Mohon tunggu...
Indra Jatmiko
Indra Jatmiko Mohon Tunggu... -

freelance writer http://all-side.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cinta yang Tak Kumakna

21 Mei 2010   02:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:04 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Langkahku kulanjutkan ke pekarangan depan untuk mengambil koran. Tukang koran yang menjadi langgananku orangnya sangat rajin, menurutku. Karena seusai adzan subuh, biasanya ia sudah sampai dan melemparkan koran ke pekarangan.

Aku duduk di ruang tengah sambil membaca koran. Ini adalah kebiasaanku di pagi hari. Membaca koran ditemani secangkir kopi. Halaman demi halaman telah kulewati. Bermula dari headline mengenai perpolitikan negeri sendiri. Info-info sosial budaya. Hingga tentang profil tokoh-tokoh di Indonesia. Dari ilmuwan, politikus, artis hingga orang tak dikenal yang berjasa untuk negeri ini. Aku pun tertarik dengan kolom lowongan kerja. Maklum, aku yang fresh graduate ini masih mencari kerja. Aku belum mampu membuat lapangan pekerjaan. Disamping wawasanku masih kurang, finansial dan nyaliku masih minim, bahkan jauh dari minim. Mungkin ini dampak dari sistem pendidikan di Indonesia, yang tidak pernah mengajarkan bagaimana cara berdagang atau memulai usaha hingga pembentukan mental. Namun, tidak sedikit pula orang-orang yang berhasil memulai usaha dari nol. Mana yang bermasalah? Aku ataukah pendidikan disini? Ah, relatif. Tergantung.

Mataku sedikit terpaku dengan kolom opini pembaca. Ya, kolom tersebut diperuntukkan untuk masyarakat umum untuk berbagi informasi dan pengetahuan dengan pembaca lainnya. Untuk mengisi kolom opini di koran yang sedang kubaca ini, tidaklah gampang. Maklum, koran ini adalah korang nasional. Yang dibaca jutaan masyarakat Indonesia dari sabang sampai merauke. Dari pulau weh sampai pulau rote. Jadi, tulisan opini yang dicantumkan adalah tulisan terbaik dari ribuan atau bahkan jutaan tulisan yang masuk setiap harinya. Tak terbayang bagiku membaca surat berisi tulisan-tulisan yang mengharap untuk dimuat di koran itu, yang masuk sebegitu banyaknya setiap harinya. Mungkin minus dimataku akan bertambah.

Dalam kolom opini kali ini, terdapat tulisan yang membuatku benar-benar membaca dengan fokus. Tulisan itu adalah tentang Ibu. Mungkin redaksi mengambil tulisan ini bertepatan dengan momen hari Ibu. Tunggu…. Hari Ibu? Ah! Sekarang tanggal 22 Desember. Aku tidak tahu kalau hari ini adalah hari Ibu. Mungkin ini karena kesibukan kemarin. Hingga boro-boro mau memikirkan tanggal. Mengurusi acara kemarin saja sudah sangat menyita waktu dan perhatianku.

Hari Ibu….

---

“Ibu….nanti aku pengen cekolah ntal”
“Mau sekolah sayang?”
“Iya!!!!! Pengen cekolah!!! Pokoknya pengen cekolah!!!”, aku berteriak lantang meyakinkan Ibu.
“Iya….iya..”
“Emang adek udah bisa ngitung?”
“Udah donk!!!!!”
“Coba hitung dari satu sampe sepuluh”
“Catu….Dua…Tiga….Empat….Lima….Enam….Tujuh…..Delapan….Cembilan…Cepuluh…..”
“Sayang….. Tangannya salah. Kalo enam, yang diangkat jarinya enam, bukan lima..”, Ibu tersenyum padaku.
“Ayo coba diulang lagi…”
“Catu….Dua….Tiga….Empat….Lima….Enam….Tujuh…..Delapan….Cembilan…Cepuluh….”
“Hihihi….”
“Sayang…. Kalo sembilan, jari tangan kanannya jangan diangkat semuanya. Jari ini aja yang diangkat”, Ibu mengangkat keempat jari pada tangan kanan-ku selain kelingking.
“Ayo ulangi lagi….”
“Catu….Dua….Tiga….Empat….Lima….Enam….Tujuh…Delapan….Cembilan…Cepuluh!!!!”, aku sedikit berteriak. Cape diulang terus-menerus sejak tadi.
“Hore….. “ Ibu bersorak sembari bertepuk tangan.
“Hole…...” Aku bertepuk tangan riang sekali. Akhirnya penderitaan selesai juga.
“Tadi kan adek baru hitung, sekarang adek udah bisa baca belum?”
“Udah bu……”
“Adek kan celalu baca buku punya ayah. Adek juga udah bisa nulis.”

Aku langsung bergegas berlari ke meja kerja ayah. Mengambil buku, yang memang buku itu khusus untukku. Lalu kembali ke pangkuan Ibu untuk menunjukkan hasil tulisan-tulisanku dengan bangga. Itu adalah karya akbarku. Luar biasa. Karena hanya dalam waktu sepekan, aku telah menulis setengah buku. Buku yang setebal 56 halaman itu, kini tinggal setengahnya. Ibu, ini adalah hasil karyaku. Banggaku.

“Ini bu….”

Aku menyerahkan karyaku pada Ibu. Ah, pujian apa yang nanti akan Ibu berikan padaku? Padaku yang baru genap berumur 5 tahun. Apakah Ibu mau membelikan mainan baru? Tamiya?! Tamiya Yonkuro dari ayah sudah rusak kutabrak-tabrak. Gundam Wing sudah patah tangannya, habis berantem sama mainan Gundam X punya Bayu kemarin. Gundam punya dia lebih kuat.

Ibu mulai membuka halaman demi halaman bukuku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun