Mungkin ini ujian dari Tuhan untuk saya.
Namun, saya hanya ingin mencurahkan semuanya melalui surat ini. Saya tidak menyalahkan anda. Hanya saja, saya ingin menggugah hati anda.
Apakah anda sadar bahwa parade anda yang begitu sombong telah menghilangkan nyawa seorang yang tak bersalah?
Apakah anda sadar, eksklusivitas anda telah merugikan banyak orang? Rakyat anda sendiri? Kalangan menengah ke bawah! Yang pada kampanye anda berjanji akan mensejahterakannya.
Ingat! Tanggung jawab anda belum selesai. Akhirat menanti nyawa anda. Menanti nyawa yang angkuh.
Lupakan aturan protokoler yang membelenggu. Saya tidak peduli dengan modernitas yang anda anut. Rasulullah pun tidak menyukai “protokoler”. Demikian pula dengan khalifah-khalifah setelahnya.
Pada penghujung surat ini, saya ingin anda kembali berpikir dan mempertimbangkan. Bahwa, anda belum layak menjadi pemimpin bangsa. Pertimbangkanlah kembali nyawa-nyawa yang telah anda hilangkan secara tidak langsung. Pertimbangkanlah kembali tangis-tangis kelaparan di siang dan malam yang anda abaikan karena perut anda telah penuh dengan makanan. Pertimbangkanlah kembali gelandangan-gelandangan yang tidur (bahkan tidak tidur) di pinggir jalan selagi anda tertidur lelap (meskipun hanya 1-2 jam) di kasur anda yang empuk. Pertimbangkanlah kembali.
Dengan sisa air mata. Saya tutup surat ini dengan salam dan doa. Berharap semoga Tuhan membuka mata dan hati anda sebagai pemimpin bangsa.
Hormat saya,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H