Sekali lagi kata "menitipkan" terkesan halus meskipun sebenarnya lebih berupa penelantaran.
Sebisa mungkin saya mengusap air matanya. Saya paham bagaimana sakitnya perasaan seorang ibu yang harus bernasib seperti itu di kala senjanuya. Mungkin jika dirinya tidak memiliki anak dan harus tinggal di panti werdha. Dirinya masih menerima namun Mbah Iyem harus melihat langsung bagaimana anak-anaknya mengantarkan dirinya ke panti pada 4 tahun silam.
Tanpa penolakan terucap dari Mbah Iyem karena sadar dirinya hanyalah beban jika harus tinggal bersama. Inilah takdir hidup yang harus dijalani.Â
Satu kalimat dari Mbah Iyem seakan membuatku menangis. "Nanti kalo si Mbah meninggal, kamu datang ya. Doakan Mbah"
Mbah Iyem berkata seakan dirinya yakin ketika kelak dirinya dipanggil Sang Pencipta, anak dan cucunya tidak akan pernah datang untuk melayat apalagi berdoa untuk dirinya.
Apakah ada dosa berat yang pernah Mbah Iyem lakukan kepada tiga anaknya sehingga anak-anaknya menelantarkannya. Saya melihat Mbah Iyem adalah sosok yang baik dan peyayang. Ini pun diutarakan sama oleh teman-teman seusianya. Kecil kemungkinan jika dirinya keras dalam mendidik anak-anaknya.
Entahlah yang pasti tidak sepatutnya anak menelantarkan orang tua apalagi diusia senjanya.
-------------------------------------------------
Tutik dan Mbah Iyem adalah dua orang bernasib sama. Sama-sama ditelantarkan oleh orang yang dikasihinya. Tutik ditelantarkan oleh orang tuanya dan Mbah Iyem ditelantarkan oleh anak-anaknya.
Ini menjadi pengingat bagi saya, sudahkah saya yang beruntung ini bersyukur? Sudahkah saya berbagi kebahagiaan dengan keluarga yang ada di panti?
Ada kalanya saya ataupun sahabat kompasiana lebih suka merayakan kebahagian dengan nongkrong, berpesta, masak makanan enak ataupun pergi liburan yang intinya dapat membuat kita bahagia. Alangkah baiknya kini kita bisa juga membagi kebahagiaan kita untuk berkunjung ke sanak-saudara kita yang kurang beruntung di panti.