Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Narasi Revolusi Mental Joko Widodo

24 Januari 2024   05:56 Diperbarui: 24 Januari 2024   21:27 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah tulisan muncul di Harian Kompas tertanggal 10 Mei 2014. Mari kita simak utuh: 

Revolusi Mental

Oleh: Joko Widodo

INDONESIA saat ini menghadapi suatu paradoks pelik yang menuntut jawaban dari para pemimpin nasional. Setelah 16 tahun melaksanakan reformasi, kenapa masyarakat kita bertambah resah dan bukannya tambah bahagia, atau dalam istilah anak muda sekarang semakin galau?

Dipimpin bergantian oleh empat presiden antara 1998 dan 2014, mulai dari BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia telah mencatat sejumlah kemajuan di bidang ekonomi dan politik. Mereka memimpin di bawah bendera reformasi yang didukung oleh pemerintahan yang dipilih rakyat melalui proses yang demokratis.

Ekonomi semakin berkembang dan masyarakat banyak yang bertambah makmur. Bank Dunia bulan Mei ini mengatakan ekonomi Indonesia sudah masuk 10 besar dunia, jauh lebih awal dari perkiraan pemerintah SBY yang memprediksi baru terjadi tahun 2025. Di bidang politik, masyarakat sudah banyak menikmati kebebasan serta hak-haknya dibandingkan sebelumnya, termasuk di antaranya melakukan pergantian pemimpinnya secara periodik melalui pemilu yang demokratis.

Namun, di sisi lain, kita melihat dan merasakan kegalauan masyarakat seperti yang dapat kita saksikan melalui protes di jalan-jalan di kota besar dan kecil dan juga di ruang publik lainnya, termasuk media massa dan media sosial. Gejala apa ini?

Pemimpin nasional dan pemikir di Indonesia bingung menjelaskan fenomena bagaimana keresahan dan kemarahan masyarakat justru merebak. Sementara, oleh dunia, Indonesia dijadikan model keberhasilan reformasi yang menghantarkan kebebasan politik serta demokrasi bersama pembangunan ekonomi bagi masyarakatnya.

Izinkan saya melalui tulisan singkat ini menyampaikan pandangan saya menguraikan permasalahan bangsa ini dan menawarkan paradigma baru untuk bersama mengatasinya. Saya bukan ahli politik atau pembangunan. Untuk itu, pandangan ini banyak berdasarkan pengamatan dan pengalaman saya selama ini, baik sebagai Wali Kota Surakarta maupun Gubernur DKI Jakarta. Oleh karena itu, keterbatasan dalam pandangan ini mohon dimaklumi.

Sebatas kelembagaan

Reformasi yang dilaksanakan di Indonesia sejak tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto tahun 1998 baru sebatas melakukan perombakan yang sifatnya institusional. Ia belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik kita dalam rangka pembangunan bangsa (nation building). Agar perubahan benar-benar bermakna dan berkesinambungan, dan sesuai dengan cita-cita Proklamasi Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur, kita perlu melakukan revolusi mental.

Nation building tidak mungkin maju kalau sekadar mengandalkan perombakan institusional tanpa melakukan perombakan manusianya atau sifat mereka yang menjalankan sistem ini. Sehebat apa pun kelembagaan yang kita ciptakan, selama ia ditangani oleh manusia dengan salah kaprah tidak akan membawa kesejahteraan. Sejarah Indonesia merdeka penuh dengan contoh di mana salah pengelolaan (mismanagement) negara telah membawa bencana besar nasional.

Kita melakukan amandemen atas UUD 1945. Kita membentuk sejumlah komisi independen (termasuk KPK). Kita melaksanakan otonomi daerah. Dan, kita telah banyak memperbaiki sejumlah undang-undang nasional dan daerah. Kita juga sudah melaksanakan pemilu secara berkala di tingkat nasional/daerah. Kesemuanya ditujukan dalam rangka perbaikan pengelolaan negara yang demokratis dan akuntabel.

Namun, di saat yang sama, sejumlah tradisi atau budaya yang tumbuh subur dan berkembang di alam represif Orde Baru masih berlangsung sampai sekarang, mulai dari korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, dan sifat kerakusan, sampai sifat ingin menang sendiri, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunis. Kesemuanya ini masih berlangsung, dan beberapa di antaranya bahkan semakin merajalela, di alam Indonesia yang katanya lebih reformis.

Korupsi menjadi faktor utama yang membawa bangsa ini ke ambang kebangkrutan ekonomi di tahun 1998 sehingga Indonesia harus menerima suntikan dari Dana Moneter Internasional (IMF) yang harus ditebus oleh bangsa ini dengan harga diri kita. Terlepas dari sepak terjang dan kerja keras KPK mengejar koruptor, praktik korupsi sekarang masih berlangsung, malah ada gejala semakin luas.

Demikian juga sifat intoleransi yang tumbuh subur di tengah kebebasan yang dinikmati masyarakat. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi yang pesat malah memacu sifat kerakusan dan keinginan sebagian masyarakat untuk cepat kaya sehingga menghalalkan segala cara, termasuk pelanggaran hukum.

Jelas reformasi, yang hanya menyentuh faktor kelembagaan negara, tidak akan cukup untuk menghantarkan Indonesia ke arah cita-cita bangsa seperti diproklamasikan oleh para pendiri bangsa. Apabila kita gagal melakukan perubahan dan memberantas praktik korupsi, intoleransi, kerakusan, keinginan cepat kaya secara instan, pelecehan hukum, dan sikap oportunis, semua keberhasilan reformasi ini segera lenyap bersama kehancuran bangsa.

Perlu revolusi mental

Dalam pembangunan bangsa, saat ini kita cenderung menerapkan prinsip-prinsip paham liberalisme yang jelas tidak sesuai dan kontradiktif dengan nilai, budaya, dan karakter bangsa Indonesia. Sudah saatnya Indonesia melakukan tindakan korektif, tidak dengan menghentikan proses reformasi yang sudah berjalan, tetapi dengan mencanangkan revolusi mental menciptakan paradigma, budaya politik, dan pendekatan nation building baru yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya Nusantara, bersahaja, dan berkesinambungan.

Penggunaan istilah "revolusi" tidak berlebihan. Sebab, Indonesia memerlukan suatu terobosan budaya politik untuk memberantas setuntas-tuntasnya segala praktik-praktik yang buruk yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh kembang sejak zaman Orde Baru sampai sekarang. Revolusi mental beda dengan revolusi fisik karena ia tidak memerlukan pertumpahan darah. Namun, usaha ini tetap memerlukan dukungan moril dan spiritual serta komitmen dalam diri seorang pemimpin---dan selayaknya setiap revolusi---diperlukan pengorbanan oleh masyarakat.

Dalam melaksanakan revolusi mental, kita dapat menggunakan konsep Trisakti yang pernah diutarakan Bung Karno dalam pidatonya tahun 1963 dengan tiga pilarnya, "Indonesia yang berdaulat secara politik", "Indonesia yang mandiri secara ekonomi", dan "Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya". Terus terang kita banyak mendapat masukan dari diskusi dengan berbagai tokoh nasional tentang relevansi dan kontektualisasi konsep Trisakti Bung Karno ini.

Kedaulatan rakyat sesuai dengan amanat sila keempat Pancasila haruslah ditegakkan di Bumi kita ini. Negara dan pemerintahan yang terpilih melalui pemilihan yang demokratis harus benar-benar bekerja bagi rakyat dan bukan bagi segelintir golongan kecil. Kita harus menciptakan sebuah sistem politik yang akuntabel, bersih dari praktik korupsi dan tindakan intimidasi.

Semaraknya politik uang dalam proses pemilu sedikit banyak memengaruhi kualitas dan integritas dari mereka yang dipilih sebagai wakil rakyat. Kita perlu memperbaiki cara kita merekrut pemain politik, yang lebih mengandalkan kete-
rampilan dan rekam jejak ketimbang kekayaan atau kedekatan mereka dengan pengambil keputusan.

Kita juga memerlukan birokrasi yang bersih, andal, dan kapabel, yang benar-benar bekerja melayani kepentingan rakyat dan mendukung pekerjaan pemerintah yang terpilih. Demikian juga dengan penegakan hukum, yang penting demi menegakkan wibawa pemerintah dan negara, menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum. Tidak kalah pentingnya dalam rangka penegakan kedaulatan politik adalah peran TNI yang kuat dan terlatih untuk menjaga kesatuan dan integritas teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Di bidang ekonomi, Indonesia harus berusaha melepaskan diri dari ketergantungan yang mendalam pada investasi/modal/bantuan dan teknologi luar negeri dan juga pemenuhan kebutuhan makanan dan bahan pokok lainnya dari impor. Kebijakan ekonomi liberal yang sekadar mengedepankan kekuatan pasar telah menjebak Indonesia sehingga menggantung pada modal asing. Sementara sumber daya alam dikuras oleh perusahaan multinasional bersama para "komprador" Indonesia-nya.

Reformasi 16 tahun tidak banyak membawa perubahan dalam cara kita mengelola ekonomi. Pemerintah dengan gampang membuka keran impor untuk bahan makanan dan kebutuhan lain. Banyak elite politik kita terjebak menjadi pemburu rente sebagai jalan pintas yang diambil yang tidak memikirkan konsekuensi terhadap petani di Indonesia. Ironis kalau Indonesia dengan kekayaan alamnya masih mengandalkan impor pangan. Indonesia secara ekonomi seharusnya dapat berdiri di atas kaki sendiri, sesuai dengan amanat Trisakti. Ketahanan pangan dan ketahanan energi merupakan dua hal yang sudah tidak dapat ditawar lagi. Indonesia harus segera mengarah ke sana dengan program dan jadwal yang jelas dan terukur. Di luar kedua sektor ini, Indonesia tetap akan mengandalkan kegiatan ekspor dan impor untuk menggerakkan roda ekonomi.

Kita juga perlu meneliti ulang kebijakan investasi luar negeri yang angkanya mencapai tingkat rekor beberapa tahun terakhir ini karena ternyata sebagian besar investasi diarahkan ke sektor ekstraktif yang padat modal, tidak menciptakan banyak lapangan kerja, tetapi mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya.

Pilar ketiga Trisakti adalah membangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia. Sifat ke-Indonesia-an semakin pudar karena derasnya tarikan arus globalisasi dan dampak dari revolusi teknologi komunikasi selama 20 tahun terakhir. Indonesia tidak boleh membiarkan bangsanya larut dengan arus budaya yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa kita.

Sistem pendidikan harus diarahkan untuk membantu membangun identitas bangsa Indonesia yang berbudaya dan beradab, yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral agama yang hidup di negara ini. Akses ke pendidikan dan layanan kesehatan masyarakat yang terprogram, terarah, dan tepat sasaran oleh nagara dapat membantu kita membangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia.

Dari mana kita mulai

Kalau bisa disepakati bahwa Indonesia perlu melakukan revolusi mental, pertanyaan berikutnya adalah dari mana kita harus memulainya. Jawabannya dari masing-masing kita sendiri, dimulai dengan lingkungan keluarga dan lingkungan tempat tinggal serta lingkungan kerja dan kemudian meluas menjadi lingkungan kota dan lingkungan negara.

Revolusi mental harus menjadi sebuah gerakan nasional. Usaha kita bersama untuk mengubah nasib Indonesia menjadi bangsa yang benar-benar merdeka, adil, dan makmur. Kita harus berani mengendalikan masa depan bangsa kita sendiri dengan restu Allah SWT. Sebab, sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib suatu bangsa kecuali bangsa itu mengubah apa yang ada pada diri mereka.

Saya sudah memulai gerakan ini ketika memimpin Kota Surakarta dan sejak 2012 sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sejumlah teman yang sepaham juga sudah memulai gerakan ini di daerahnya masing-masing. Insya Allah, usaha ini dapat berkembang semakin meluas sehingga nanti benar-benar menjadi sebuah gerakan nasional seperti yang diamanatkan oleh Bung Karno, memang revolusi belum selesai. Revolusi Mental Indonesia baru saja dimulai.///

Terus terang, saya terkejut dengan tulisan itu. Bukan hanya kurang berhasil menjelaskan apa yang dimaksud dengan revolusi mental yang otentik versi Joko Widodo, malahan terlihat usaha untuk mensimplifikasinya semata-mata hanya sebagai Trisaktinya Bung Karno. Diluar itu, Joko Widodo dengan eksplisit menyebutkan betapa hulu dari persoalan-persoalan negatif dan buruk bangsa Indonesia selama reformasi adalah Orde Baru.

Supaya apa yang saya tulis ini menjadi bagian dari upaya melihat sejarah sebagai bagian tak terpisahkan dari kondisi hari ini, saya akan mengutip tiga kalimat dari tulisan Joko Widodo tersebut. Mudah-mudahan apa yang saya tulis dengan cepat ini adalah bagian dari proses yang dinamakan oleh Joko Widodo sebagai revolusi mental itu, minimal dari sisi semangat intelektual yang ada dalam tulisan itu. Joko Widodo layak diacungi jempol, karena memiliki keinginan yang besar masuk ke ranah perdebatan intelektual yang antara lain diwakili oleh halaman 6 Harian Kompas selama puluhan tahun.

Pertama, "Namun, di saat yang sama, sejumlah tradisi atau budaya yang tumbuh subur dan berkembang di alam represif Orde Baru masih berlangsung sampai sekarang, mulai dari korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, dan sifat kerakusan, sampai sifat ingin menang sendiri, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunis," tulis Joko Widodo.

Kedua, "Sebab, Indonesia memerlukan suatu terobosan budaya politik untuk memberantas setuntas-tuntasnya segala praktik-praktik yang buruk yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh kembang sejak zaman Orde Baru sampai sekarang," tulis Joko Widodo.

Ketiga, "Dalam melaksanakan revolusi mental, kita dapat menggunakan konsep Trisakti yang pernah diutarakan Bung Karno dalam pidatonya tahun 1963 dengan tiga pilarnya, "Indonesia yang berdaulat secara politik", "Indonesia yang mandiri secara ekonomi", dan "Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya"," tulis Joko Widodo.

Campur Baur
Terus terang, saya agak kebingungan membaca artikel ini. Bukan saja struktur penulisannya yang tampak terburu-buru, hanya sekadar menjawab pertanyaan publik tentang konsep revolusi mental Joko Widodo, melainkan juga cara artikel ini menebarkan jerat-jerat persepsi politik yang subjektif. Kutipan pertama, misalnya, mencampur-baurkan antara tradisi dengan budaya. Mana yang tradisi, mana yang budaya, tidak begitu jelas. Lalu, stigma langsung diberikan bahwa seluruh "tradisi atau budaya" yang negatif itu muncul "di alam represif Orde Baru".

Sepertinya penulisnya lupa bahwa "alam represif" itu justru juga muncul pada era Bung Karno, bahkan sebelum pidato Trisakti dikemukakan. Contoh kecil, setelah muncul Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Mohammad Hatta menulis risalah dengan judul Demokrasi Kita pada tahun 1960. Risalah itu ditulis di majalah Panji Masyarakat. Apa yang terjadi? Risalah itu dilarang beredar dan baru kemudian bisa ditemukan kembali pada masa Orde Baru. Contoh yang lebih besar adalah penangkapan terhadap tokoh-tokoh yang kemudian menjadi Pahlawan Nasional, termasuk Sutan Sjahrir (meninggal di penjara), M Natsir, dan banyak lagi yang lainnya.

Lalu, apa yang disebut sebagai "tradisi atau budaya" yang bersifat negatif itu, sudah lama juga disebut oleh Mohammad Hatta. Siapapun sejarawan pasti paham bahwa Hattalah yang menggunakan istilah "korupsi telah menjadi budaya" yang menjadi polemik. Hatta bahkan sempat menjadi panitia negara dalam pemberantasan korupsi di awal Orde Baru.

Belum lagi sifat negatif manusia Indonesia, sudah pernah disampaikan oleh Mochtar Lubis (yang juga dipenjarakan di era Bung Karno) pada tahun 1977 dengan menyebut enam ciri manusia Indonesia, yakni (1) hipokrit alias munafik, (2) enggan bertanggung jawab atas perbuatan dan keputusannya, (3) berjiwa feodal, (4) percaya takhayul, (5) artistik , dan (6) berwatak lemah.

Jadi, ketika Joko Widodo menyampaikan betapa "praktik-praktik yang buruk yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh kembang sejak zaman Orde Baru sampai sekarang", saya lantas bertanya: dimana letak Angkatan 1966 dalam peta sejarah bangsa Indonesia? Bukankah Angkatan 66 yang gegap gempita itu -- walau diketahui juga merupakan bagian dari kerjasama dengan elemen-elemen dalam tubuh Angkatan darat -- yang melancarkan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) yang jelas-jelas membongkar keburukan-keburukan era sebelumnya?

Baiklah, tidak perlu menggunakan Angkatan 66 -- yang sebagian di antara mereka bersuara juga untuk berada di belakang pencapresan Joko Widodo --, melainkan Sukarno sendiri. Bukankah dengan Dekrit Presiden Sukarno 5 Juli 1959 sudah menunjukkan bahwa ada yang salah, banyak yang keliru, dari "praktik-praktik yang buruk yang sudah lama dibiarkan tumbuh kembang" itu? Praktik demokrasi liberal dengan sistem parlementer berdasarkan UUD Sementara 1950 ternyata menjauhkan cita-cita ideal Proklamasi 1945. Sukarno kemudian mengambil alih, dengan cara membubarkan Dewan Konstituante, pembentukan MPR Sementara dan Dewan Perwakilan Agung Sementara.

Trisakti Siapa?
Saya mungkin bisa memahami betapa berangnya Joko Widodo kepada Orde Baru, sehingga dengan mudah memberikan seluruh penilaian negatif sebagai "tradisi atau budaya" Orde Baru itu.

Sebagai mahasiswa 1990-an, saya tentu turut menjadi saksi akan sejumlah peristiwa yang terjadi, termasuk langsung dengan mata kepala sendiri melihat orasi demi orasi di kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, sebelum peristiwa 27 Juli 1996. Saya juga ikut melakukan aksi penolakan atas pembreidelan pers yang dilakukan semasa Orde Baru, pada malam hari, di Gedung MPR-DPR, ketika Menteri Penerangan Harmoko memberikan keterangan kepada parlemen. Budi Arie Setiadi (Ketua PDIP Projo) menjadi saksi atas kehadiran saya, bersama sejumlah kawan dari Universitas Indonesia lainnya.

Baiklah, memang ada yang keliru di masa Orde Baru. Tetapi sebagai penerima beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, tentu saya juga akui betapa Orde Baru sudah "berjasa" atas pendidikan saya. Sebagai seorang anak pensiunan pegawai negeri sipil dengan pangkat IIB, lalu ayah saya menjadi petani, tentulah jauh dari bayangan saya mampu kuliah di universitas sekaliber UI. Toh saya bisa masuk UI, sambil berjualan sate Padang di Glodok. Saya menamatkan pendidikan dasar sampai perguruan tinggi di era Orde Baru, suatu era yang di mata Joko Widodo sepenuhnya buruk, tidak ada yang baik.

Saya tidak tahu, apa yang dilakukan oleh Joko Widodo selama masa Orde Baru yang bagi saya minimal mampu membuat saya sekolah dari SD Inpres, SMP Standard (bukan negeri), SMP Negeri, SMA Negeri, hingga Perguruan Tinggi Negeri itu. Setahu saya, Joko Widodo juga menamatkan kuliahnya di Universitas Gajah Mada di masa Orde Baru, dari orang tua yang bekerja sebagai tukang kayu. Di masa Orde Baru itu juga Joko Widodo kecil sering memancing ikan di sungai, dekat rumah kontrakan orangtuanya. Minimal, itu gambaran yang saya dapat, ketika menonton sinetron Jokowi di SCTV.

Baik, Orde Baru adalah cerita buruk. Lalu, ketika Jokowi memberikan jawaban atas masalah-masalah "yang tumbuh subur dan berkembang di alam represif Orde Baru" itu, muncullah istilah revolusi mental. Apa itu revolusi mental? Secara singkat, sebagaimana kutipan ketiga saya, yakni "konsep Trisakti yang pernah diutarakan Bung Karno dalam pidatonya tahun 1963." Terus terang, saya belum menemukan, pada pidato mana Bung Karno menggunakan konsep itu, sekalipun banyak sekali istilah Trisakti muncul yang dikaitkan dengan Sukarno.

Tetapi, kalau benar angka tahunnya, berarti istilah itu sendiri sudah membentur kenyataan sejarah. Kedaulatan di bidang politik dan kemandirian di bidang ekonomi justru terjadi dalam arus deras kritik yang kemudian dicoba dibungkam di tahun-tahun itu. Apa yang dikenal sebagai "proyek-proyek mercusuar" juga terjadi, termasuk apa yang dikenal sebagai Poros Jakarta-Peking dan beragam istilah lainnya. Konsep Trisakti tidak berada dalam ruang yang vakum, melainkan memiliki rona dan warna, ketika konsep itu lahir dari seorang Presiden RI yang sedang menjabat, termasuk dengan sejumlah "jabatan" lain, seperti Panglima Besar Revolusi.

Saya tentu tidak ingin terlalu jauh masuk ke persoalan ini. Hanya saja, Jokowi perlu diingatkan tentang dua sisi dalam satu mata uang yang sama, setika sejarah dipandang oleh seseorang. Pelajaran sejarah paling sederhana adalah memandang potret bersama yang ada di album keluarga. Apa yang dilakukan oleh yang memandang? Pastilah yang dicari potret sendiri di dalam sebuah acara sekolah atau reunian, misalnya. Potret itu tentu tidak bisa menggambarkan dengan persis apa yang terjadi, kecuali kita harus belajar sama sekolah sihir Harry Potter, dimana potret bisa bercerita dan bicara.

Satu hal lagi, sebelum uraian ini berakhir, darimana datangnya konsep "Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya" yang muncul dalam kutipan Trisaksi Bung Karno? Bukankah yang sering disebut hanya berkepribadian di bidang budaya atau katakanlah berkepribadian secara kebudayaan? Tidak ada sama sekali kata "sosial-budaya" dalam versi Trisakti yang asli, minimal yang saya bisa lacak di internet. Nah, Trisakti versi siapakah yang memasukkan unsur berkepribadian secara sosial-budaya itu? Mungkin hanya Tim Jokowi atau Jokowi sendiri yang bisa menjawabnya.

Revolusi Mental dalam Birokrasi

Dalam Rencana Strategis Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi, gagasan revolusi mental masuk sebagai salah satunya. Tidak mudah untuk menubuhkan gagasan ini di dalam pemerintahan yang sudah dan sedang berjalan. Tetapi, paling tidak, usaha itu perlu terus dilakukan, guna memberikan kesempatan kepada setiap pemerintahan (baru) menjalankan agenda-agendanya. Gagasan revolusi mental paling tidak bakal mewarnai Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2014-2019, sebagian bagian dari mandat resmi yang sudah diberikan oleh publik.

Masalahnya, banyak pertanyaan yang diajukan tentang apa yang disebut sebagai revolusi mental itu. Bahkan, sebagian pihak mulai menuduh bahwa revolusi mental hanyalah jargon politik yang berulang, sebagaimana hadir dalam setiap pemerintahan dan rezim. Apabila gagasan ini tidak dielaborasi dengan baik, revolusi mental tinggal sebagai frase kampanye yang tidak memiliki dasar pijakan. Padahal, gagasan ini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam fase pemerintahan Ir Joko Widodo dan Drs Jusuf Kalla.

Paling tidak, dalam kaitannya dengan birokrasi, terdapat catatan-catatan sebagai berikut, terkait dengan revolusi mental.
Pertama, reformasi yang dilaksanakan di Indonesia baru sebatas perombakan yang bersifat institusional, belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik kita dalam rangka pembangunan bangsa (nation building). Sehingga, perlu dilakukan perombakan terhadap manusianya atau sifat mereka yang menjalankan sistem ini.

Kedua, berkembangnya korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, dan sifat kerakusan, sampai sifat ingin menang sendiri, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunis.

Ketiga, Indonesia memerlukan suatu terobosan budaya politik untuk memberantas setuntas-tuntasnya segala praktik-praktik yang buruk yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh kembang.
Keempat, Kita juga memerlukan birokrasi yang bersih, andal, dan kapabel, yang benar-benar bekerja melayani kepentingan rakyat dan mendukung pekerjaan pemerintah yang terpilih.

Empat poin itu berasal dari artikel yang ditulis oleh Ir Joko Widodo di Harian Kompas, pada tanggal 10 Mei 2014. Berikutnya, ada catatan-catatan di bawah ini, sebagai bagian dari pidato pelantikan Presiden Ir Joko Widodo pada tanggal 20 Oktober 2014:

Pertama, beban sejarah yang mahaberat ini akan dapat kita pikul bersama dengan persatuan, dengan gotong royong, dengan kerja keras.

Kedua, pemerintahan yang saya pimpin akan bekerja untuk memastikan setiap rakyat di seluruh pelosok tanah air merasakan pelayanan pemerintahan.

Ketiga, untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara yang kuat, negara yang makmur, kita harus memiliki jiwa cakrapatih samudra, jiwa pelaut yang berani mengarungi gelombang dan hempasan ombak yang menggulung.

Dua naskah itu setidaknya bisa memandu untuk menemukan apa yang disebut sebagai revolusi mental, terutama dalam kaitannya dengan birokrasi. Kalau diurut-urut, letaknya adalah pada perubahan mentalitas manusia yang menjalankan pemerintahan. Perubahan itu dimulai dari paradigma (kerangka pemikiran), mindset (pola pikir) dan semangat gotong royong dalam bekerja. Di luar itu, dari sisi psikologis, jiwa yang dikembangkan adalah jiwa pelaut yang berani menghadapi tantangan.

Paradigma seperti apa? Paradigma pelayanan publik, sesuai dengan UU No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Paradigma pelayanan publik bisa ditunjukkan dengan kehadiran penyelenggara negara dalam isu-isu publik. Sebagai pelayan publik, aparatur pemerintahan tidak menempatkan dirinya sebagai atasan dari masyarakat, melainkan justru sebagai "pesuruh" publik, sesuai dengan nomenklatur masing-masing. Birokrasi tidak hadir untuk diri sendiri atau hanya sekadar kumpulan orang-orang yang dipenuhi oleh tanda pangkat, fasilitas dan jabatan, melainkan membaur di tengah publik guna memikul tanggungjawabnya masing-masing.

Runtuhkan Tembok

Dengan kerangka pemikiran seperti itu, birokrasi tidak boleh lagi membuat jarak dengan publik. Sebagai pelayan publik, wajah birokrasi tentulah terlihat berkeringat, ketimbang terus-menerus dalam posisi bersafari yang jarang terkena matahari. Birokrasi yang bergerak kemana-mana, dengan sigap melayani publik yang paling membutuhkan pertolongan, di manapun dan kapanpun, dengan sikap welas asih. Birokrasi yang meruntuhkan benteng-benteng di dalam diri sendiri, akibat salah kaprah paradigma lama sebagai wujud dari penguasa dan priyayi.

Seiring dengan perubahan kerangka pemikiran itu, tentu juga diikuti dengan perubahan pola pikir. Pola pikir itu berupa menjalankan kewajiban yang dibebankan, sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing, lalu menghilangkan budaya lama yang sudah usang. Pola pikir mencari keuntungan untuk diri sendiri perlu dihilangkan sama sekali, karena lambat laun akan menyebabkan masyarakat tidak lagi memiliki apa-apa. Masyarakat yang dikuras atau terkuras kemampuan dirinya, bisa membebani pembangunan karakter bangsa, serta pada gilirannya memicu perasaan tidak aman di mana-mana dalam bentuk konflik.

Beberapa studi sudah dilakukan guna mengukur seberapa besar pengaruh seorang aktor di dalam birokrasi bagi publik yang dilayani. Secara teoritis, belum terdapat keseimbangan antara jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) dibandingkan dengan jumlah penduduk yang dilayani, yakni sekitar 2,4 ASN per 100 penduduk. Seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk, jumlah ASN perlu ditambah, agar satu tangan bisa menyentuh lebih banyak penduduk. Inilah mindset lama itu.

Masalahnya, apakah rasio itu benar-benar sudah diimplementasikan? Apakah di antara 100 penduduk yang dilayani, benar-benar sudah menemui sebanyak 2,4 ASN yang melayani itu? Jangan-jangan, ASN lebih banyak bersalaman di antara mereka sendiri, baik selama jam kerja ataupun diluar jam kerja, terutama tenaga administratif. Dari sini, perubahan pola pikir pada gilirannya bergerak kepada pola kerja, yakni semakin banyak tenaga birokrasi yang bergerak di lapangan, dibandingkan dengan tenaga-tenaga administratif yang berada di belakang meja. Rasio seperti itu perlu diukur lagi secara lebih presisi, terutama dari sisi penduduk yang benar-benar berhubungan dengan birokrasi.

Di luar itu, penjiwaan sebagai pelaut penting dijadikan sebagai catatan. Pelaut yang mengarungi badai, ombak dan gelombang. Ada situasi turbulensi yang terus-menerus datang, dalam perjalanan pemerintahan. Seorang pelaut, apalagi dalam posisi sebagai nahkoda, tidak akan meninggalkan kapal dalam keadaan apapun, apalagi ketika diterjang gelombang. Seorang pelaut lebih memprioritaskan penumpang yang selamat, ketimbang dirinya sendiri, apabila musibah datang. Semangat pengorbanan inilah yang dituntut dari birokrasi di Indonesia, guna mengubah kembali pandangan publik yang telanjur negatif dalam urusan-urusan yang mudah menjadi rumit, yang cepat menjadi lama, lalu budaya sogok-menyogok yang koruptif.

Tentu, catatan kecil ini tidak bisa dijadikan sebagai rujukan utama. Tetapi, setidaknya, tulisan ini mencoba untuk menguraikan kandungan yang ada dalam "jargon" revolusi mental yang terlanjur membahana. Bukan hanya dalam kaitannya dengan birokrasi, melainkan juga dengan sendi-sendiri kehidupan bernegara lainnya yang coba disapa dan disentuh dengan revolusi mental.

Langkah Juang Legislator Daerah

Bagaimana juga wujudnya dalam kerja-kerja yang dilakoni oleh anggota-anggota legislatif daerah? Dalam pemilu 2014 lalu, terdapat 243.084 calon anggota legislatif yang memperebutkan 20.389 kursi legislator di tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan kota. Rata-rata satu kursi diperebutkan duabelas orang. Jumlah yang sebetulnya tak banyak, tetapi seperti hendak mengoyak Indonesia setiap lima kali setahun.

Satu orang calon anggota menghabiskan anggaran sebesar Rp. 834.000.000,- jika anggaran yang dihitung hanya Rp 17 Trilyun APBN yang digunakan untuk itu. Jika dikalikan dengan jumlah anggaran yang dipakai oleh masing-masing partai politik dan perseorangan, katakan saja rata-rata dikalikan dua, maka ada sekitar Rp 1.668.000.000,- uang yang dibelanjakan secara resmi atau tidak resmi oleh masing-masing calon.

Ehem, bahkan, ada yang membelanjakan sampai Rp 70 Milyar guna mendapatkan satu kursi di DPR RI. Orang mengira, bahwa dana itu ditujukan untuk mendapatkan keuntungan secara material setelah menjadi anggota legislatif. Padahal, dari banyak sekali anggota parlemen yang bisa ditemui, rata-rata merasa tidak bisa mengembalikan jumlah dana yang mereka telah belanjakan itu, dengan penghasilan sebagai anggota legislatif. Kenapa? Karena pada prinsipnya, setelah pemilu, justru yang menghidupi partai politik mayoritas terdiri dari anggota-anggota legislator terpilih ini. Artinya, apabila hanya satu kursi legislator yang didapatkan oleh partai, sementara calon yang diikut-sertakan sebanyak dua-belas orang, otomatis beban sebelas orang lagi akan berpindah kepada yang satu orang selama lima tahun.

Alangkah nelangsanya, apabila selama duduk di legislatif, sang legislator mendapatkan tuduhan yang sama sekali tak enak, dikirimin berbagai tagihan atas nama partai, konstituen ataupun kelompok-kelompok kepentingan yang lain. Pun, apabila menghadapi persaingan yang tak sehat di dalam partai, bisa sewaktu-waktu terlempar dari posisi yang empuk di komisi-komisi basah. Apa dasar dari "lempar-lempar komisi" itu? Bukan keunggulan komparatif masing-masing legislator, bukan kualitas pribadi sebagai "tukang bicara", apalagi juga bukan sebagai kritikus yang hebat atas kebijakan-kebijakan pemerintah (baik pemerintah itu berasal dari partai sendiri ataupun partai orang lain), melainkan hanya semata-mata salah dalam mengambil posisi perebutan ketua umum partai politik kala pemilihan diadakan.

Dan salah dalam pengertian ini adalah diam, tak mengangguk, tak menggeleng, ataupun suatu ketika terlihat sedang nongkrong di sebuah kafe bersama "Tim Sukses Caketum Yang Lain". Begitulah, partai yang idealnya makin dewasa, arif dan bijaksana, serta makin antisipatif menghadapi gejolak-gejolak domestik, kawasan dan manca-negara, justru diihinggapi oleh penyakit-penyakit ala nenek sihir dalam kisah Oki dan Nirmala di majalah kanak-kanak.

Ironisnya, hampir semua partai tidak berupaya untuk menyembuhkan penyakit-penyakit ala nenek sihir ini. Perseteruan dan permusuhan bahkan dikoar-koarkan dan dikibar-kibarkan, di satu sisi. Di sisi sebaliknya: amanat penderitaan rakyat, revolusi mental, hingga nawacita dan jubah-jubah relegius digunakan ketika masanya tiba demi kesejatian dan kesucian perjuangan.

Akibat yang kian terasa, kendali politik tak lagi ada di dalam tubuh legislatif sendiri. Pasar politik berpindah ke ruang-ruang maya dan sejak pemilu 2014 digantikan oleh media sosial. Ksatria-ksatria elok rupa malah berbentuk akun-akun anonim yang bahkan tak diketahui siapa pemiliknya.

Saking tak ada lagi para ksatria dalam ranah nyata, bahkan ada seorang calon gubernur yang bersedia dibuatkan buku oleh akun anonim dengan nama anonim yang tentu saja seluruh ceritanya tak bisa dirujuk referensinya.

Saking tak berdayanya, pemerintah malahan bersibuk ria bersama parlemen untuk mengendalikan gunjingan di media sosial dengan merevisi UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang bahkan langsung diberlakukan tanpa disosialisasikan. Padahal, jika lebih banyak orang bersikap ksatria dan terbuka atas segala sesuatu yang ada dalam pikirannya, serta bertanggungjawab atas apa yang ia tuliskan, akan sulit sekali menemukan manusia-manusia yang merasa lebih baik berlindung dibalik keanonimannya itu.

Di sinilah peran penting revolusi mental kalangan legislator daerah. Saya tidak memiliki data, seberapa banyak anggota legislatif daerah yang bisa terpilih untuk kedua-kalinya, atau lebih. Tetapi, masing-masing partai politik sudah melakukan pembatasan, maksimal dalam dua periode dalam kedudukan dan posisi yang sama. Artinya, hanya maksimal sepuluh tahun jejak langkah dan rekam juang masing-masing anggota legislator itu yang secara maksimal bisa dijalankan.

Selebihnya, memang ada juga yang bisa terpilih lebih dari itu, tetapi jumlahnya sangat sedikit dan biasanya menduduki posisi puncak dalam tubuh partai politik yang bersangkutan. Dengan jatah waktu sepuluh tahun itu, sudahkah diukur bentuk-bentuk perjuangan apa saja yang layak dicatat di bidang legislasi, bidang anggaran, hingga bidang pengawasan?

Revolusi mental kalangan legislator daerah sangat ditentukan kepada sejauh mana keikhlasan masing-masing anggota tentang zaman yang semakin cepat bergerak, waktu yang kian tak bisa dibaikan, serta masalah-masalah yang tak lagi sama dengan waktu-waktu sebelumnya pada waktu kampanye dihelat. Memberikan perhatian kepada generasi baru adalah juga bagian penting dari proses revolusi mental itu....

Jakarta, 20 Desember 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun