Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Narasi Revolusi Mental Joko Widodo

24 Januari 2024   05:56 Diperbarui: 24 Januari 2024   21:27 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa studi sudah dilakukan guna mengukur seberapa besar pengaruh seorang aktor di dalam birokrasi bagi publik yang dilayani. Secara teoritis, belum terdapat keseimbangan antara jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) dibandingkan dengan jumlah penduduk yang dilayani, yakni sekitar 2,4 ASN per 100 penduduk. Seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk, jumlah ASN perlu ditambah, agar satu tangan bisa menyentuh lebih banyak penduduk. Inilah mindset lama itu.

Masalahnya, apakah rasio itu benar-benar sudah diimplementasikan? Apakah di antara 100 penduduk yang dilayani, benar-benar sudah menemui sebanyak 2,4 ASN yang melayani itu? Jangan-jangan, ASN lebih banyak bersalaman di antara mereka sendiri, baik selama jam kerja ataupun diluar jam kerja, terutama tenaga administratif. Dari sini, perubahan pola pikir pada gilirannya bergerak kepada pola kerja, yakni semakin banyak tenaga birokrasi yang bergerak di lapangan, dibandingkan dengan tenaga-tenaga administratif yang berada di belakang meja. Rasio seperti itu perlu diukur lagi secara lebih presisi, terutama dari sisi penduduk yang benar-benar berhubungan dengan birokrasi.

Di luar itu, penjiwaan sebagai pelaut penting dijadikan sebagai catatan. Pelaut yang mengarungi badai, ombak dan gelombang. Ada situasi turbulensi yang terus-menerus datang, dalam perjalanan pemerintahan. Seorang pelaut, apalagi dalam posisi sebagai nahkoda, tidak akan meninggalkan kapal dalam keadaan apapun, apalagi ketika diterjang gelombang. Seorang pelaut lebih memprioritaskan penumpang yang selamat, ketimbang dirinya sendiri, apabila musibah datang. Semangat pengorbanan inilah yang dituntut dari birokrasi di Indonesia, guna mengubah kembali pandangan publik yang telanjur negatif dalam urusan-urusan yang mudah menjadi rumit, yang cepat menjadi lama, lalu budaya sogok-menyogok yang koruptif.

Tentu, catatan kecil ini tidak bisa dijadikan sebagai rujukan utama. Tetapi, setidaknya, tulisan ini mencoba untuk menguraikan kandungan yang ada dalam "jargon" revolusi mental yang terlanjur membahana. Bukan hanya dalam kaitannya dengan birokrasi, melainkan juga dengan sendi-sendiri kehidupan bernegara lainnya yang coba disapa dan disentuh dengan revolusi mental.

Langkah Juang Legislator Daerah

Bagaimana juga wujudnya dalam kerja-kerja yang dilakoni oleh anggota-anggota legislatif daerah? Dalam pemilu 2014 lalu, terdapat 243.084 calon anggota legislatif yang memperebutkan 20.389 kursi legislator di tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan kota. Rata-rata satu kursi diperebutkan duabelas orang. Jumlah yang sebetulnya tak banyak, tetapi seperti hendak mengoyak Indonesia setiap lima kali setahun.

Satu orang calon anggota menghabiskan anggaran sebesar Rp. 834.000.000,- jika anggaran yang dihitung hanya Rp 17 Trilyun APBN yang digunakan untuk itu. Jika dikalikan dengan jumlah anggaran yang dipakai oleh masing-masing partai politik dan perseorangan, katakan saja rata-rata dikalikan dua, maka ada sekitar Rp 1.668.000.000,- uang yang dibelanjakan secara resmi atau tidak resmi oleh masing-masing calon.

Ehem, bahkan, ada yang membelanjakan sampai Rp 70 Milyar guna mendapatkan satu kursi di DPR RI. Orang mengira, bahwa dana itu ditujukan untuk mendapatkan keuntungan secara material setelah menjadi anggota legislatif. Padahal, dari banyak sekali anggota parlemen yang bisa ditemui, rata-rata merasa tidak bisa mengembalikan jumlah dana yang mereka telah belanjakan itu, dengan penghasilan sebagai anggota legislatif. Kenapa? Karena pada prinsipnya, setelah pemilu, justru yang menghidupi partai politik mayoritas terdiri dari anggota-anggota legislator terpilih ini. Artinya, apabila hanya satu kursi legislator yang didapatkan oleh partai, sementara calon yang diikut-sertakan sebanyak dua-belas orang, otomatis beban sebelas orang lagi akan berpindah kepada yang satu orang selama lima tahun.

Alangkah nelangsanya, apabila selama duduk di legislatif, sang legislator mendapatkan tuduhan yang sama sekali tak enak, dikirimin berbagai tagihan atas nama partai, konstituen ataupun kelompok-kelompok kepentingan yang lain. Pun, apabila menghadapi persaingan yang tak sehat di dalam partai, bisa sewaktu-waktu terlempar dari posisi yang empuk di komisi-komisi basah. Apa dasar dari "lempar-lempar komisi" itu? Bukan keunggulan komparatif masing-masing legislator, bukan kualitas pribadi sebagai "tukang bicara", apalagi juga bukan sebagai kritikus yang hebat atas kebijakan-kebijakan pemerintah (baik pemerintah itu berasal dari partai sendiri ataupun partai orang lain), melainkan hanya semata-mata salah dalam mengambil posisi perebutan ketua umum partai politik kala pemilihan diadakan.

Dan salah dalam pengertian ini adalah diam, tak mengangguk, tak menggeleng, ataupun suatu ketika terlihat sedang nongkrong di sebuah kafe bersama "Tim Sukses Caketum Yang Lain". Begitulah, partai yang idealnya makin dewasa, arif dan bijaksana, serta makin antisipatif menghadapi gejolak-gejolak domestik, kawasan dan manca-negara, justru diihinggapi oleh penyakit-penyakit ala nenek sihir dalam kisah Oki dan Nirmala di majalah kanak-kanak.

Ironisnya, hampir semua partai tidak berupaya untuk menyembuhkan penyakit-penyakit ala nenek sihir ini. Perseteruan dan permusuhan bahkan dikoar-koarkan dan dikibar-kibarkan, di satu sisi. Di sisi sebaliknya: amanat penderitaan rakyat, revolusi mental, hingga nawacita dan jubah-jubah relegius digunakan ketika masanya tiba demi kesejatian dan kesucian perjuangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun