Mohon tunggu...
H.I.M
H.I.M Mohon Tunggu... Administrasi - Loveable

Hanya orang biasa yang memiliki 1 hati untuk merasakan ketulusan, 1 otak untuk berpikir bijak dan 1 niat ingin bermanfaat bagi orang lain | Headliners 2021 | Best in Specific Interest 2021 Nominee

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Ketika Sapaan "Gus" Lebih Memikat pada Pilkada di Jatim, Apakah Bentuk Dinasti Politik Nuansa Kearifan Lokal?

21 Juli 2020   20:48 Diperbarui: 23 Juli 2020   05:15 647
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gus Ipul dan Khofifah mendapatkan nomor urut pasangan calon di Pilkada Jatim.(KOMPAS.com/Achmad Faizal)

Saat ini pemberitaan terkait Pilkada serentak 2020 terus menjadi topik hangat di media pemberitaan nasional. Pemberitaan ini semakin menarik ketika istilah dinasti politik kembali digelorakan sejak netijen mencium aroma pendaftaran Gibran sebagai Bakal Calon Walilota Solo dan kini resmi diusung oleh PDI Perjuangan.

Saya pun sempat menulis artikel tentang keuntungan Gibran sebagai calon Walikota yang diusung oleh PDI Perjuangan. Artikel bisa diklik disini.

Sebenarnya istilah dinasti politik bukan hal baru dalam perpolitikan Indonesia. Setidaknya kita pernah mendengar dinasti politik Ratu Atut dimana banyak anggota keluarga hingga kerabat menduduki sektor penting di daerah Banten. 

Namun berdasarkan Mahkamah Konstitusi, dinasti politik bukan suatu pelanggaran hukum selagi dilakukan sesuai dengan proses yang benar seperti Pemilu ataupun Pilkada. Artinya Pencalonan Gibran pun tidak menyalahi hukum negara.

Pilkada Serentak 2020 akan menjadi perhelatan besar bagi 270 daerah di tanah air. Khusus Jawa Timur setidaknya ada 19 Kabupaten/Kota yang ikut terlibat dalam pesta pemilihan kepala daerah ini. Sebut saja Kota Surabaya, Kota Pasuruan, Sidoarjo, Gresik, Sumenep, Jember,Lamongan, Pacitan dan beberapa daerah lainnya.

Ada hal menarik dari tata kemasyarakatan di Jawa Timur. Kita tahu bersama bahwa Jawa Timur banyak memiliki Kota Santri yang melahirkan para pemuka agama hingga cendekiawan Islam yang memiliki kontribusi besar terhadap pengembangan masyarakat.

Bagi kalangan NU, muncul istilah Gus sebagai sapaan untuk sosok yang dianggap panutan dari sisi agama, hingga panggilan bagi anak laki-laki pemilik pondok pesantren atau tokoh Kyai kharismatik yang ada di daerah sekitar Jatim.

Kita pasti akrab dengan tokoh sapaan Gus yang berasal dari Jatim seperti Gus Dur yang juga mantan Presiden RI ke-4 ataupun Saifullah Yusuf, mantan Wakil Gubernur Jatim yang kerap disapa Gus Ipul.

Sapaan Gus akan sering terdengar di daerah seperti Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Malang, Jember, Gresik, Lamongan, ataupun Jombang yang banyak terdapat pendidikan pondok pesantren. Jangan heran seseorang dengan sapaan Gus akan disegani di tengah masyarakat khususnya dilingkungan pesantren.

Pada ajang Pilkada, banyak bermunculan kandidat calon kepala daerah yang memasang sapaan Gus di media kampanye seperti baliho,poster ataupun spanduk. Tujuan tidak lebih untuk meningkatkan minat pendukung muslim di daerahnya.

Berkaca pada Pilkada Serentak 2018, ada beberapa tokoh Gus yang mencalonkan diri sebagai calon Kepala Daerah di sekitar Jatim. Ada yang berhasil namun ada juga yang gagal.

HM. Irsyad Yusuf (Gus Irsyad) dan K.H. A Mujib Imron (Gus Mujib) adalah kandidat Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Pasuruan yang berhasil terpilih pada Pilkada Kabupaten Pasuruan 2018 kemarin. 

Jalan politik Gus Irsyad terbilang mulus karena dirinya adalah calon tunggal pada Pilkada Kabupaten Pasuruan. Sosok Gus Irsyad dan Gus Mujib memang sudah dikenal dan merupakan pengurus salah satu pondok pesantren membuat dirinya disegani di Kabupaten Pasuruan.

Mochamad Nur Arifin atau lebih dikenal Gus Ipin yang mendampingi Emil Dardak sebagai wakil bupati dalam Pilkada Trenggalek 2018 juga berhasil menjadikan mereka pasangan terunggul saat itu.

Kini Emil Dardak melanjutkan karir politiknya sebagai Wakil Gubernur yang menandakan Gus Ipin meneruskan estafet kepemimpinan Emil Dardak sebagai Bupati Trenggalek. Kini Gus Ipin juga menjadi bupati termuda di Indonesia saat ini.

Pada Pilgub Jatim 2018 pun memunculkan Gus Ipul sebagai calon gubernur melawan Khofifah Indar Parawansa. Sosok Gus Ipul yang memiliki pengaruh kuat di kalangan NU Jatim sekaligus pernah menjabat sebagai Wagub Jatim 2 periode membuat peta petarungan Pilkada Jatim saat itu sangat sengit.

Meskipun harus diakui Ibu Khofifah lebih unggul dibandingkan Gus Ipul namun setidaknya Gus Ipul telah menjadi pesaing kuat bagi Ibu Khofifah. Terbukti suara yang diperoleh Gus Ipul mencapai 46,45 persen saat itu.

Kini menjelang Pilkada Serentak 2020 di Jatim pun saya melihat banyak poster dan baliho bakal calon Bupati/Walikota yang menyematkan sapaan Gus. Ini menandakan bahwa Gus masih memiliki posisi penting dalam tatanan masyarakat di Jatim.

Saya pun sekilas bertanya, apakah ini termasuk dinasti politik dengan kearifan lokal? Jika berkaca pada kasus Gibran yang terpilih sebagai Calon Walikota Solo dari PDI Perjuangan yang dianggap penerus Jokowi di Solo serta tirani kekuasaan pada masa Ratu Atut di Banten memang agak berbeda dengan kasus Gus di Jatim.

Pada kasus Ratu Atut, banyak anggota keluarga beliau yang menempati posisi strategis di masa jabatan beliau sebagai Gubernur Banten.

Sebut saja Hikmat Tomet, suami Ratu Atut yang terpilih sebagai anggota DPR RI; Tatu Chasanah, kakak Ratu Atut sebagai Wakil Bupati Serang; Heryani, ibu tiri Ratu Atut sebagai Bupati Pandeglang; dan Andika Hazrumy, anak Ratu Atut yang menjadi anggota DPD.

Dinasti politik yang dibentuk dalam keluarga Ratu Atut memang terlihat jelas. Ini seakan ingin menampilkan betapa besarnya pengaruh keluarga Ratu Atut di Banten. Tidak heran anggota keluarga Ratu Atut terasa mudah mendulang suara saat Pemilu/Pilkada di Banten.

Pada kasus Gibran, dirinya baru sebatas calon Walikota Solo. Namun Jokowi sebagai ayah Gibran yang notabenenya adalah Presiden RI tentu menyita perhatian publik. Ditambah Jokowi adalah mantan Walikota Solo 2 periode. 

Stigma yang berkembang adalah pencalonan Gibran adalah upaya membentuk Dinasti Politik Jokowi di Solo. 

Jika pada kasus keluarga Ratu Atut dan Gibran kemunculan mereka dibayang-bayangi oleh sosok anggota keluarga yang tengah memimpin terkesan sebagai upaya pembentukan Dinasti Politik.

Kasus Gus di Jatim sedikit berbeda. Umumnya kandidat yang menggunakan nama Gus digunakan hanya untukmenarik minat pemilih khususnya dari kalangan NU. Ini mengingat pengaruh NU sangat kuat di Jatim.

Hal menarik pada peta perpolitikan di Jatim adalah pengaruh Kyai, pengurus Ponpes hingga tokoh agama dan lembaga Islam sangat besar.

Jangan heran para kandidat Calon Kepala Daerah di Jatim pasti akan melakukan safari mengunjungi Para Kyai berpengaruh di Jatim.

Selain meminta restu tentu saja kandidat mengharapkan dukungan dari Kyai tersebut. Ketika Kyai yang berpengaruh menyatakan dukungan terhadap salah satu calon, para pengikut Kyai akan juga mendukung calon yang diusung oleh Kyai tersebut.

Saya masih ingat saat dulu Gus Dur mencalonkan diri sebagai Calon Presiden RI pada Pilpres 1999 dan menjadi saingan Ibu Megawati saat itu.

Kyai dan tokoh agama menyatakan dukungan terhadap Gus Dur membuat banyak partai berbasis Islam pun memberikan dukungannya. Alhasil Gusdur menang terhadap Megawati saat penghitungan suara di MPR.

Penggunaan Gus seakan memberikan pengaruh bagi pemilih di Jatim untuk sekedar mencari tahu latar belakang dari kandidat tersebut seperti putra dari Kyai siapa, pengurus Ponpes mana, siapa aja tokoh pemuka agama yang mendukung dan sebagainya.

Ada cerita yang terjadi pada Pilpres 2019 kemarin. Ada beberapa rekan kerja di kantor yang dulunya adalah santri dari Ponpes terkemuka di Pasuruan. 

Pengurus Ponpes menyatakan dukungan terhadap salah satu calon Presiden di tahun 2019. Alhasil santri hingga alumni menyatakan ikut mendukung pasangan tersebut. Sebegitu besar dan kuatnya pengaruh pemuka agama tersebut.

Ada keyakinan saya bahwa penyematan Gus pada poster, baliho maupun media kampanye kandidat seakan menunjukan identitas dirinya bagian dari NU dan memiliki latar keluarga Ponpes.

Bagi santri ataupun mantan santri dari Ponpes asal kandidat tentu memiliki tanggungjawab moral untuk mendukung beliau.

Inilah yang saya anggap dinasti politik dengan kearifan lokal. Kearifan lokal dimana pendidikan Ponpes dan kehidupan sosial santri sangat mengakar kuat di Jatim. 

Ketika ada sosok keluarga Kyai/pemuka agama ternama yang maju sebagai kandidat. Mereka akan menunjukan dukungan sebagai tanggungjawab moral dan rasa senggan mereka terhadap Ponpes.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun