Mohon tunggu...
Indra Jatmiko
Indra Jatmiko Mohon Tunggu... -

freelance writer http://all-side.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Surat untuk yang (Merasa) Terhormat

4 Juni 2010   02:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:46 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Jakarta, 14 Agustus 2009

Kepada Anda Yang Merasa Terhormat
Di Tempat Yang (dirasa) Terhormat

Dear Anda,

Dengan penuh air mata kutuliskan surat ini pada anda. Pada anda yang telah menghilangkan nyawa tak berdosa. Tanpa kesalahan. Tapi anda telah membunuhnya. Ya, anda! Anda yang berjas. Anda yang berdasi. Anda yang menggunakan hak tinggi. Setinggi kesombongan hati anda.

Anda yang sedang membaca surat ini, mungkin kaget. Karena tiba-tiba mendapati surat dari seseorang yang tidak dikenal dan kemudian orang tersebut memaki-maki anda. Dan menyalahkan anda. Anda yang merasa tidak bersalah. Meskipun pada dasarnya, anda sangat amat bersalah.

Entah, apakah saya harus menyebut anda “Bapak Yang Terhormat” atau tidak. Tapi, saya merasa seharusnya anda tidak terlalu dipuji dan dipuja. Karena dimata saya, anda sama seperti masyarakat Indonesia yang lainnya. Bukan yang terhormat. Karena, anda bukanlah segala-galanya. Lagipula, lepas dari masa jabatan, anda pun akan dibuang.

Seharusnya anda berpikir. Anda memiliki masa jabatan. Dan anda, pasti, akan segera dilupakan. Seperti yang sudah-sudah. Namun, mengapa anda tetap bersikap demikian angkuh. Terlena.

Langsung saja saya ke inti permasalahan yang menjadi alasan saya mengirim surat ini pada anda.

Anda punya istri bukan? Anda punya anak? Bagaimana rasanya? Tentunya sangat membahagiakan, betul tidak? Saya pun demikian. Saya telah menikah beberapa tahun yang lalu. Tepatnya dua tahun yang lalu. Meskipun umur pernikahan saya, namun saya sangat bahagia. Tinggal dengan istri yang sangat saya cintai. Di rumah yang saya dapat dari hasil keringat saya sendiri. Meskipun rumah tersebut sangatlah sederhana. Hanya berupa rumah tipe kecil. Dengan hanya dua kamar dan sebuah kamar mandi. Ruang tengah rumah saya sangatlah kecil, malah dapat dikatakan bergabung dengan ruang tamu.

Saya bekerja di salah satu perusahaan swasta. Perusahaan asuransi lebih tepatnya. Dan posisi saya hanyalah sebagai sales. Saya menjual polis-polis asuransi. Saya memulainya benar-benar dari bawah. Dari nol! Mulai merangkak dari rumah ke rumah. Meyakinkan mereka bahwa mereka benar-benar membutuhkan asuransi. Terlepas mereka paham atau tidak arti dari asuransi itu sendiri.

Saya jalani profesi saya dengan sebaik mungkin, seikhlas mungkin. Karena saya tidak ingin menjadi penganggur terdidik! Dan lowongan yang ada pada saat itu hanyalah ini, mungkin inilah rizki untuk saya yang diberikan Allah SWT. Saya bekerja keras. Tidak hanya untuk mendapatkan uang. Namun juga dalam rangka menjalankan ibadah.

Dan, alhamdulillah, sedikit demi sedikit tabungan saya sudah cukup untuk mengawali mahligai rumah tangga. Saya pun mempersunting gadis yang menjadi pujaan hati saya. Meskipun ia hanyalah gadis desa, namun ketakwaannya tidak perlu diragukan lagi. Bila anda tahu, anda pasti akan berdecak kagum. Saya jamin itu!

Singkat cerita, istri tercinta saya sudah mengandung. Ia dalam kondisi hamil tua. Dan kami telah mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Perlengkapan baby. Mulai dari tempat tidurnya. Pakaiannya. Sepatunya. Dan, tentunya, namanya. Karena dalam pengecekan USG diketahui jenis kelaminnya adalah laki-laki, maka kami berencana untuk memberikan nama seperti nama anda. Agar kelak menjadi pemimpin bangsa.

Namun, hari itu tiba.

Hari dimana istri saya akan melahirkan. Saya sengaja mengambil cuti pada hari itu, karena hari itu terasa sangat spesial bagi saya. Bagi saya yang akan menjadi seorang bapak. Betapa bahagianya. Seperti yang anda rasakan ketika menjadi bapak. Menegangkan bukan?

Mobil kutancapkan. Tidak terlalu cepat, tidak pula lambat. Karena saya khawatir bila istri saya melahirkan di mobil. Dan saya telah memperhitungkan semuanya dengan matang. Dengan amat sangat baik. Saya pun seolah menjadi preman Jakarta. Tahu seluk-beluk jalanan tikus-nya. Namun, ditengah perjalanan istri saya berteriak. Ternyata bayi dalam kandungannya ingin segera menghirup udara bebas. Saya pun panik. Anda pun pasti demikian. Istri saya terus meraung-raung. Berkeringat dingin. Ah, tak ingin lagi saya menggambarkannya.

Namun, anda hadir. Anda bersama budak-budak anda. Mobil saya pun terjebak kemacetan yang anda buat. Kanan-kiri mobil telah dihimpit oleh sepeda motor, yang benar-benar tidak dapat bergeser satu senti pun! Petugas anda begitu lama mengatur jalanan agar menjadi lengang. Saya kaget. Istri saya mengeluarkan darah. Saya berencana membuka jendela, namun udara Jakarta tidak bersahabat. Asap ada dimana-mana. Saya semakin panik! Karena anda belum lewat juga! Tersiar kabar, biasanya anda lewat kurang lebih 5-10 menit setelah keadaan lengang. Hendak keluar mobil, benar-benar tidak bisa! Manusia-manusia Jakarta sudah tidak mempunyai perasaan! Mereka sudah tidak peduli!

Kepala sudah keluar!!!

Anda sedang melintas. Cukup panjang paradenya. Saya tidak peduli! Apakah anda peduli dengan keluarga saya??!!!!!

Parade anda telah usai. Namun lalu lintas masih belum berubah. Budak anda tidak bertanggung jawab! Setelah usai memporak-porandakan lalu lintas dan menanti parade usai, mereka langsung pergi begitu saja. Kurang ajar!

Saat itu, saya sudah tidak sanggup melihat kondisi istri saya. Saya hanya mampu menangis dan tidak dapat berpikir jernih. Pikiran saya hanya satu, Rumah Sakit Bersalin!

Namun, Tuhan berkata lain. Dalam perjalanan. Istri saya menghembuskan nafas terakhirnya. Dan, bayi yang baru saja dilahirkan, entah saya tak tahu mengapa, tidak tertolong juga.

Mungkin ini ujian dari Tuhan untuk saya.
Namun, saya hanya ingin mencurahkan semuanya melalui surat ini. Saya tidak menyalahkan anda. Hanya saja, saya ingin menggugah hati anda.

Apakah anda sadar bahwa parade anda yang begitu sombong telah menghilangkan nyawa seorang yang tak bersalah?

Apakah anda sadar, eksklusivitas anda telah merugikan banyak orang? Rakyat anda sendiri? Kalangan menengah ke bawah! Yang pada kampanye anda berjanji akan mensejahterakannya.

Ingat! Tanggung jawab anda belum selesai. Akhirat menanti nyawa anda. Menanti nyawa yang angkuh.
Lupakan aturan protokoler yang membelenggu. Saya tidak peduli dengan modernitas yang anda anut. Rasulullah pun tidak menyukai “protokoler”. Demikian pula dengan khalifah-khalifah setelahnya.

Pada penghujung surat ini, saya ingin anda kembali berpikir dan mempertimbangkan. Bahwa, anda belum layak menjadi pemimpin bangsa. Pertimbangkanlah kembali nyawa-nyawa yang telah anda hilangkan secara tidak langsung. Pertimbangkanlah kembali tangis-tangis kelaparan di siang dan malam yang anda abaikan karena perut anda telah penuh dengan makanan. Pertimbangkanlah kembali gelandangan-gelandangan yang tidur (bahkan tidak tidur) di pinggir jalan selagi anda tertidur lelap (meskipun hanya 1-2 jam) di kasur anda yang empuk. Pertimbangkanlah kembali.

Dengan sisa air mata. Saya tutup surat ini dengan salam dan doa. Berharap semoga Tuhan membuka mata dan hati anda sebagai pemimpin bangsa.

Hormat saya,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun