“Iya Di,” balas sedih Yanti, “Memang kemaren-kemaren aku dan Ari sudah membahasnya. Ia bilang kalau ia tidak naik kelas, maka harus pindah sekolah biar bisa naik kelas. Ayuk ngomel, dari mana ayuk mendapatkan uang untuk biaya pindah sekolahnya. Biaya makan saja kami susah. Ari bilang perasaanya bahwa ia bakal tidak naik kelas hanya lantaran kesulitan membuat laporan magang.”
“Sudah Yuk, tak usah diteruskan. Nanti kita lihat hasilnya, apakah Ari positif tidak naik kelas atau tidak? Saya coba dulu berembuk dengan orang-orang yang bersangkutan yang menyebabkan si Ari harus pindah sekolah untuk naik kelas.”
Matahari mulai bertengger ke ufuk Barat. Bunyi mengaji dari masjid-masjid menyambut buka puasa berkumandang. Tak lama terdengar suara orang mengucap salam di luar rumah Ardi. Siapa pula yang bertamu di detik-detik berbuka puasa ini, pikirnya. Pintu yang sudah terkunci, terbuka. Terlihat dua wajah memelas, Yanti dan anaknya, Ari. Karena Ardi sudah membuat janji dengan mereka. Mau tak mau harus mempersilahkan mereka masuk ke dalam.
“Kamu masih niat sekolah tidak Ri?” selidik Ardi langsung setelah mempersilahkan keduanya duduk.
“Masih Pak,” jawab Ari pelan lalu menunduk kembali.
“Jangan panggil Pak di rumah, panggil Om atau Mamang saja,” tangkis Ardi. Ari mengangguk. “Om ulangi, kamu betul-betul mau meneruskan sekolah di situ?”
“Iya Om.”
“Baik, kalau memang kamu betul-betul ingin menyelesaikan sekolahmu. Begini, om mempertaruhkan nama om di sekolah. Jadi kalau seandainya kamu nanti tetap bersekolah dan naik kelas di situ, tolong jaga nama baik kita. Baik kelakuan kamu, baik namaku dan keluarga kita di kampung kita. Begitu pula sebaliknya. Ada berapa pelajaran yang belum kamu selesaikan?”
“Lima Om.”
“Kata dewan guru tadi enam?”
“Satu sudah saya selesaikan Om,” jelasnya. Ardi membatin, dari situ saja sudah terlihat kemauannya untuk tetap bersekolah. “Kemudian remedial Olahraga, ama Pak Naspon, remedialnya dia suruh saya beli catur.”