Angin malam mendesir ke wajahku. Begitu dingin. Jam terus berdetak mengarungi waktu. Malam semakin senyap. Dan kantuk yang kutahan-tahan terasa terus merayuku untuk tidur. Namun bagaimana bisa tidur kalau dia terus memaksaku untuk mendengarkan ceritanya.
"Dan sekarang," sambungnya, "Aku punya keinginan menjadi orang kaya, punya mobil, dan aku bisa sedekah banyak."
"Jangan terlalu berambisi lah..." tangkisku sembari menguap panjang.
"Bukan terlalu berambisi. Itukan niat..."
"Kalau tidak terwujud di dunia, mudah-mudahan di surga kau akan memilikinya," aku memotong. Ia menjawab dengan rentangan tangan dan gerenyitan kening dengan mata menatap padaku. Seperti menunjukkan sikap putus asa.
"Ya kalau masih ada umur..." ucapnya lagi dengan nada menurun. Nada orang  putus harapan."
Kami terdiam cukup lama, lalu ia memecahkan keheningan kembali, "Heh...tapi emang teman-temanku salut denganku sekarang. Dulu mereka menyangka aku adalah orang yang tidak punya apa-apa, orang miskin. Sekarang setelah aku punya motor, HP, dan segala fasillitas yang kumiliki, mereka begitu terkejut melihatku. Ya... aku cukup mengatakan pada mereka "Cacing jadi naga!!!" dari pada kalian yang dari orang kaya menjadi miskin, alias naga jadi cacing. Ha...ha...ha..."
Ia terus bercerita ini dan itu tentang kisah dirinya tanpa menyadari kalau waktu terus merayap dan kantuk terus menerus memaksaku untuk tertidur. Tanpa kusadari, atau mungkin akhir kesadaranku malam itu, aku teringat pada obrolan dengan ibu, tentang mengapa umur keponakanku ini lebih tua empat tahun dariku. Hal itu lantaran, tutur ibu, "Ibu hamil tak terduga. Tahu-tahu sudah mengadung dirimu."
"Jadi diriku bukan anak yang diinginkan?" tanyaku waktu kecil dulu suatu ketika di sisi ibu sembari menikmati indahnya malam yang berbulan purnama.
"Eeet...bukan begitu, hamil atau tidaknya ibu, itu bukan urusan ibu."
"Lalu?"