Dari tangga yang melingkar ke lantai dua, ia memotret buku-buku non fiksi yang berserakan itu.
Buku-buku yang membentuk tulisan: "Freedom Men!"
***
Paman Gober menerima panggilan tak terjawab via berbagai kanal: WhatsApp, panggilan langsung, Telegram, direct mention via Twitter, dan message via Facebook. Dan itu dari satu nama: Salwa Salamaki.
Pas dia lihat Salwa online, Paman Gober menelepon.
"Kenapa, Salwa?"
"Paman tidur lagi? Atau menelepon dan marah lagi sama kawan-kawan Paman? Jawaaaaaab segera, siapa itu Ara Melodimen? Siapanya Paman?"
Paman Gober tergagap. Tercekat. Dia matikan telepon. Dia lihat wajah yang dikirim Salwa. Sosok yang ia kenal sejak lama. Dan entah mengapa, ia jaga hingga setua ini.
Kembali ia menelepon Salwa.
"Begini, Salwa. Kalau kamu mau mengetahui siapa Ara Melodimen, ikuti saja terus akunnya. Jangan bertanya kepada rembulan di langit, aliran air di hutan, atau debu-debu jalanan. Paman tak akan bicara, kalau perlu paman memotong lidah paman. Tetapi kalau kamu mau bertanya keadaan Jaka, Kenanga, dan Alfanna, paman bisa cerita. Sedikit. Lebih baik kamu yang telepon mereka langsung."
Begitu Paman Gober meninggalkan pesan lewat voice mail. Bukan menulis kata-kata. Tetap ia menyemburkan seluruh senjata dari mulutnya. Menembakkan ke Salwa. Merekam keseluruhan dampak senjata-senjata itu.
Lembut, tapi mengucurkan keringat dan darah di hati dan jiwa Salwa.