Pertanyaan yang membuatku sedikit kaget. Bahkan teman-temannya pun seakan tertegun dengan pertanyaan si Tutik. Seakan curahan hati terdalam terlontar saat itu juga.
Entah kenapa ekspresi si Tutik yang selama ini ku lihat cerita dan penuh kegembiraan ternyata menyimpan ketakutan masa depan dalam dirinya.
"Bisa, kamu pasti bisa seperti mereka. Makanya kakak-kakak disini untuk membantu mewujudkan mimpi kalian". Hanya perkataan itu yang bisa ku berikan saat itu. Itu adalah misi kami, membangun optimis anak meskipun mereka sadar bahwa nasib mereka saat ini tidak seberuntung anak-anak diluar sana.
-------------------------------------------------
Kisah lainnya saya bertemu dengan Mbah Iyem. Sesuai namanya usianya tidak muda lagi mungkin sekitar 78 tahun. Jika Tutik tumbuh berkembang di salah satu panti anak, Mbah Iyem harus menghabiskan sisa umurnya di Panti Werdha atau umumnya dikenal panti jompo. Mbah Iyem sadar sisa usianya tidak akan lama lagi dan jika Tuhan memanggilnya, dirinya harus siap meskipun harus dimakamkan oleh orang panti bukan keluarganya.
Mbah Iyem bercerita jika dulu dirinya adalah seorang guru SD di kampungnya. Memiliki 2 putra dan 1 putri sudah membuatnya bahagia. Ketika anak sulungnya menginjak bangku sekolah menengah, sang suami harus meninggalkannya terlebih dahulu. Sebisa mungkin dirinya berjuang menghidupi ketiga anaknya hingga akhirnya mereka dapat lulus di sekolah menengah. Cukup setidaknya untuk modal bekerja dan berjuang hidup.
Dirinya bangga, anak pertama bekerja di ibukota sebagai sales salah satu produk alat masak dan sudah berkeluarga dengan 1 anak. Putra kedua juga sudah berkeluarga, bekerja di perkebunan sawit di Kalimantan. Putri satu-satunya juga sudah menikah dengan 2 anak serta mengikuti suami yang juga berprofesi sebagai guru.
Mbah Iyem pasti bangga berhasil membesarkan putra-putri hingga mereka sudah mandiri dan berkeluarga. Itu harapan saya, namun tidak seperti itu. Mbah Iyem senang anak-anaknya bisa memiliki kehidupan yang layak dibandingkan mereka saat kecil. Namun nasib Mbah Iyem tidak seberuntung saya.
Ketika dirinya sudah pensiun, Mbah Iyem harus tinggal sendiri di rumah lusuhnya. Ketiga anaknya memilih hidup dengan keluarga masing-masing. Hampir setelah mereka menikah, tidak ada satupun yang datang berkunjung. Pernah sekali dirinya berkunjung ke anak pertama. Itupun hanya hitungan minggu dan dirinya harus menelan kepahitan. Putra-putrinya berubah sebegitu cepat.
Hal yang menyedihkan, ketika Mbah Iyem mengidap stroke ringan. Tak ada satupun dari anak-anaknya yang tergerak untuk merawatnya. Tak perlu dijaga, cukup datang memberi makanan sudah membuatnya bahagia. Perkataan itu terlontar lirih dan tanpa sadar air mata Mbah Iyem keluar mengingat kisah hidupnya.
Jika tidak ada tetangga, mungkin Mbah Iyem sudah meninggal. Sempat seorang tetangga menegur ketiga anaknya yang seakan tidak peduli dengan orang tuanya. Hal yang menyakitkan justru terjadi. Mereka sepakat untuk menitipkan Mbak Iyem ke salah satu panti Werdha di kotanya kini.