*) Ini adalah tulisanku pada buku Indulgensia Bunda. Namun masih banyak tulisan oleh penulis lainnya yang lebih baik daripada ini. Bila teman-teman penasaran, dapat segera memesan bukunya...
Salam hangat,
Al
***
21/8/09….06.37 WIB
Riak tangis itu terdengar juga. Akhirnya… Kamu pun melewati saat-saat yang menegangkan dalam hidup. Dan aku, aku menangis sejadi-jadinya. Entah menangis karena apa, aku pun tak tahu pasti. Antara kebahagian atau kesedihan. Namun, melihat tangisku, kamu justru berbahagia dan berbangga. Bahwa, sejumput rizky dan harapan telah tiba. Segenggam amanah dan tanggung jawab telah saatnya dipikul. Dan aku adalah harapan itu. Aku adalah tanggung jawab yang harus kau pikul. Benar, akulah yang menganiaya rahimmu selama ini. Aku. Anakmu. Ibu.
---
Aku terbangun dari tidur. Ah, ternyata aku hanya bermimpi. Namun, mengapa mimpiku tersebut serasa nyata? Mengapa aku merasa seperti benar-benar baru dilahirkan? Aku melihat wajah Ibu. Wajah Ibu yang benar-benar sedang berbahagia. Tersenyum lepas dan puas. Padahal, aku baru saja menyiksanya. Ibu.., pagi ini tidak ada sarapan pagi darimu.
Aku beranjak dari tempat tidurku. Bergegas mengambil wudhu, karena waktu subuh sudah masuk, bahkan sudah dua puluh lima menit yang lalu. Sedikit terlambat. Tumben. Padahal biasanya aku terbangun di waktu adzan dikumandangkan atau beberapa waktu sebelum adzan. Mungkin karena aku kelelahan selepas kemarin. Kemarin memang benar-benar melelahkan.
Seusai shalat, aku berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air putih dan kopi. Dapur tampak lengang sekali. Dan masih sangat berantakan. Belum sempat dibereskan seusai acara kemarin. Padahal biasanya kalau ada acara-acara dan dapur berantakan, seusai shalat subuh Ibu sudah berada di dapur untuk membereskannya. Lalu membuatkan serta menyiapkan minuman untuk orang-orang dirumah. Mulai dari teh, kopi, susu dan air putih. Ditemani dengan roti atau kue-kue kering. Itu kebiasaan Ibu dirumah.
Sembari membawa dua gelas berisi air putih dan kopi, aku berjalan menuju ruang tengah. Kemudian meletakkan kedua gelas tersebut pada meja coklat yang tepat berada di depan sofa rumah. Setelahnya, pintu rumah kubuka, udara segar memasuki rumahku. Ah, dingin sekali. Sejuk. Seolah ingin rasanya hawa seperti ini selalu bergumul di rumahku. Atau di lingkungan sekitar rumahku. Namun itu hanya harap yang tidak akan pernah menjadi kenyataan dalam waktu-waktu dekat ini. Karena, manusia –termasuk denganku- telah mencemari udara yang sesejuk ini. Berbagai macam polusi telah dikerahkan. Polusi air, udara bahkan hingga suara. Namun, seolah hal yang lumrah, jadi perasaan bersalah tidak pernah muncul. Hanya menyesal sesaat. Mengenang sejenak. Kemudian kembali ke aktivitas seperti sedia kala. Mengotori bumi manusia.
Langkahku kulanjutkan ke pekarangan depan untuk mengambil koran. Tukang koran yang menjadi langgananku orangnya sangat rajin, menurutku. Karena seusai adzan subuh, biasanya ia sudah sampai dan melemparkan koran ke pekarangan.
Aku duduk di ruang tengah sambil membaca koran. Ini adalah kebiasaanku di pagi hari. Membaca koran ditemani secangkir kopi. Halaman demi halaman telah kulewati. Bermula dari headline mengenai perpolitikan negeri sendiri. Info-info sosial budaya. Hingga tentang profil tokoh-tokoh di Indonesia. Dari ilmuwan, politikus, artis hingga orang tak dikenal yang berjasa untuk negeri ini. Aku pun tertarik dengan kolom lowongan kerja. Maklum, aku yang fresh graduate ini masih mencari kerja. Aku belum mampu membuat lapangan pekerjaan. Disamping wawasanku masih kurang, finansial dan nyaliku masih minim, bahkan jauh dari minim. Mungkin ini dampak dari sistem pendidikan di Indonesia, yang tidak pernah mengajarkan bagaimana cara berdagang atau memulai usaha hingga pembentukan mental. Namun, tidak sedikit pula orang-orang yang berhasil memulai usaha dari nol. Mana yang bermasalah? Aku ataukah pendidikan disini? Ah, relatif. Tergantung.
Mataku sedikit terpaku dengan kolom opini pembaca. Ya, kolom tersebut diperuntukkan untuk masyarakat umum untuk berbagi informasi dan pengetahuan dengan pembaca lainnya. Untuk mengisi kolom opini di koran yang sedang kubaca ini, tidaklah gampang. Maklum, koran ini adalah korang nasional. Yang dibaca jutaan masyarakat Indonesia dari sabang sampai merauke. Dari pulau weh sampai pulau rote. Jadi, tulisan opini yang dicantumkan adalah tulisan terbaik dari ribuan atau bahkan jutaan tulisan yang masuk setiap harinya. Tak terbayang bagiku membaca surat berisi tulisan-tulisan yang mengharap untuk dimuat di koran itu, yang masuk sebegitu banyaknya setiap harinya. Mungkin minus dimataku akan bertambah.
Dalam kolom opini kali ini, terdapat tulisan yang membuatku benar-benar membaca dengan fokus. Tulisan itu adalah tentang Ibu. Mungkin redaksi mengambil tulisan ini bertepatan dengan momen hari Ibu. Tunggu…. Hari Ibu? Ah! Sekarang tanggal 22 Desember. Aku tidak tahu kalau hari ini adalah hari Ibu. Mungkin ini karena kesibukan kemarin. Hingga boro-boro mau memikirkan tanggal. Mengurusi acara kemarin saja sudah sangat menyita waktu dan perhatianku.
Hari Ibu….
---
“Ibu….nanti aku pengen cekolah ntal”
“Mau sekolah sayang?”
“Iya!!!!! Pengen cekolah!!! Pokoknya pengen cekolah!!!”, aku berteriak lantang meyakinkan Ibu.
“Iya….iya..”
“Emang adek udah bisa ngitung?”
“Udah donk!!!!!”
“Coba hitung dari satu sampe sepuluh”
“Catu….Dua…Tiga….Empat….Lima….Enam….Tujuh…..Delapan….Cembilan…Cepuluh…..”
“Sayang….. Tangannya salah. Kalo enam, yang diangkat jarinya enam, bukan lima..”, Ibu tersenyum padaku.
“Ayo coba diulang lagi…”
“Catu….Dua….Tiga….Empat….Lima….Enam….Tujuh…..Delapan….Cembilan…Cepuluh….”
“Hihihi….”
“Sayang…. Kalo sembilan, jari tangan kanannya jangan diangkat semuanya. Jari ini aja yang diangkat”, Ibu mengangkat keempat jari pada tangan kanan-ku selain kelingking.
“Ayo ulangi lagi….”
“Catu….Dua….Tiga….Empat….Lima….Enam….Tujuh…Delapan….Cembilan…Cepuluh!!!!”, aku sedikit berteriak. Cape diulang terus-menerus sejak tadi.
“Hore….. “ Ibu bersorak sembari bertepuk tangan.
“Hole…...” Aku bertepuk tangan riang sekali. Akhirnya penderitaan selesai juga.
“Tadi kan adek baru hitung, sekarang adek udah bisa baca belum?”
“Udah bu……”
“Adek kan celalu baca buku punya ayah. Adek juga udah bisa nulis.”
Aku langsung bergegas berlari ke meja kerja ayah. Mengambil buku, yang memang buku itu khusus untukku. Lalu kembali ke pangkuan Ibu untuk menunjukkan hasil tulisan-tulisanku dengan bangga. Itu adalah karya akbarku. Luar biasa. Karena hanya dalam waktu sepekan, aku telah menulis setengah buku. Buku yang setebal 56 halaman itu, kini tinggal setengahnya. Ibu, ini adalah hasil karyaku. Banggaku.
“Ini bu….”
Aku menyerahkan karyaku pada Ibu. Ah, pujian apa yang nanti akan Ibu berikan padaku? Padaku yang baru genap berumur 5 tahun. Apakah Ibu mau membelikan mainan baru? Tamiya?! Tamiya Yonkuro dari ayah sudah rusak kutabrak-tabrak. Gundam Wing sudah patah tangannya, habis berantem sama mainan Gundam X punya Bayu kemarin. Gundam punya dia lebih kuat.
Ibu mulai membuka halaman demi halaman bukuku.
Oh iya… Aku mau minta mainan Play Station aja. Bayu udah punya. Aku kepingin.
“Adek…. Ini bukan tulisan sayang. Ini cuma corat-coret aja. Tuh lihat. Kamu malah gambar-gambar disini. Gambar apa ini? Son Goku?”
Ah, ketahuan.
“Tapi kan itu juga pake tangan cama pulpen. Jadi kan nulis juga…”
Yak! Berhasil! Aku berhasil membela diri.
“Bukan sayang…. Ini gambar. Kalo nulis itu yang ada hurufnya…”
“Enggak!!! Itu juga sama aja!!!”
Aku terpojok.
“Bukan sayang…. Huruf itu kayak ‘A, B, C, D’…”
“Enggak!!!!! Enggak!!!! Enggak!!!!! Sama aja!!!”
Aku bersikukuh benar.
“Ya sudah…. Adek udah pinter nulis…”
YES! Ibu kalah!
“Kalo gitu, aku minta hadiah! Pley stesion kayak punya Bayu”
“Lho? Kok minta hadiah?”
“Gak mau!!! Pokoknya minta hadiah!!!”
“Memang mainan kemaren dari ayah kemana? Kok udah minta Play Station lagi….”
“Lusak. Gak mau!!! Pokoknya pengen Pley Stesion!!!”
“Adek…. Tapi mainan yang itu bisa ngerusak mata. Mending Ibu beliin mainan yang lain ya? Main Play Station-nya di rumah Bayu aja…Ya?”
“Enggak mau! Pokoknya pengen Pley Stesion!!!”
Aku lari ke kamar. Cemberut. Sebal dengan Ibu yang tidak mau membelikanku Play Station.
Ibu menghampiriku. Ia ke kamar.
“Ya sudah. Nanti Ibu bilang ke Ayah ya. Bilang kalo adek minta dibelikan Play Station…”
Aku bangkit dari kasur sembari membuka bantal yang menutupi wajahku. Wajahku yang sedang menangis dan merengek minta dibelikan mainan baru.
“Hu…hu…..hu…. Pokonya aku minta Pley Stesion. Hu….hu….”
“Iya sayang… Ayo, sekarang makan dulu. Udah siang.”
Ibu menggendongku. Aku masih tetap menangis. Ibu mengusap-usap punggungku. Aku malah mengantuk…
---
“Gak mau ngaji! Pengen nonton tivi! Pengen nonton kaltun!”
“Adek…. Adek harus ngaji… Ntar Allah marah lho..”
“Pokoknya gak mau! Ibu… Naluto lagi selu nih…”
“Nanti Ibu belikan VCD Naruto, asal sekarang Adek ngaji.”
“Benelan ya Ibu beliin?!!!”
“Iya… Ibu janji. Besok Ibu beliin…”
“Asik!!!!”
“Klo gitu, sekarang adek harus ngaji. Kan tadi sudah janji…”
“Yang janji mau beliin kan Ibu. Adek mah gak janji mau ngaji. Adek mau maen mobil-mobilan aja!”
Aku bergegas berlari ke kamar. Membongkar kotak mainan. Imajiku melayang. Aku ingin segera bermain mobil-mobilan. Yang jadi penjahat adalah tank yang besar. Ah, seru! Pasti seru.
“Adek….”, nada Ibu sedikit meninggi.
“Ayo ngaji. Klo udah janji, gak boleh ingkar..”
“Ingkal? Apa itu ingkal? Aku gak ingkal kok…”
“Ingkar itu tidak menepati janji sayang… Jadi, kalo udah janji, harus ditepati…”
“Ibu kan tadi janji mau belikan VCD Naruto besok. Ya, besok Ibu belikan VCD-nya.”
“Tapi, aku mau maen mobil-mobilan….”
“Iya sayang… Habis ngaji, Adek boleh maen mobil-mobilan”
“Tapi, ngajinya sebental aja ya bu… Sedikit…..aja. Sebalis..”, aku memeragakannya dengan hendak mempertemukan jari telunjuk dan jempol pada tangan kananku. Namun terdapat celah yang kecil. Kubuat sekecil mungkin. Kecil sekali.
“Iya sayang…”
“Ayo ngaji”
“Iya bu..”
---
Aku dan Ibu sedang membuka-buka album foto. Album foto ulang tahunku yang ke-4. Senang aku melihat foto-foto tersebut. Selain karena di ulang tahunku aku dapat makan banyak kue yang enak, aku juga dapet banyak hadiah mainan dari teman-temanku. Yang kini sudah tidak ada rupanya. Nampaknya Ibu sedang membuka-buka album foto yang lainnya. Tiba-tiba…
“Adek… Lihat gambar ini..”, Ibu menunjukkan gambar sebuah kotak hitam yang ramai dipenuhi orang mengitarinya.
“Ini gambal apa bu?”
“Ini namanya Masjidil Haram”
“Ini rumahnya Allah. Disini kalo adek minta mainan, pasti langsung dikasih sama Allah. Ini rumah suci sayang…”
“Klo lumahnya Allah, kenapa namanya Halam? Halam kan gak boleh bu…”
“Huss, adek gak boleh ngomong kayak gitu. Nanti Allah marah sama adek.”
“Tapi kan adek cuma tanya. Kenapa namanya Halam? Kenapa gak suci aja?”
“Haram itu bahasa Arab sayang… Nanti klo Ibu sudah kesana, Ibu kasih tahu adek apa artinya. Doain Ibu ya sayang. Biar bisa kesana. Terus minta mainan baru sama Allah buat adek…”
“Iya bu. Adek jadi kepingin ngebelangkatin Ibu naek Haji. Kalo udah gede nanti, adek pengen ngebelangkatin Ibu naek haji.”
---
Aku kesal! Lagi-lagi diperlakukan seperti itu. Perlakuan yang tetap tidak berubah. Mereka memang brengsek! Awas kalian! Lihat saja nanti. Aku akan membuat perhitungan.
Ibu melihatku datang, aku yang datang dengan wajah yang marah. Aku tidak dapat menyembunyikan rasa amarahku itu. Namun, Ibu hanya tersenyum saja. Ah, bukannya bertanya malah hanya tersenyum dan melanjutkannya ke dapur. Ibu gak ngerti banget sih?, pikirku.
Tas ransel sekolahku yang baru saja kudapat dari hadiah tahun baru, kulemparkan ke lantai. Sepatuku berhamburan di ruang tamu. Demikian juga dengan soulmate-nya, kaus kaki-ku. Aku lari berhamburan ke dapur. Menghampiri Ibu dan menceritakan semua kejadian yang menyebalkan hari ini. Semua kekesalanku.
“Bu…aku tadi diledekin sama Toni…”
“Diledek apa nak?”
“Katanya udelku bodong…”
“Udah gitu dia ngomong, pasti Ibu juga bodong…”
Ibu hanya tersenyum sambil memasak sayur.
“Ibuuu!!!! Dengerin aku donk!!!!”
“Iya, nak…. Terus apa lagi?”
“Udah gitu, tadi aku dimarahin Ibu guru gara-gara aku ngelempar Toni pake kertas.”
“Kenapa kamu lempar Toni pake kertas nak?”
“Habisnya dia ngeledekin aku sama Ibu terus….”
Ibu tetap tersenyum.
Ibu beranjak dari dapur, menuju ruang tamu.
“Ibuuu…..!! Belum beres…..”
“Apa lagi sayang…?”, Ibu bertanya sambil merapikan tas ransel serta sepatu dan kaus kaki-ku.
“Gara-gara itu, Toni jadi bilang ke temen-temen yang laen biar gak jadi temen aku….”
Sambil jongkok dan meraih kaus kakiku Ibu berkata, “Terus….?”
Tetap, dengan senyum.
“Ah…Ibu!!!! Dari tadi adek ngomong gak diperhatiin.”
Aku kesal. Percuma saja aku bercerita tentang nasibku hari ini ke Ibu. Percuma. Ibu tidak mengerti perasaanku.
“Pokoknya adek pengen pindah sekolah! Ke SMP Negeri 1 aja!”
Ibu….
Tersenyum…
---
Aku pulang berdarah-darah. Pelipisku memar. Hidungku mengeluarkan warna merah. Bibirku jontor. Seragam sekolahku koyak dan kotor. Dikotori warna darah dan tanah. Aku mencoba melangkah dengan sembunyi-sembunyi dan amat sangat berhati-hati. Aku tidak ingin ada orang rumah yang tahu. Apalagi Ibu. Aku tidak ingin untuk kesekian kalinya Ibu memergokiku dalam keadaan seperti ini. Apalagi bila Ibu harus berbohong pada Ayah dengan maksud melindungiku.
Sudah berkali-kali Ibu berkata padaku.
“Nak, buat apa kamu tawuran seperti itu? Tidak ada faedahnya”.
Ah, Ibu memang tidak pernah mengerti anak muda. Jiwa dan gejolaknya. Mungkin Ibu tidak pernah muda, pikirku.
“Mendingan kamu ikutan kegiatan-kegiatan ekskul yang bermanfaat di sekolah”
Ibu norak. OSIS cuma sekumpulan anak cengeng. Apalagi? Rohis?! Ah, apalagi yang satu ini. Ketinggalan zaman.
“Kamu jangan melihat dari kondisi luarnya saja nak. Lihat dalemnya. Coba kamu lihat. Kamu lihat muadzin itu. Meskipun pekerjaannya terlihat sepele. Tapi apa ganjaran yang akan ia terima nanti di akhirat? Surga nak… Surga. Karena apa? Karena dia selalu menyerukan kebajikan. Mengingatkan kita akan waktu shalat. Memanggil kita untuk beribadah. Memang, pekerjaan seperti itu selalu dipandang sebelah mata. Tidak pernah menjadi sebuah cita-cita.”
Ibu….. Cukup! Aku sudah bosan dengan nasihat-nasihat Ibu.
“Tapi, ya sudah terserah kamu. Terserah kamu mau seperti apa. Cuma, Ibu minta, kamu tidak tawuran lagi. Itu saja….”
---
Kringg…….
Kringggg……
Hah???!!!!
Aku tersadar. Oh, ternyata sejak tadi aku sedang melamun.
Telepon genggamku berdering. Aku segera bangkit dan mengambil telepon yang sudah jadul ini. Tidak ada namanya. Hanya deretan angka yang tak ku kenal. Ku tekan tombol hijau. Kudekatkan speaker phone ke telinga.
“Assalammualaikum….”
“……”
“Halo…”
“……”
“Halo…”
Tut…Tut….Tut…Tut…
Ah, sial. Orang iseng. Lamunanku sudah terganggu sama dia. Ah, sampai mana ya tadi? Mengapa aku tiba-tiba melamun tentang Ibu?
Ibu…belum lama, rindu sudah hati ini tersayat.
Aku menyesal.
Ah, ya! Aku harus bertemu dengan Ibu sekarang! Harus!
Aku pun bergegas untuk pergi. Untuk menghampiri Ibu. Ibu sekarang pindah di tempat tinggalnya yang baru. Aku menyesal. Sungguh sangat menyesal. Apabila aku sadar sedari dulu, bahwa cinta Ibu padaku sungguh cinta mulia. Jauh dari Romeo dan Juliet. Tidak ada yang mampu mengalahkan cinta Ibu padaku. Tidak ada.
Kini aku sudah berada tepat di depan rumah Ibu. Hanya tinggal memberi salam saja, aku dapat bertemu dengan Ibu.
Salam Terakhirku, Meski Lambat, Maafkan Aku Ibu
Ibu…
Sudah sekian lama kamu menimangku…
Sudah bertahun-tahun kamu mengajariku…
Tidak pernah berputus asa kamu meluruskanku…
Namun, apa persembahanku untukmu?
Dosa…
Durhaka…
Luka…
Kombinasi yang telah menyusahkanmu selama ini…
Ibu…
Apakah kau terluka?
Sakitkah?
Bila, iya, maukah kau memaafkanku?
Maaf yang terlambat bagiku…
Aku menyesal…
Seandainya sedari dulu aku mengetahui makna dibalik kasih sayangmu…
Niscaya, aku pasti lebih ikhlas dan rela melepasmu pergi…
Namun kini hanya sesal yang berbicara…
Ikhlas lewat sudah…
Ibu…
Diperlakukan dengan baikkah engkau di rumah baru?
Aku harap begitu.
Karena kau pun selalu memperlakukan baik orang-orang disekitarmu.
Ibu…
Berapa watt lampu yang Ibu gunakan di rumah baru?
Kuharap Ibu membawa yang terang.
Karena cintamu selalu menerangi hatiku.
Ibu…
Apakah Ibu kedinginan?
Semoga tidak!
Karena kamu selalu menyelimutiku dari kegelapan malam.
Ibu…
Maafkan aku…
Anakmu.
“Assalammualaikum…..”
Ibu, ini aku, anakmu. Putramu. Sayangmu. Kini aku sudah di depan rumahmu. Rumahmu yang baru. Yang baru saja kau tempati kemarin.
Ibu…
Aku datang. Putramu. Dengan sebotol air putih. Dan sekeranjang bunga nan mewangi. Siap menemanimu berbincang di pagi hari ini. Agar kau tidak sendiri lagi setelah kemarin ku tinggal pergi. Memang sepi disini.
Aku ingin menemanimu Ibu….
Disini…
Di pemakaman ini.
---
Kringg…..
Kringg…….
Ah, teleponku berdering lagi. Padahal aku sedang curhat padamu Ibu.
“Assalammualaikum…”, aku mengawali pembicaraan.
“Wa’alaikumsalam…. Dengan Mas Dody?”
“Ya, betul pak. Ini saya Dody. Ini dengan siapa ya?”
“Ini dengan Pak Saiful dari Bank BNI”
“Oh, iya pak, ada apa ya?”
“Begini Mas Dody. Beberapa waktu yang lalu, pihak kami baru saja melakukan undian berhadiah. Undian ini kami lakukan khusus untuk para pelajar, terutama mahasiswa di seluruh Indonesia. Dan Mas Dody yang terdaftar sebagai mahasiswa pun kami ikut sertakan untuk mengikuti undian ini. Dan setelah di undi kemarin. Ternyata Mas Dody berhak atas hadiah utamanya. Selamat ya mas…”
“Alhamdulillah… Terima Kasih pak. Ngomong-ngomong hadiah utamanya apa Pak?”
“Naik haji gratis untuk dua orang…”
Selesai…..21/08/09….23.37 WIB
http://all-side.blogspot.com/2010/05/cinta-yang-tak-kumakna.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H