadikan pembelajaran. 

Kisah pertama, kasus pemerkosaan ayah terhadap anaknya di Blitar. Diberitakan bahwa sang ayah tinggal bersama anak gadisnya pasca bercerai dengan istrinya. 

Sang ayah tidak dapat menahan hawa nafsunya karena sudah lama ditinggalkan istri. Kondisi ini akhirnya membuat dirinya tega memperkosa anak gadisnya sejak anaknya duduk di kelas 6 SD dan telah berlangsung selama 3 tahun. Bahkan ayah tidak segan memukul anak jika menolak ajakan berhubungan badan. Berita lengkap klik disini.

Kisah kedua, seorang ibu tega menjual anak gadisnya yang masih SMP kepada pria hidung belang. Kejadian ini juga terjadi di Blitar, Jawa Timur. Sang ibu menawarkan anaknya kepada pria hidung belang seharga seratus ribu rupiah.

Kejadian ini terungkap setelah warga merasa kasihan mendengar kisah sang anak dan akhirnya kasus ini dilaporkan ke pihak berwajib. Berita lengkap klik disini.

2 kisah ini saya angkat sebagai gambaran bahwa orang terdekat dalam keluarga bisa menjadi sosok yang menakutkan. Ayah yang bertugas melindungi bisa tega melecehkan anak; ibu yang harusnya menyayangi justru tega memperdayai anak; ataupun kakak yang seharusnya memberi contoh yang baik justru sebaliknya mencontohkan hal buruk.

Pada 2 kasus diatas saya belajar bahwa ada banyak faktor mengapa kasus pelecehan anak banyak terjadi di lingkungan keluarga. 

Pada kasus pertama, pelecehan terjadi karena faktor seksualitas ayah yang tidak terpenuhi. Suami yang berpisah dengan istri pasti akan merasa kesepian. 

Kondisi ini semakin diperparah ketika sang ayah tidak dapat menahan hawa nafsunya ketika berada dekat dengan anak gadisnya. Inilah yang memicu ayah tega memperkosa sang anak.

Kasus kedua menjelaskan kepada kita bahwa faktor ekonomi pun bisa menjadi pemicu. Sang ibu menjual anaknya kepada pria hidung belang karena kondisi ekonominya yang terpuruk.

Kasus ini sering terjadi di masyarakat yang tinggal di daerah pemukiman atau pedesaan dengan pendapatan tergolong rendah.

Sebenarnya kasus ini sering terjadi di India atau negara berkembang dimana orang tua menjual anak gadisnya untuk mendapatkan uang. Selain itu juga ada yang menjual anak gadisnya agar beban keluarga berkurang.

Tidak hanya itu masih ada faktor lainnya yang ikut berpengaruh. Seperti dibawah pengaruh obat dan minuman keras. Kondisi ini membuat ayah atau saudara laki-laki tidak dapat mengontrol dirinya dan tega melakukan pelecehan seksual kepada anak/kakak/adik perempuannya. 

Seringnya menonton film dewasa juga bisa memancing tindakan ini. Ketika menonton film dewasa, hasrat bisa ikut terangsang dan niat untuk melampiaskan terasa tinggi. Akhirnya orang terdekat lah yang menjadi korban pelampiasan nafsunya tersebut.

Saya sangat prihatin terhadap perkembangan psikis korban pelecehan yang terjadi di lingkungan keluarga. Umumnya korban masih berusia kecil hingga remaja yang tidak berdaya.

Kasus pertama sang ayah akan tega memukul jika anaknya melawan menunjukkan bahwa anak adalah sosok lemah. Ketika mendapatkan ancaman atau tindakan fisik, mereka memilih menyerah dan diam. Mereka merasa tidak ada yang bisa dilakukan.

Saya teringat pada cerita junior saya yang merupakan konselor. Klien junior saya ini rata-rata adalah para wanita yang mengalami kekerasan rumah tangga dan pelecehan seksual. 

Saya pernah menulis masalah ini dalam artikel tersendiri. Tulisan saya terkait sexual abuse klik disini

Banyak korban pelecehan seksual memilih diam dan menjadikan kisahnya sebagai suatu kenangan buruk. Mereka tidak berani bercerita karena mengganggap ini adalah aib keluarga.

Tidak hanya itu korban tidak menemukan sosok yang dapat dipercaya. Ketika dirinya bercerita, bukan dukungan atau pembelaan yang diterima justru penghakiman dan penghianatan.

Penghakiman seperti menyalahkan korban seperti mengkritik cara berpakaian, sikap si korban, aktivitas si korban dan sebagainya.

Selain itu ketika dirinya bercerita pada satu orang. Dirinya berharap ada teman curhat dan berbagi. Justru kadangkala orang yang dipercaya justru menyebarkan kisah ini kepada orang lain sehingga makin banyak orang yang tahu kasus ini. Alhasil dirinya merasa malu dan kian terpuruk.

Saya kasihan dengan korban karena ketika melaporkan pun dirinya berada pada kedilemaan yang besar. Kedilemaan tersebut meliputi.

Pertama, ketika dirinya melaporkan kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh ayahnya. Kasus hukum akan bergulir, ayah ditetapkan sebagai tersangka. Permasalahan lain muncul ketika ayah selama ini menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga. Artinya jika ayahnya ditahan, tidak ada lagi yang akan membiayai keluarga.

Kedua, ini adalah aib keluarga. Sudah rahasia umum bahwa ketika kasus ini diketahui oleh publik maka nama baik keluarga akan tercoreng. Hal yang paling ditakutkan adalah gosip tetangga. Bila tinggal di daerah padat penduduk atau di kampung, satu berita akan cepat menyebar melalui pemberitaan mulut ke mulut. 

Gosip yang berkembang justru bisa dibumbui kisah lainnya sehingga keluarga korban menjadi malu dan senggan bersosialisasi dengan tetangga. Bisa jadi ketiak sebelum ada gosip. Keluarga sangat aktif bermasyarakat namun setelah muncul gosip, keluarga lebih banyak berdiam diri di rumah dan takut untuk bertemu orang lain.

Ketiga, penghakiman masyarakat. Bagi sebagian masyarakat, masalah ini dapat mencoreng nama desa tempat daerah tempat tinggal mereka. Penghakiman masyarakat juga sering terjadi seperti pengusiran, perusakan, hingga tindakan yang menyudutkan keluarga korban. Hal ini menjadi kekhawatiran sendiri.

Keempat, masa depan anak dipertaruhkan. Ketika berita anak gadis diperkosa maka korban akan khawatir dengan masa depannya. Dirinya khawatir apakah nanti pasangannya mau menerima pengalaman dan kisah hidupnya dimasa lalu. Bisa saja pasangan mundur ketika mengetahui kisah hidup si gadis.

Kelima, anak dikucilkan. Anak yang sebenarnya adalah korban justru mendapatkan cobaan lainnya berupa pengucilan. Pengucilan bisa terjadi dari keluarga besar yang malu ataupun dari lingkungan sosial disekitarnya. 

Butuh keberanian besar bagi si anak untuk melaporkan atau menceritakan pengalaman pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan keluarga.

Butuh dukungan dan peran serta keluarga, masyarakat, penegak hukum dan pemerintah untuk membantu memulihkan psikis anak dan menegakkan hukum. 

Ketika ada kasus ini terjadi di keluarga atau disekitar kita. Keluarga inti harus memberikan support bahwa semua akan baik-baik saja. Masalah ini bukan hanya beban si anak namun anggota keluarga lainnya menyakinkan bahwa mereka siap memikul beban tersebut. 

Ini penting untuk menumbuhkan kepercayaan diri anak dan kekhawatiran menilai dirinya menciptakan aib bagi keluarga.

Masyarakat perlu berpikir bijak dan terbuka. Anggaplah masalah ini pun bisa terjadi pada dirinya dan keluarganya sehingga tidak perlu menciptakan stigma negatif pada korban.

Saya percaya jika masyarakat mampu memberikan dukungan moril pada sinkorban. Korban pun akan mudah memulihkan tekanan psikis dan merasa masih ada banyak orang yang mencintainya.

Bagi penegak hukum dan pemerintah, saya harapkan bisa menggencarkan sosialisasi terhadap perlindungan bagi korban pelecehan seksual dan menjamin perlindungan hak privasinya. Jangan sampai data diri korban tersebar ke umum. 

Selama ini banyak lembaga pemerintah maupun swasta yang mengakomodir para korban pelecehan seksual. Namun tidak banyak orang yang mengetahui hal tersebut. Harapannya sosialisasi semakin digencarkan dan butuh pendamping ekstra terhadap korban 

Saya berharap tidak ada lagi kasus pelecehan seksual yang terjadi dalam keluarga. Orang tua adalah sosok yang paling dipercaya dan diandalkan bagi anak. Jangan sampai penilaian dan anggapan itu sirna karena hawa nasfu sesaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun