Dinasti politik yang dibentuk dalam keluarga Ratu Atut memang terlihat jelas. Ini seakan ingin menampilkan betapa besarnya pengaruh keluarga Ratu Atut di Banten. Tidak heran anggota keluarga Ratu Atut terasa mudah mendulang suara saat Pemilu/Pilkada di Banten.
Pada kasus Gibran, dirinya baru sebatas calon Walikota Solo. Namun Jokowi sebagai ayah Gibran yang notabenenya adalah Presiden RI tentu menyita perhatian publik. Ditambah Jokowi adalah mantan Walikota Solo 2 periode.Â
Stigma yang berkembang adalah pencalonan Gibran adalah upaya membentuk Dinasti Politik Jokowi di Solo.Â
Jika pada kasus keluarga Ratu Atut dan Gibran kemunculan mereka dibayang-bayangi oleh sosok anggota keluarga yang tengah memimpin terkesan sebagai upaya pembentukan Dinasti Politik.
Kasus Gus di Jatim sedikit berbeda. Umumnya kandidat yang menggunakan nama Gus digunakan hanya untukmenarik minat pemilih khususnya dari kalangan NU. Ini mengingat pengaruh NU sangat kuat di Jatim.
Hal menarik pada peta perpolitikan di Jatim adalah pengaruh Kyai, pengurus Ponpes hingga tokoh agama dan lembaga Islam sangat besar.
Jangan heran para kandidat Calon Kepala Daerah di Jatim pasti akan melakukan safari mengunjungi Para Kyai berpengaruh di Jatim.
Selain meminta restu tentu saja kandidat mengharapkan dukungan dari Kyai tersebut. Ketika Kyai yang berpengaruh menyatakan dukungan terhadap salah satu calon, para pengikut Kyai akan juga mendukung calon yang diusung oleh Kyai tersebut.
Saya masih ingat saat dulu Gus Dur mencalonkan diri sebagai Calon Presiden RI pada Pilpres 1999 dan menjadi saingan Ibu Megawati saat itu.
Kyai dan tokoh agama menyatakan dukungan terhadap Gus Dur membuat banyak partai berbasis Islam pun memberikan dukungannya. Alhasil Gusdur menang terhadap Megawati saat penghitungan suara di MPR.
Penggunaan Gus seakan memberikan pengaruh bagi pemilih di Jatim untuk sekedar mencari tahu latar belakang dari kandidat tersebut seperti putra dari Kyai siapa, pengurus Ponpes mana, siapa aja tokoh pemuka agama yang mendukung dan sebagainya.