Lelaki gemuk di hadapanku duduk dengan menyandarkan punggung dan kepala di bangku. Kepalanya mendongak ke langit-langit seperti sedang menatap pelapon rumah. Kakinya diselonjorkan. Sesekali ia menghisap rokok yang tadi kutaruh di atas meja dengan menghembuskan asapnya kuat-kuat. Asap itu bergabung dengan udara malam dingin yang masuk melalui lubang angin geribik rumahku.. Sesekali pula ia mengangkat kepala dan membaringkan kembali pada bagian atas bangku tempatnya menyandarkan punggung.
Pakaian yang dikenakan terlihat mewah dan memang sejak aku mengenalnya, ia paling tidak suka mengenakan pakaian murahan ataupun pakaian bekas. Melalui sinar lampu tempel yang bergantung di geribik rumah dengan cahanyanya yang remang-remang, terlihat wajahnya penuh kegelisahan. Entah apa yang difikirkan oleh lelaki gemuk itu, tetapi yang pasti dan yang sering didendangkan ke telingaku adalah kata-kata "cacing jadi naga". Mungkin kata-kata itu yang selalu membuat dirinya selalu gelisah.
Mulanya aku tidak mengerti maksud kalimat itu, namun setelah ia menjelaskan, barulah mengerti. Maksud dari kalimat itu adalah, orang miskin yang menjadi kaya. Setiap kali ia mengutarakan kalimat itu, selalu saja disertai dengan tawa bulat penuh ejekan yang menggelegar.
"Lihat saja nanti," katanya seperti berkata pada diri sendiri, "Aku akan buktikan bahwa aku bisa jadi orang kaya." Malam semakin merangkak. Mimpi-mimpi telah mendatangi dan menjadi bunga tidur bagi setiap insan yang mengisi malam itu dengan sebuah peristirahatan sementara. Hewan-hewan malam bernyanyi meramaikan kesunyian pada lipatan malam. Sesekali kendaraan bermotor berlalu di luar rumah. Cahaya bulan purnama memberikan sedikit penerangan pada alam malam di luar rumah.
Lelaki gemuk itu kembali mengisap rokok dan menghembuskan asap rokok dengan beringas. "Nanti kalau saya punya mobil," ujarnya, "Akan aku beri gambar pada kaca bagian belakang berupa, sebelah kiri seekor cacing dan sebelah kanannya seekor naga."
"Maksudnya?" tanyaku untuk menghangatkan malam yang dingin dan sesungguhnya aku sudah mengerti maksud kalimat itu.
"Ya supaya orang lihat, bahwa orang yang memiliki mobil itu adalah orang miskin yang kini menjadi orang kaya. Cacing jadi naga...ha...ha...ha..." tawanya seolah-olah tidak menghiraukan aku yang sudah terlalu lelah mendengarkan ceramahnya. "Dahulu," kata-kata keluar dari mulutnya kembali bersamaan dengan asap rokok. Matanya berkedip-kedip sembari melihat lampu tempel yang sesekali bergerak bolak-balik karena tiupan angin yang masuk melalui pori-pori geribik rumahku. "Saya selalu berteman dengan orang-orang kaya. Ya kaya melalui duit orang tua mereka. Tapi ya apa boleh dikata, aku melakukan itu lantaran membutuhkan uang."
"Walaupun jadi babu mereka?"
"Ya tidak juga. Kadang-kadang aku juga seperti babu mereka. Tapi itu semua kulakukan untuk menyenangkan hati mereka. Selain itu aku juga butuh mereka."
"Misalnya?"
"Ya banyak contohnya. Makan, minum, tempat tinggal, dan rokok.. Kau kan tahu sendiri sejak saya semester pertama, sudah tidak punya apa-apa."
Dari kata-katanya itu, dalam fikiranku terbayang kisah sedih keluarganya. Ya... kalau dihitung-hitung, dia masih famili. Dia adalah anak kakak wanitaku yang tertua. Jadi, dia adalah keponakan. Dalam cerita sedih yang sedang diutarakannya padaku, aku tidak menghiraukan ceritanya itu-walaupun aku mengangguk-anggukkan kepala sebagai tanda bahwa aku memperhatikannya-melainkan mengenang nostalgia keluarganya.
Dahulu, dapat kukatakan kalau keluarganya adalah keluarga kaya. Papanya seorang supir perusahaan. Antar jemput penumpang dengan kendaraan elit. Kalau datang ke rumah kami, ia selalu membagi-bagikan uang kepada adik-adiknya, termasuk diriku. Mamanya seorang bidan. Kalau dipintai uang, begitu mudah memberi. Dengan demikian, menurut terkaanku, tampaknya mereka hidup dengan serba kemewahan dan hidup bahagia.
Namun barangkali sudah nasibnya, kemalangan menimpa keluarga lelaki gemuk di hadapanku. Papanya tabrakan. Mobil sedan yang dikendarainya di tabrak oleh bus dan truk. Bus menabrak bagian belakang dan truk bagian depan. Jadi, , posisi mobil yang dikendarai papanya lelaki gemuk di hadapanku berbentuk seperti perahu, bengkok, dan tidak lagi berbentuk mobil. Penumpangnya banyak yang meninggal. Papanya masih hidup, walaupun tubuhnya cacat. Bagian paha dan betis Kedua kakinya harus di amputasi beberapa senti karena ada kerusakan, lalu disambung kembali.
Sejak kejadian itulah, kesialan demi kesialan menimpa keluarganya. Harta habis untuk membiayai pengobatan papanya. Ketika dalam pengobatan, papanya begitu rajin beribadah. Sholatnya selalu tepat waktu. Namun ketika setelah sehat dan kembali menjadi supir-walaupun jalannya sudah tidak sempurna lagi, dan juga dahulu saat ia menjadi supir perusahaan-tidak lagi mengerjakan sholat. Bahkan ia pernah dijebak istrinya bermain serong. Sehingga akibatnya, ayahku menjual mobil itu dan papa lelaki gemuk di hadapanku menjadi seorang pengangguran tetap sampai kini.
Selain itu, mereka telah menjual rumah warisan milik ayah. Ayah begitu marah mendengar berita itu. Namun apa yang mau di kata, nasi sudah menjadi bubur. Dan kasih orang tua tidaklah sepanjang penggalan. Ayah mengikhlaskan semua itu. keluarga lelaki gemuk atau keponakanku ini pindah ke luar kota, tinggal di sebuah perkampungan yang kumuh dan terpencil. Keluarganya memulai hidup baru. Keponakanku ini tidak ikut mereka, tetapi melanjutkan kuliah dengan modal badannya sendiri; alias modal dengkul. Sejak berpisah, ia tidak mau menyusahkan keluarganya dan Ia bertekad, tidak ingin menyusahkan orang lain juga ingin menjadi orang yang sukses segala hal.
Dia, pemuda di hadapanku, pernah bercerita, sejak berpisah dengan keluarga, untuk biaya hidup dan biaya kuliah, terpaksa harus menjadi anak jalanan. "Aku menjadi agen malam, jual beli teve, bersahabat dan tinggal di rumah teman-teman yang berduit, bahkan aku pernah menjadi pacar seorang pelacur. "
"Apakah dengan demikian kau bisa hidup?"
"Ya seperti kau lihat sekarang," timpalnya sembari merentangkan kedua tangan, "Aku sudah punya motor bagus, punya pekerjaan, dan punya pacar anak orang kaya." Ia bangkit dari menyandarkan punggung seperti hendak bicara serius. "Om. Sepertinya nasibku ini bagus, walaupun banyak rintangan. Selain itu, apa yang terbersit dalam hatiku, suatu saat akan terwujud."
"Buktinya?" tanyaku.
"Dahulu aku ingin sekali punya jaket levis. Lama kelamaan bisa terwujud dan sekarang bisa kau lihat sendiri. Nii..." ia memegang jaket levis yang dikenakannya dan menunjukkan padaku. "Dahulu aku ingin punya tape, salon besar, kulkas, teve, VCD, kini sudah terwujud. Dahulu aku ingin naik motor dengan memakai jaket levis ini lengkap dengan HPnya, sekarang telah terwujud walaupun rentang waktunya lama. Selain itu, apabila aku melihat jalan yang belum pernah kulalui dan terbersit dalam hatiku ingin mengetahui ke manakah arah jalan itu, suatu saat pasti akan terwujud, kendatipun waktu untuk mewujudkannya cukup lama. Seperti..."
Ia myenebutkan jalan ini dan jalan itu, aku tidak tahu jalan-jalan yang dimaksudnya. "Kini aku sudah mengetahui ke manakah arah jalan itu. Sepertinya memang apa yang kuinginkan bisa terwujud, walaupun waktunya begitu lama."
Angin malam mendesir ke wajahku. Begitu dingin. Jam terus berdetak mengarungi waktu. Malam semakin senyap. Dan kantuk yang kutahan-tahan terasa terus merayuku untuk tidur. Namun bagaimana bisa tidur kalau dia terus memaksaku untuk mendengarkan ceritanya.
"Dan sekarang," sambungnya, "Aku punya keinginan menjadi orang kaya, punya mobil, dan aku bisa sedekah banyak."
"Jangan terlalu berambisi lah..." tangkisku sembari menguap panjang.
"Bukan terlalu berambisi. Itukan niat..."
"Kalau tidak terwujud di dunia, mudah-mudahan di surga kau akan memilikinya," aku memotong. Ia menjawab dengan rentangan tangan dan gerenyitan kening dengan mata menatap padaku. Seperti menunjukkan sikap putus asa.
"Ya kalau masih ada umur..." ucapnya lagi dengan nada menurun. Nada orang  putus harapan."
Kami terdiam cukup lama, lalu ia memecahkan keheningan kembali, "Heh...tapi emang teman-temanku salut denganku sekarang. Dulu mereka menyangka aku adalah orang yang tidak punya apa-apa, orang miskin. Sekarang setelah aku punya motor, HP, dan segala fasillitas yang kumiliki, mereka begitu terkejut melihatku. Ya... aku cukup mengatakan pada mereka "Cacing jadi naga!!!" dari pada kalian yang dari orang kaya menjadi miskin, alias naga jadi cacing. Ha...ha...ha..."
Ia terus bercerita ini dan itu tentang kisah dirinya tanpa menyadari kalau waktu terus merayap dan kantuk terus menerus memaksaku untuk tertidur. Tanpa kusadari, atau mungkin akhir kesadaranku malam itu, aku teringat pada obrolan dengan ibu, tentang mengapa umur keponakanku ini lebih tua empat tahun dariku. Hal itu lantaran, tutur ibu, "Ibu hamil tak terduga. Tahu-tahu sudah mengadung dirimu."
"Jadi diriku bukan anak yang diinginkan?" tanyaku waktu kecil dulu suatu ketika di sisi ibu sembari menikmati indahnya malam yang berbulan purnama.
"Eeet...bukan begitu, hamil atau tidaknya ibu, itu bukan urusan ibu."
"Lalu?"
"Urusan yang ada di atas sana!" ujar ibu sembari menunjukkan telunjuknya ke arah langit."
"Bulan?"
"Bukan."
"Lalu."
"Yang menciptakan kamu siapa?"
"Ibu dan ayah," jawabku.
Ibu menggelengkan kepala, "Bukan."
"Jadi siapa dong?"
"A..." ibu menggantungkan kata-katanya.
"Ya aku tahu," sergahku girang, "Allah...!" ibu tersenyum padaku lalu memelukku.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI